Saya sebenarnya asli orang kampung, dilahirkan di kampung, dan dibesarkan di lingkungan kampung. Saat masih remaja, saya menjumpai tetangga, juga saudara, banyak yang mengeluhkan layanan pemerintah yang masih kurang. Kondisi ini pun membuka mata hati saya. Apalagi orang tua saya selalu mengajarkan, “Jadilah orang yang bermanfaat, walaupun kecil.”
Akhirnya saya niatkan dengan bismilllah. Berbekal sedikit ilmu tentang hukum, saya mulai mengikuti pengaderan. Saat itu pun bahkan kalau boleh dibilang masih sebatas ikut-ikutan. Tidak disangkan dan juga tidak berapa lam, saya malah akhirnya juga mengikuti proses pencalonan legislatif. Memang sempat dilematis, karena jika saya ikut makan impian saya untuk studi ke luar negeri juga harus dilupakan dulu.
Saya pun menguatkan keyakinan. Bersyukur, keluarga saya juga sangat mendukung tekad saya untuk maju. Tidak urung sahabat-sahabat saya, teman-teman saya, juga men-support 100%. Sedemikian yakinnya bahkan sampai saya kadang merasakan kecemasan, jika nanti ada yang berbicara buruk tentang saya, semoga hal itu menjadi doa. Malah, saya waktu itu mengalami langsung, tidak sedikit pula yang justru meragukan kemampuan saya; masih muda, belum berpengalaman, belum berprestasi, atau embel-embel lainnya.
Malah saya juga sempat berdalih, jika setiap calon pemimpin harus memiliki pengalaman, secara akal berarti mereka yang tidak memiliki pengalaman, (seumur hidupnya) tidak akan pernah menjadi pemimpin? Adilkah? Dan juga bukankah para pemimpin yang berpengalaman ini semuanya juga memiliki kesamaan: memulai dari nol?
Ketika masa kampanye, saya tidak pernah mengumbar janji. Setiap kali saya bertemu masyarakat, hal pertama yang selalu saya sampaikan adalah, “Saya hanya mohon doa, saya tidak memohon dukungan”. Kedua, jika sudah memohon doa, saya baru menyampaikan, “Jika Bapak dan Ibu berkenan, tolong dukung saya. Tidak akan pernah ada perselisihan jika kemudian Bapak atau Ibu tidak jadi memilih saya atau juga jika Bapak atau Ibu sudah memiliki pilihan lain. Kita semua tetap bersaudara dan berkeluarga.” Lalu, hal ketiga yang biasanya selalu saya sampaikan ke mereka adalah, “Mohon selalu ingatkan saya, baik ketika bertemu saya ataupun saat babap atau Ibu tidak bertemu dengan saya.”
Selama masa kampanye itu pun saya menggunakan waktu untuk blusukan. Tidak hanya di dalam Kota Tangerang tetapi juga keluar Kota Tangerang. Hingga tiba pada 17 April 2019, saya ditetapkan menjadi anggota dewan. Saya mendapatkan suara terbanyak kedua dari 50 anggota dewan yang mencalonkan diri. Malah waktu saya dilantik, saya ketiban predikat sebagai legislatif termuda Kota Tangerang. Dan hingga saat ini saya diberi amanah, alhamdulillah untuk memimpin Partai Amanat Nasional Kota Tangerang.
Kembali ke premis politik yang bermanfaat, yang sekilas berseberangan dengan rumor publik bahwa politik itu kotor, seperti apakah?
Ini memang menjadi pekerjaan rumah besar bagi siapa pun yang terjun ke dunia politik. Politik itu sesungguhnya baik. Adanya korupsi, gratifikasi, atau bentuk pelanggaran hukum lainnya itu senantiasa berkaitan dengan person. Dengan orangnya dan bukan dengan sistemnya. Dan perlu kita pahami bersama, saat kita mengeluhkan adanya layanan pemerintah yang belum maksimal, minimnya perhatian pemerintah terhadap kondisi infrastruktur di lingkungan kita, atau juga mencemaskannya tindak kejahatan di jalanan, jalan satu-satunya ya hanya politik.
Silakan saja untuk mencalonkan diri menjadi anggota dewan untuk niatan agar kelak memiliki jabatan sampai ke tingkat walikota, bupati, gubernur, atau alih-alih presiden. Namun, di manapun posisinya, asas manfaat inilah yang seharusnya menjadi tujuan utama. Siapa lagi yang bisa mengawasi kebijakan pemerintah kalau bukan kita? Para generasi muda. Penting untuk mengedukasi mereka agar melek politik.
Adakah yang berbeda antara sebelum dan setelah menjadi anggota dewan?
O ya, saya jujur sebenarnya kurang nyaman jika kadang sering dipanggil dengan sebutan “Pak Dewan!” Saya malah lebih suka jika dipanggil dengan “Tong, ngopi sini!” atau “Dwiki, mau ke mana?” Ada tiga pertimbangan mengapa saya tidak nyaman dengan panggilan tersebut.