Rafa melihat jauh ke arah planet tersebut. Dari balik kaca pesawat, ia melihat planet berwarna kemerahan yang sepintas terlihat tidak bersahabat. Untuk mencapai planet ini, butuh 21 tahun cahaya jika diukur dari Bumi. Proxima B287X memiliki ukuran sembilan kali lipat besar ukuran Bumi. Planet itu berada pada jarak sekitar 7,5 juta kilometer dari bintang induknya.
"Mari berdoa agar planet ini bersahabat dengan kita. Jangan melihat warna kemerahan hanya sebagai api yang bisa membakar," ujar Kapten Marshall seolah membaca pikiran Rafa.
"Kalian orang Asia. Tentu nyali kalian lebih gila dibanding kami orang eropa. Aku mendengar banyak hal mengenai kalian orang Asia. Apalagi kau seorang muslim. Aku yakin Tuhanmu akan mendengar doamu." Kapten Marshall mencoba menenangkan.
Rafa mengangguk. Dari sejumlah penelitian yang dipelajarinya, ia tahu kedekatan jarak planet itu dengan bintang induknya tak lantas membuat planet tersebut menjadi sangat panas. Proxima Centauri sebagai bintang induk tak sepanas Matahari.Proxima Centauri digolongkan sebagai bintang katai merah yang suhunya lebih dingin dari matahari. Setidaknya, mereka tidak akan mati terbakar jika harus terdampar di planet itu.
"Saat ditemukan pertama kali, manusia membutuhkan ribuan tahun untuk mencapai Proxima B287X ini pak. Siapa sangka, kita yang justru lebih dulu bisa singgah. "Rafa mencoba menghibur diri. Lelaki yang bermimpi menjadi astronot sejak mesantren di Madura itu tak menduga akan bertemu dengan kondisi seperti sekarang ini. Rafa tersenyum ke arah Kapten Marshall.
Tapi lelaki yang delapan tahun lebih tua itu seperti tak mendengar ocehan Rafa. Kapten Marshall masih terpaku di tempat duduknya. Didepannya, sebuah planet dengan dominasi warna jingga kemerahan mulai terlihat semakin dekat.Sama seperti Bumi, Proxima B287X merupakan planet batuan. Planet itu juga terletak pada Goldlilocks Zone, sebuah zona yang pas untuk mendukung terciptanya suhu tepat yang memungkinkan adanya air bagi kehidupan.
Kapten Marshall membuka sebuah lipatan kertas dari saku baju luar angkasa yang dikenakannya. Lelaki itu terlihat serius mengamati foto yang disimpannya rapi dalam lipatan kertas. Rafa memincingkan mata, penasaran dengan foto tersebut. Kapten Marshall lalu memutar tempat duduknya, memperlihatkan foto itu pada Rafa.
"Aku berencana pensiun setelah misi ini. Dua anakku yang ini, tumbuh besar tanpa keberadaanku di sisi mereka. Kesibukan dan tugas seperti ini telah menyita waktuku untuk mereka," Kapten Marshall menunjuk dua gadis cantik dalam foto itu. Rafa hanya mengangguk.
"Ini istriku, Anna. Jagoan kecil yang digendongnya adalah anak ketigaku. Usianya baru dua tahun. Aku berharap bisa menghabiskan banyak waktu dengan putraku ini," Kapten Marshall lalu terdiam. Ia tak sanggup melanjutkan cerita. Matanya mulai berkaca-kaca. Nampaknya lelaki itu sadar betul dengan peluang mereka untuk bisa selamat pada misi kali ini sangat tipis.
Rafa ikut terdiam. Ia teringat akan keluarganya di Jakarta. Lelaki itu tak menyangka kecintaannya pada segala sesuatu yang berkaitan dengan antariksa telah membawanya ke tempat terasing yang luar biasa jauh ini. Rafa hanya santri biasa di pesantren saat mulai tertarik dengan astronomi. Ia jatuh cinta pada antariksa setelah membaca buku-buku sains di perpustakaan pondoknya.
Saat sebagian teman-teman sebayanya melanjutkan kuliah ke Timur Tengah, ia memilih ke Amerika. Mengambil beasiswa di universitas yang kemudian membawanya menjadi astronot. Rafa ingat nasihat kiyainya. Alumni pesantren tak harus menjadi dai. Alumni pesantren tak harus menjadi kiyai. Jadilah apapun yang bisa berguna bagi sesama. Jadilah apapun dengan jiwa seorang dai. Jadilah apapun dengan mental seorang kiyai.