Berkali-kali ia ucapkan kata Ibu dengan penuh duka yang mendalam. Aku sangat terharu melihat kondisi Rahmat. Perlahan kudekati untuk menenangkannya, dan duduk di sampingnya.
"Ibumu pasti akan mendapatkan tempat yang terbaik di Surga, karena telah menjaga dan merawatmu menjadi anak yang berbakti kepada orang tua." Ucapku perlahan sembari mengelus rambut Rahmat yang halus.
"Aku pingin ikut Ibu, Kak." harap ia sembari menangis.
"Mamet jangan berkata itu, kamu ingat perkataan ibumu disaat kakimu sakit? Ibunya Mamet bilang bahwa kamu tetap anak yang Ibu banggakan." Sahutku menenangkannya.
"Mamet gak bisa hidup tanpa Ibu." Pasrah dan memeluk kedua lututnya.
"Kamu pasti bisa kok. Kakak juga dulu ditinggal oleh ibunya Kakak. Memang Kakak juga sedih terima hal tersebut, tapi perlahan Kakak bangkit, dan berusaha untuk membahagiakan Ibu dengan apa yang Kakak capai saat ini." Ucapku menyemangatinya.
"Memang apa yang Kakak capai?" tanya Rahmat hingga mengurangi rasa sedihnya.
"Kakak dulu bekerja jadi asisten dokter."
"Itukan dulu, sekarang Kakak pengangguran toh?" tanya Rahmat sekenanya.
"Yah, sekarang Kakak milih istirahat dulu dari pekerjaan. Nanti setelah cukup istirahatnya Kakak mulai berkerja lagi." Terangku.
"Oh begitu." Kembali Rahmat berbicara lemas.