Ia merasakan seperti sedang membelai-belai kepala Sukri. Sukri kecil memang lebih suka mengikuti ke mana pun Mbah Trimah pergi. Sepulang sekolah, Sukri biasanya ikut Mbah Trimah pergi ke hutan memunguti kleyang. Saat Mbah Trimah sibuk memunguti daun-daun yang berguguran, Sukri biasanya akan bermain air ke sungai.
“Mbahhh … aku dapet batu intan!”
Sukri lalu membawa batu-batu kecil dengan bercak kekuningan mirip emas itu ke rumah. Meletakkannya di samping dipan tempat tidurnya. Dan jika ia kelelahan karena menaiki dan menuruni lekukan tanah-tanah liat di pinggiran sungai, Sukri akan lekas tertidur beralas karung beras di bawah pohon cengkeh di dekat Mbah Trimah.
Usai mengaji di langgar dengan Pak Kyai, Sukri akan langsung tengkurap di dipan dan meminta Mbah Trimah mendongeng.
“Mbah sekarang mau mendongeng apa?”
“Alkisah, pada zaman dahulu hiduplah seorang wanita bersama anak laki-lakinya. Anak laki-laki ini bentuk tubuhnya agak aneh. Ia memiliki badan seperti periuk. Karena itulah ia sering dijuluki dengan sebutan Joko Kendil. ”
“Terus, Mbah?”
“Meskipun seperti periuk, Ibunya sangat mencintainya ….”
“Mbah … Simbah ….”
“Uhuk … e … iya, Nduk.”
Untuk kedua kalinya panggilan itu membuyarkan lamunan Mbah Trimah. Asih keluar dari dalam rumah membawakan teh pahit dan jadah. Sementara Mbah Trimah agak terhenyak lalu tak berapa lama mencoba meletakkan tampah yang ada di hadapannya ke atas kursi kayu. Jadah dan teh pahit memang kegemaran Mbah Trimah. Ia jarang sekali makan gorengan, biskuit, kerupuk, atau roti-roti yang sering ia lihat saat di pasar. Apalagi saat menjelang Lebaran.