"Lalu rumah Ibu?"
"Nanti kapan-kapan kalau Mamet kangen sama Ibu, kita akan jenguk rumah itu. Yang pasti, rumah Kakak lebih dekat dengan pengajian kamu dan dekat juga dengan teman-temanmu. Bagaimana?" pintaku.
"Makasih, Kak Arkan." Balas ia dengan tersenyum.
"Sama-sama, bocah." Jawab akrabku mengelus rambut Rahmat.
***
Aku sangat senang bahwa Rahmat setuju untuk melanjutkan pendidikannya dan menginap denganku. Rasanya akan ada secercah kesuksesan pada diri Rahmat, tetapi bukan berarti Rahmat dilepaskan begitu saja untuk kurawat. Ibu Nina tetangga almarhumah Ibu Sri, kurang setuju bila Rahmat tinggal di tempat orang yang baru saja ia kenal.
Aku paham maksud Ibu Nina demikian. Sebelum melepaskan Rahmat untuk dirawat olehku, beliau terus bertanya semua hal yang berkaitan denganku, termasuk identitasku secara rinci.
Akhirnya melalui obrolan panjang hingga malam tiba, Ibu Nina sebagai yang bertanggung jawab atas Rahmat sepeninggalan Ibu Sri, mengizinkanku untuk membawa Rahmat. Lagipula Rahmat setuju untuk tinggal bersamaku. Dengan sebuah amanah untuk menjaga Rahmat, hal itu pasti akan aku lakukan sebaik mungkin.
Rahmat menyusun barang-barang yang akan dibawa, baju, buku pengajian, dan beberapa pemainannya. Aku melihat dan menganggapnya seakan adikku sendiri.
Setelah selesai berkemas, aku dan Rahmat berjalan menuju rumah yang kusewa di perbatasan desa.
Malam di pedesaan sangat sunyi dan sepi, lampu pijar bertebaran di sepanjang jalan pulang. Malam ini langit penuh dengan bintang yang bertaburan di angkasa, tak ada bulan yang mendampingi malam.