Raja siang akan pergi ke peraduannya, suasana sekitar pemakaman sangat tenang dan hangat. Sesekali kicauan burung dengan merdu mengiringi proses pemakaman.
Tuhan Maha Kuasa atas segala sesuatu, daerah sekitar pemakaman menggambarkan bahwa alam menerima Ibu Sri, indah sekali dan penuh hikmat menghapuskan kesedihan semua orang.
Ini adalah sebuah pelajaran lagi buatku, semenjak tinggal di sebuah pedesaan. Apabila seseorang yang disayangi meninggalkan kita, lebih baik kita ikhlaskan dan serahkan semua kepada Tuhan Yang Maha pengatur kehidupan, karena ini semua merupakan takdir-Nya.
Aku melihat Rahmat sudah menerima kematian ibunya, dia tegar dan berusaha tersenyum kepada tetangga yang mengucapkan belasungkawa kepadanya.
Sungguh hebat bocah berkulit putih berumur delapan tahun, dalam waktu beberapa jam telah mengikhlaskan kepergian sang Ibu, yang tiada lain adalah satu-satunya keluarga yang Rahmat miliki.
Berbeda dengan diriku, baru menerima dan mengikhlaskan kepergian ibu dalam waktu dua bulan. Padahal aku masih memiliki ayah, dua kakak, dan sanak saudara yang lain.
Aku teringat akan tujuanku datang ke rumah Rahmat, bahwa aku ingin membiayai Rahmat untuk bersekolah. Lalu aku harus minta izin pada siapa? Dan tinggal dengan siapa Rahmat, sepeninggalan ibunya? Lebih baik setelah pemakaman ini, aku diskusikan pada Rahmat.
Kali ini, aku melihat Rahmat memandang jenazah ibunya tanpa kedip, saat Ibu Sri menuju liang lahat. Kedua mata Rahmat terlihat merah menahan air mata. Betapa pedih bila aku berada pada posisinya. Kematian datang kapan saja tanpa pamit, baru saja tadi pagi aku melihat Rahmat dalam dekapan Ibu Sri, tetapi pada sore ini beliau telah meninggalkan Rahmat.
Proses pemakaman telah usai, beberapa yang hadir, satu per satu meninggalkan komplek kuburan. Aku mendekati Rahmat yang sedang berada di samping Pak Ustad dan keluarga Ibu Nina.
"Maaf, bisa saya bicara dengan Rahmat." Izinku pada Pak Ustad dan keluarga Ibu Nina.
"Oh, silahkan."