Matahari mulai naik. Mbah Trimah pergi ke belakang rumah. Ia menuju ke sebuah kandang yang berisi tiga ekor kambing. Dulunya, Mbah Trimah bertemu dengan salah seorang pedagang kambing di Pasar Seton. Setiap Sabtu Mbah Trimah memang selalu berjualan nasi dan lauk di pasar kambing di kampungnya.
“Mbah,” kata Pak Mitro.
“Inggih,” sahut Mbah Trimah.
“Mekaten Mbah, saya ini punya rencana buat ibadah kurban. Tapi kandang yang ada di rumah sudah ndak muat lagi Mbah,” kata Pak Mitro.
“Lajeng Dospundi?” tukas Mbah Trimah
“Kalo ndak keberatan saya mau nitip dua kambing di tempat Mbah, nanti kalo beranak dua, buat Mbah satu buat saya satu, bagaimana Mbah?” pinta Pak Mitro
Mbah Trimah sebenarnya bukan tidak ingin menolak permintaan Pak Mitro. Tapi dengan satu kambing yang sudah ada Mbah Trimah sudah kerepotan. Untuk mencari rumput untuk satu ekor kambing, Mbah Trimah harus pergi ke kebun mencari dedaunan atau rerumputan. Masih bersyukur kalau hari kemarau. Kalau hujan, Mbah Trimah tidak bisa merumput dengan jumlah yang banyak.
Rupanya, anaknya yang paling sulung, Sugeng, mau mengurus kedua kambing itu. Jadi selama ini Mbah Trimah bisa istirahat di rumah.
Satu ekor kambing itu kini tengah hamil tua. Paling tidak tujuh atau delapan hari lagi diperkirakan akan segera melahirkan.
“Geng, kalo cari rumput jangan sore-sore, yo,” pesan Mbah Trimah sambil memasukkan kotoran-kotoran kambing ke dalam kandi. Kotoran-kotoran kambing itu rencananya akan dibawanya ke hutan untuk ditaburkan di pangkal-pangkal pohon cengkih dan mahoni sebagai pupuk alami.
Mbah Trimah menggendong kandi berisi pupuk di punggungnya dan menenteng sabit di tangan kanannya. Sabit itu akan ia gunakan untuk menyisir tanaman palawija yang dua hari lagi akan ia jual lagi di pasar.