Mohon tunggu...
Aloysius Teme
Aloysius Teme Mohon Tunggu... Guru - Penggemar sastra dan tulisan ringan yang menginspirasi

Ingin berkreasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggugat Realitas dalam Narasi Nilai Pancasilais

16 Februari 2022   11:00 Diperbarui: 16 Februari 2022   11:03 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membangun Kesadaran

Saya terlahir sebagai orang Timor, dari keluarga yang berdomisili di Nusa Tenggara Timur. Saya dibentuk dalam suku dawan yang khas dengan adat istiadat dan kepercayaannya.

Eksistensi yang nampak dalam diri saya saat ini, dibentuk di dalam keluarga (suku, kebiasaan dan agama). Konteks ini menjadi ‘tiga batu tungku’ yang menopang saya dalam menemukan  identitas diri. Saya tumbuh menjadi pribadi yang unik dengan segala kelebihan dan kekurangan.

Selain itu, saya juga sadar bahwa keberadaan saya tidak terlepas dari interaksi sosial kemasyarakatan di mana saya hidup. Inilah hakekat saya sebagai makhluk sosial.  Pada saat berinteraksi dengan orang lain, saya memperoleh pemahaman-pemahaman baru akan arti kehidupan. Kurang lebih ada empat hal yang dapat dijadikan kunci saat berjumpa dengan orang lain. Kunci itu sering disebut dengan 4-M, yakni; mengetahui, menyadari, menerima, dan menempatkan diri.

Persoalan sering terjadi karena kurangnya keterbukaan dan kesadaran. Memang benar bahwa setiap kita unik, tetapi keunikan itu akan terlihat jelas saat berjumpa dengan orang lain yang berbeda.

Misalnya; saya menjadi orator karena ada yang mendengar, atau menjadi pemain sepak bola karena ada penonton. Jika semua orang menjadi orator atau pemain sepak bola, lalu siapa yang akan menjadi pendengar dan penonton.

Akan tetapi, realitas kita saat ini berkata lain. Kita lebih cenderung untuk mengedepankan keunikan kita tanpa mempedulikan kehidupan bersama. Realitas ini kemudian membawa kita kepada sikap fanatik yang berujung konflik.

Mega Hidayati di dalam bukunya “Jurang di Antara Kita, tentang keterbatasan manusia dan problema dialog dalam masyarakat multikultur”, mengedepankan beberapa hal yang menjadi persoalan utama terjadinya konflik multikultur antara lain:  

Pertama: Prasangka. Seseorang tidak dapat menghindari prasangka-prasangka yang muncul ketika hidup berdampingan dengan orang yang memiliki budaya (bahasa) dan agama yang berbeda. Salah satu yang mmperngaruhi prasangka adalah opini yang terbentuk atau identitas yang diberikan oleh masyarakat atau kelompok tertentu.

Tidak jarang kita mendengar seseorang memberikan stereotip atau cap pada etnis tertentu. Misalnya; orang Timur itu berwatak keras dan kasar. Cap ini akan membekas pada pribadi seseorang dan ketika berjumpa dengan orang Timur, orang akan memiliki prasangka yang sama dengan apa yang pernah didengarnya, walaupun kenyataannya tidak selalu demikian.

Kedua: Kesalahpahaman. Salah paham terkadang dapat terjadi di dalam keluarga yang awalnya akur-akur saja. Penyebabnya adalah penggunaan kata dan persepsi atau tanggapan dari penerima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun