Stasiun Ekologi Taiama di Brasil, dipenuhi air oleh banjir musiman. Tidak ada jalan yang bisa dilalui, kecuali harus menyusuri aliran sungai menggunakan perahu.
Satu penanda adanya kehidupan di kawasan itu barangkali bisa ditandai melalui gerakan air di sepanjang aliran sungai. Ketika sesekali beriak, maka hampir bisa dipastikan, satu atau beberapa ekor Jaguar (Panthera onca) sedang berburu ikan.
Mari simak secara saksama, Jaguar yang umumnya adalah tiper hewan penyendiri teritorial dan menguasai perburuan wilayah daratan, di lahan basah tropis seperti di Brasil, Bolivia, dan Paraguay, mereka justru berburu ikan.
Lingkungan dalam hal ini, telah membentuk karakter jaguar-jaguar ini dalam cara mereka berburu mangsa, baik di darat dan khususnya di perairan, yang sekaligus menjadi pembeda dengan karakter jaguar di belahan lain di dunia.
Hal ini pula yang dialami oleh seorang Muhammad Dwiki Ramadhani. Kegemarannya membaca buku, mengikuti perkembangan informasi, dan menyimak kondisi sekitar rumah tinggalnya, telah menjadikan seorang Dwiki sosok yang berpikiran terbuka, berwawasan luas, dan bertumbuh bersama lingkungan di sekitarnya.
Ibarat bunga, Dwiki akan membuka diri, mempersilakan setiap kumbang untuk hinggap, menerima “kecup kesah”, dan mengubah dirinya menjadi kelopak yang indah dan dapat dinikmati oleh lebih banyak orang.
Berikut obrolan dengan Muhammad Dwiki Ramadhani.
Apa hal yang dipelajari selama kuliah hukum?
Waktu SMA, saya masuk ke jurusan IPS sehingga mungkin dari situ awal saya menyukai politik. Saya suka membaca koran, menonton berita, menyimak tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC), melihat Mata Najwa, dan juga mengikuti perkembangan peristiwa melalui kanal detik.com. Saat itu saya memilih hukum karena hukum tidak terlalu riskan. Meski memang dari diri saya sendiri juga tidak ada cita-cita untuk berkarier atau menekuni profesi di bidang hukum murni. Setidaknya, minimal saya mendapatkan ilmu tentang hukum.
Nah, ketika terjun ke politik pun juga sebenarnya sebuah surprise. Saya memang ada minat terjun ke politik namun setidaknya jangan secepat itu. Terlebih saat itu saya memimpikan masih bisa melanjutkan studi saya (S2) di bidang hukum di luar negeri. Ketika saya masuk ke politik status saya bahkan masih sebagai mahasiswa. Dan saat ini sudah merampungkan proposal dan bersiap menghadapi sidang.
Adakah kendala dari kuliah lantas terjun ke politik?
Saya sebenarnya asli orang kampung, dilahirkan di kampung, dan dibesarkan di lingkungan kampung. Saat masih remaja, saya menjumpai tetangga, juga saudara, banyak yang mengeluhkan layanan pemerintah yang masih kurang. Kondisi ini pun membuka mata hati saya. Apalagi orang tua saya selalu mengajarkan, “Jadilah orang yang bermanfaat, walaupun kecil.”
Akhirnya saya niatkan dengan bismilllah. Berbekal sedikit ilmu tentang hukum, saya mulai mengikuti pengaderan. Saat itu pun bahkan kalau boleh dibilang masih sebatas ikut-ikutan. Tidak disangkan dan juga tidak berapa lam, saya malah akhirnya juga mengikuti proses pencalonan legislatif. Memang sempat dilematis, karena jika saya ikut makan impian saya untuk studi ke luar negeri juga harus dilupakan dulu.
Saya pun menguatkan keyakinan. Bersyukur, keluarga saya juga sangat mendukung tekad saya untuk maju. Tidak urung sahabat-sahabat saya, teman-teman saya, juga men-support 100%. Sedemikian yakinnya bahkan sampai saya kadang merasakan kecemasan, jika nanti ada yang berbicara buruk tentang saya, semoga hal itu menjadi doa. Malah, saya waktu itu mengalami langsung, tidak sedikit pula yang justru meragukan kemampuan saya; masih muda, belum berpengalaman, belum berprestasi, atau embel-embel lainnya.
Malah saya juga sempat berdalih, jika setiap calon pemimpin harus memiliki pengalaman, secara akal berarti mereka yang tidak memiliki pengalaman, (seumur hidupnya) tidak akan pernah menjadi pemimpin? Adilkah? Dan juga bukankah para pemimpin yang berpengalaman ini semuanya juga memiliki kesamaan: memulai dari nol?
