Aku mengajak Rahmat mengobrol dan duduk di bawah pohon yang tak jauh dari tempat pemakaman. Ia menurutiku.
"Mamet, Kakak turut berduka cita atas kepergian ibumu." Ucapku pelan.
"Makasih, Kak." Jawabnya.
"Sebenarnya Kakak punya keinginan untuk kamu."
"Keinginan apa, Kak?"
"Kamu ingin sekolah?"
"Mamet gak punya uang, Kak. Lagipula rumah tidak ada yang jaga." Jelas ia dengan pasrah.
"Kakak, ingin membiayai kamu sekolah dan kalau mau Mamet bisa tinggal dengan Kakak di kota." Jelasku.
"Makasih Kak kalau Kakak mau membiayai Mamet sekolah, tapi Mamet gak bisa meninggalkan desa ini. Mamet tidak punya siapa-siapa lagi selain teman Mamet."
Aku menyadari bahwa Rahmat sekarang sedang kesepian. Aku harus memahami bahwa ia perlu teman sebaya.
"Ok, Kakak menyekolahkanmu di desa ini saja dan kamu mau tinggal dengan Kakak?" tawarku penuh harap.