Di dalam sila ini tidak menyebutkan secara spesifik agama yang harusnya atau hendaknya mendominasi yang lain, melainkan mencakup dan merangkum seluruh keberadaan agama di Indonesia.
Mgr. John Liku-Ada, dalam buku, Perjumpaan Pancasila dan Kristianitas, Reposisi Relasi Negara dan Agama dalam Masyarakat Plural, menandaskan bahwa, “penerimaan rumusan ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ untuk menggantikan rumusan Piagam Jakarta (Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya), menunjukkan jiwa besar Pendiri bangsa ini, khususnya saudara-saudari yang muslim”.
Maka dari itu, untuk kembali menghidupi nilai terdalam dari sila ini, diperlukan sikap saling terbuka dan berdialog satu dengan yang lain agar konflik atas nama agama tidak lagi terjadi atau dalam arti tertentu menodai kehidupan bersama.
-Sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Di dalam kehidupan bersama, tidak ada yang memiliki kuasa lebih dalam arti mendominasi dan menguasai yang lain. Kekuasaan yang dipercayakan kepada para wakil rakyat bukanlah demi kepentingan pribadi melainkan untuk menyuarakan aspirasi rakyat.
Naka, dalam sebuah relasi, setiap pribadi maupun masyarakat hendaknya menghargai hak dan kewajibannya, harga diri atau martabatnya, yang menjadikan manusia semakin menjadi lebih manusiawi.
Maka, tindakan korupsi tidak hanya menodai kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat, tetapi juga menodai diri dan martabat sendiri sebagai manusia yang beradab.
Nilai-nilai yang ditanamkan diabaikan begitu saja dan lebih berfokus pada keuntungan pribadi dan bukan kesejahteraan bersama. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang menaruh rasa hormat terhadap nilai yang tertanam dan dipercayakan.
-Sila ketiga: Persatuan Indonesia
Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu. Semboyan ini menunjukkan kekayaan bangsa Indonesia yang terbentang dari Sabang-Merauke, dari Miangas-Pulau Rote. Ada begitu banyaka suku, bahasa, budaya, agama, dan ras yang ada di sana selain kekayaan alam yang dimiliki. Perbedaan-perbedaan ini diikat mati dalam ideologi bangsa Persatuan Indonesia.
Salah satu wujud nyata dari ikatan ini adalah adanya bahasa persatuan bahasa Indonesia seperti yang dikumandangkan oleh para pemuda pada hari sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928 di Batavia (sekarang Jakarta).