"Ada apa dengan Ibu? Kenapa gak ada yang mau jawab?" tanya Rahmat agak berteriak dan semakin panik.
Semua hanya terdiam. Ibu berjilbab memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Rahmat. Perlahan ia mendekati Rahmat yang berada di samping ibunya.
"Rahmat, ibumu saat ini telah menyusul bapakmu." Halus ia menegarkan Rahmat.
"Maksud Ibu Nina?" tanya Rahmat terlihat lemas. Terlihat kondisinya yang lemas dan mulai menangis. Ibu Nina mendekati Rahmat, dan memegang kedua bahu Rahmat dengan kedua tangannya. Ia berusaha menyembunyikan perasaan sedih.
"Ibumu meninggal, Nak." Ucap Ibu Nina dengan terharu.
Seketika Rahmat terdiam dan tak percaya bahwa ibunya telah tiada. Tak ada sepatah katapun yang ia ucapkan, perlahan ia memegang kedua wajah orang yang ia cintai. Air mata terus mengalir hingga membasahi kedua pipinya.
Kedua tangan Ibu Nina mengelus pundak Rahmat, tetapi dengan cepat Rahmat berlari keluar meninggalkan rumah.
Aku mengikuti Rahmat dan lari mengejarnya. Ia berhenti dan duduk menangis di bawah pohon. Bagaimanapun aku mengerti perasaan Rahmat. Aku pernah merasakan dengan yang Rahmat rasakan saat ini, saat mendengar kabar bahwa ibunda telah meninggal dunia.
Ketika kehilangan seorang ibu, rasanya dunia ini menjadi tidak berwarna, hampa, dan sepi. Saat pertama kali mendengar kabar bahwa ibu telah meninggal, bagaikan es tajam yang menusuk hati. Perih dan menyiksa.
Namun demikian, aku lebih beruntung dibandingkan Rahmat. Aku ditinggal oleh almarhumah ibu saat umur dua puluh tahun. Berbeda dengan Rahmat yang masih membutuhkan Ibu untuk beranjak dewasa. Ia ditinggal dalam umur delapan tahun. Massa kanak-kanak yang harusnya ia lewati bersama ibu, ternyata harus rela dipisahkan oleh takdir Tuhan.
"Ibu." Tangis Rahmat mengenang ibunya.