Ketika masa kampanye, saya tidak pernah mengumbar janji. Setiap kali saya bertemu masyarakat, hal pertama yang selalu saya sampaikan adalah, “Saya hanya mohon doa, saya tidak memohon dukungan”. Kedua, jika sudah memohon doa, saya baru menyampaikan, “Jika Bapak dan Ibu berkenan, tolong dukung saya. Tidak akan pernah ada perselisihan jika kemudian Bapak atau Ibu tidak jadi memilih saya atau juga jika Bapak atau Ibu sudah memiliki pilihan lain. Kita semua tetap bersaudara dan berkeluarga.” Lalu, hal ketiga yang biasanya selalu saya sampaikan ke mereka adalah, “Mohon selalu ingatkan saya, baik ketika bertemu saya ataupun saat babap atau Ibu tidak bertemu dengan saya.”
Selama masa kampanye itu pun saya menggunakan waktu untuk blusukan. Tidak hanya di dalam Kota Tangerang tetapi juga keluar Kota Tangerang. Hingga tiba pada 17 April 2019, saya ditetapkan menjadi anggota dewan. Saya mendapatkan suara terbanyak kedua dari 50 anggota dewan yang mencalonkan diri. Malah waktu saya dilantik, saya ketiban predikat sebagai legislatif termuda Kota Tangerang. Dan hingga saat ini saya diberi amanah, alhamdulillah untuk memimpin Partai Amanat Nasional Kota Tangerang.
Kembali ke premis politik yang bermanfaat, yang sekilas berseberangan dengan rumor publik bahwa politik itu kotor, seperti apakah?
Ini memang menjadi pekerjaan rumah besar bagi siapa pun yang terjun ke dunia politik. Politik itu sesungguhnya baik. Adanya korupsi, gratifikasi, atau bentuk pelanggaran hukum lainnya itu senantiasa berkaitan dengan person. Dengan orangnya dan bukan dengan sistemnya. Dan perlu kita pahami bersama, saat kita mengeluhkan adanya layanan pemerintah yang belum maksimal, minimnya perhatian pemerintah terhadap kondisi infrastruktur di lingkungan kita, atau juga mencemaskannya tindak kejahatan di jalanan, jalan satu-satunya ya hanya politik.
Silakan saja untuk mencalonkan diri menjadi anggota dewan untuk niatan agar kelak memiliki jabatan sampai ke tingkat walikota, bupati, gubernur, atau alih-alih presiden. Namun, di manapun posisinya, asas manfaat inilah yang seharusnya menjadi tujuan utama. Siapa lagi yang bisa mengawasi kebijakan pemerintah kalau bukan kita? Para generasi muda. Penting untuk mengedukasi mereka agar melek politik.
Adakah yang berbeda antara sebelum dan setelah menjadi anggota dewan?
O ya, saya jujur sebenarnya kurang nyaman jika kadang sering dipanggil dengan sebutan “Pak Dewan!” Saya malah lebih suka jika dipanggil dengan “Tong, ngopi sini!” atau “Dwiki, mau ke mana?” Ada tiga pertimbangan mengapa saya tidak nyaman dengan panggilan tersebut.
Pertama, menciptakan jarak. Dewan itu sebuah jabatan, kekuasaan sedangkan rakyat itu adalah sebuah komunitas yang tentunya secara naluriah lebih leluasa bergerak tanpa dibatasi dengan status sosial.
Kedua, penyebutan dewan selalu menyisakan pesan lanjutan, “Nah bisa nih diatur, kan ada Pak Dewan.” Itu salah besar. Wewenang legislatif itu hanya memberikan usulan, mengawas, dan bukan mengeksekusi langsung di lapangan. Dan ketiga, dewan yang notabene adalah kekuasaan atau jabatan tadi, sifatnya sementara.
Seperti apa kondisi riil di lapangan?
Alhamdulillah. Bagusnya sistem pemerintahan di Kota Tangerang itu the right man on the right place. Setiap bentuk usulan baik dari ide hingga eksekusi, semua ditangani oleh mereka yang memang seharusnya menangani. Tidak ada double job, apalagi tumpang tindih persoalan. Semua aspirasi masyarakat kita sampaikan. Dan giliran tiba saatnya untuk dieksekusi misalnya, pemerintah Kota Tangerang pun akan mulai menempatkan orang-orang yang memang sesuai kapasitas untuk menanganinya.
Meskipun begitu, ada kalanya kita juga turut ikut turun ke lapangan. Misalnya saat ada projek pembangunan jalan. Saya bisa mengecek kualitas aspalnya, jika kualitasnya tidak sesuai dengan spek yang diminta, katakanlah speknya bagus tapi realisasinya buruk, saya akan mengusulkan untuk diganti aspalnya. Atau jika memang pihak kontraktornya tidak menyanggupi untuk mengganti, saya akan meminta kepada eksekutif untuk mengadakan tender ulang projek. Anggaran daerah ini uang rakyat, jadi pastikan dimanfaatkan untuk sepenuhnya kepentingan rakyat.
