“Kebun atau hutan Pak De?”
“Hutan, Le. Bosnya Pak De orang kaya. Dia punya hutan, bukan punya kebun seperti yang Simbahmu punya yang di Tegalgede. Hutannya di Kalimantan hitungannya sudah bukan lagi hektar, tapi pulau. Itu belum yang di Sumatera, Le.”
“Pak De dikasih hutannya?”
“Pak De dikasih kebunnya. Tapi itu Pak De garap tenanan. Pak De kini sudah nambah luas kebunnya. Punya rumah sendiri dan alhamdulillah punya kendaraan rodo papat. Di sana tanah masih luas sementara penduduknya sedikit. Ndak kaya di kampung sini, Le. Bu De juga terus tak ajak pindah Kalimantan sama saudaramu si Sugeng. ”
“Wah, makmur nggih Pak De?”
“Alhamdulillah, syarate tekun lan ojo lali karo sing Kuoso.”
“Mbah ….”,
Panggilan itu membuyarkan lamunan dan ingatan Mbah Trimah. Di usia yang sudah mendekati kepala sembilan itu, ingatan dan juga penglihatan Mbah Trimah memang masih istimewa. Ia jarang lupa dan bahkan masih mampu membaca tarian kata-kata yang dikirim Sukri melalui pos dari Kalimantan ketika Sukri berhalangan pulang untuk berlebaran. Barangkali ini adalah karomah yang diberikan oleh sang Kuasa.
Mbah, Sukri sehat, kabar Mbah bagaimana? Lebaran ini Sukri belum bisa pulang ya Mbah. Ini Sukri kirim uang buat Mbah beli inang sama baju Lebaran. Sukri juga lagi nabung Mbah, mudah-mudahan nanti bisa menghajikan Mbah ke Tanah Suci. Doakan Sukri ya Mbah, agar kelak bisa menemani Mbah lagi mengambil kleyang di hutan.
Tiba-tiba kelopak mata Mbah Trimah mulai membasah. Sukri. Gemulai jemarinya masih terus menelusuri berulang-ulang permukaan biji cengkeh yang dijemurnya.
“Sreek … sreek … sreek.”