Viral kembali anggaran Pemilu KPU yang sebesar Rp76,7 triliun, dalam beberapa pekan terakhir. Ada komen KPU beroyal-royal, rakyat sudah mendekati ajal. Komen yang diplomatis seperti anggaran yang fantastis. Secara umum, persepsi publik adalah anggaran yang tidak masuk akal:Â mark up gila-gilaan.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah benar demikian adanya? Â Adakah potensi pemborosan/korupsi, Â dan, Â jika memang ada kenapa tidak dihentikan sejak dini, sebelum menjadi UU APBN?
Mark up pemborosan gila-gilaan itu memang betul adanya, menurut analisis penulis. Seharusnya angaran Pemilu 2024 tidak akan lebih dari Rp10 triliun tetapi terjadi mark up/pemborosan gila-gilaan hingga anggarannya menjadi Rp76,7 triliun. Mark up/Pemborosan sebesar 767 persen atau sudah hampir menyentuh angka 1.000 persen!
Namun, pasti ada Pros Kons atas hasil analisis ini. Biarkan pembaca yang menyimpulkan sendiri. Itu demokrasi menurut Mahfud, M.D., Menko Politik dan Hukum HAM.
Terlepas dari Pros dan Kons itu, hal ini merupakan pembelajaran penting kita bersama. Pembelajaran bahwa pemborosan dan/atau kebocoran APBN secara umum luar biasa besarnya. Sangat strategis sebagai bahan pertimbangan untuk mengembalikan Indonesia pada rel yang benar menuju Indonesia sejahtera dan perkasa. Dan, tentu saja penulis tidak bermaksud sama sekali menghina KPU, pemerintah dan DPR.
Penulis menemukan tiga sumber mark up/pemborosan gila-gilaan itu: (i) desk jobs; (ii) metode pencoblosan, dan (iii) metode rekapitulasi hasil pencoblosan. Kita mulai dulu dengan item desk jobs, pekerjaan kantor di meja kerja.
DESK JOBS
Melirik Postur APBN Pemilu 2024 terlihat memang betul banyak sekali kejanggalan. Juga, terlihat adanya mark up/pemborosan yang super besar, gila-gilaan yang seharusnya dapat dikendalikan jika, antara lain, ada policy communication, ada penyeimbang, ada checks and balances, yang baik sebelum Anggaran Pemilu 2024 ini disahkan.
Mari kita lirik dulu Postur APBN Pemilu 2024 yang bernilai Rp76,7 triliun. Postur ini dibagi menjadi dua komponen yaitu kegiatan utama dan kegiatan pendukung. Porsi kegiatan utama sekitar 82, 71 persen (Rp63,4T) dan porsi kegiatan pendukung 17,29 (Rp13,2 T) persen.