Apa persoalan fundamental yang dihadapi Kota Tangerang?
Kota Tangerang secara geopolitik bagus. Tangerang menjadi gerbang keluar masuk perlintasan, baik darat, laut, maupun udara. Untuk itum persoalan terbesarnya adalah bagaimana cara menyejahterakan masyarakat. Meski infrastruktur sudah baik, saya masih melihat fasilitas kesehatan masih minim. Tangerang itu kota industri dan jasa. Itu beberapa tahun lalu. Sekarang sedikit demi sedikit sudah banyak yang tutup dan bahkan pindah ke wilayah lain.
Dari sisi kesehatan, Kota Tangerang itu berpenduduk 2 juta di siang hari dan menjadi 2,4 juta penduduk di malam hari. Dengan angka sebesar itu, Tangerang baru memiliki satu rumah sakit umum daerah (RSUD), berkapasitas 250 bed, dan bertipe kelas C.
Rasio ini sangat jauh. Memang ada beberapa rumah sakit swasta, yang beberapa juga bertaraf internasional. Namun bagi masyarakat kurang mampu, ke mana lagi tujuan mereka berobat jika tidak ke RSUD? Setelah saya masuk menjadi anggota dewan, dan juga melalui berbagai forum pertemuan dengan teman-teman di PAN, kami pun gencar mengusulkan perlu dibangunnya lagi satu RSUD. Satu untuk masyarakat wilayah barat dan satu untuk melayani masyarakat wilayah Timur.
Alhamdulillah, tahun depan ini usulan kita disetujui dan akan dibangun satu RSUD baru di kawasan Jatiuwung, Kota Tangerang.
Persoalan berikutnya yang juga terkait dengan kesejahteraan adalah bantuan sosial. Saya pernah berkunjung ke Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Luas wilayah kabupaten ini tidak seluas Kota Tangerang. Namun, pemerintah daerahnya mampu memberikan santunan setiap keluarga sebesar Rp500.000,00. Smentara Kota Tangerang dengan APBD kurang lebih 4,7 triliun, baru mampu memberi bantuan dua kuintal beras per satu kelurahan. Termasuk dalam hal ini juga bantuan untuk para guru yang masih jauh dari harapan.
Terakhir, dengan terbukanya tiga jalur masuk melalui Kota Tangerang, kota ini pun rawan dengan bahaya laten narkoba. Beberapa waktu lalu, saya dan teman-teman di PAN juga sedang merumuskan rencana peraturan baru terkait dengan upaya merebaknya kasus narkoba di Kota Tangerang.
Apa potensi yang dimiliki generasi muda Kota Tangerang?
Salah satunya industri kreatif. Banyaknya kedai kopi bermunculan. Rumah mode juga tidak ketinggalan. Umumnya generasi muda kota ini gigih namun masih perlu diarahkan. Harus didukung lagi dengan memberikan wadahnya dan juga membantu membuka lebar pasarnya. Saya pernah sampaikan ke para pemuda di kampung saya.
Daripada banyak waktu kosong, coba setiap orang berkomitmen setiap bulan patungan Rp10.000 ,00 saja. Suatu saat nanti jika sudah terkumpul, mereka bisa meminjam lahan warga. Buat kedai kopi atau warung sehingga pawa warga setempat tidak perlu jauh-jauh untuk nongkrong maupun belanja. Bonusnya, ia juga membuka lapangan kerja.
Apa saran untuk generasi muda yang akan terjun di dunia politik?
Saya dalam hidup berpolitik selalu menanamkan niat, tekad, usaha, dan doa. Niat harus baik dan didampingi semangat baik. Santun dalam berperilaku dan jangan mengumbar fitnah apalagi membawa-bawa urusan SARA. Strategi pencitraan justru berpotensi memecah belah masyarakat. Dengan niat yang lurus maka diharapkan orang-orang yang akan duduk di pemerintahan pun akan didominasi oleh orang-orang yang lurus; tidak mengenal gratifikasi, korupsi, atau nepotisme.
Karena sesungguhnya politik itu baik, jadi jangan mencorengnya sehingga menjadi tidak baik. Ada lebih banyak orang baik yang kelak akan terjun dalam dunia politik. Sekali bertekad, berupaya semaksimal mungkin. Jangan berpolitik untuk mencari sensasi karena itu tidak akan pernah bertahan lama. Bekali dengan kecakapan para politisi, seperti public speaking, leadership. Dan yang terpenting di atas segalanya adalah jadilah politikus yang santun; sayang terhadap yang muda dan penuh hormat terhadap mereka yang lebih tua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H