Rafa coba memejamkan mata. Ia masih di dalam Manned Maneuvering Unit (MMU), pakaian dengan alat kelengkapan khusus untuk bergerak di angkasa luar. Lelaki itu tengah menunggu perintah untuk bisa mendekati Cassini, pesawat tanpa awak yang telah mengorbit di Saturnus sejak 2004 silam.
Entah bagaimana prosesnya, pesawat penyelidik itu bisa terdampar hingga Proxima Centauri, sistem keplanetan yang lokasinya jauh di luar Tata Surya. Ini sudah penghujung tahun 2039. Sudah 30 tahun lebih pesawat itu dinyatakan hilang sejak terakhir dinyatakan lost contact dengan bumi pada September 2006.
Rafa gagal memejamkan matanya. Ia sangat penasaran dengan pesawat yang sempat hilang misterius itu. Dulu sewaktu mondok di pesantren Madura, ia pernah membaca, Cassini dan Huygens -satu pesawat tanpa awak lainnya- dikirim Nasa dari bumi pada 1997. Butuh waktu tujuh tahun untuk mengantar pesawat-pesawat ini menetap pada orbit yang telah ditentukan. Saat itu untungnya tidak ada manusia yang ikut dalam misi tersebut.
Huygens mendarat di Titan, salah satu bulan milik Saturnus yang ukurannya paling besar dan satu-satunya bulan Saturnus yang memiliki atmosfer. Sementara Cassini mengorbit di Saturnus itu sendiri. Pada 2006 Cassini dinyatakan hilang, dan 30 tahun kemudian, keberadaannya kembali ditemukan. Melalui instrumen High Accuracy Radial Velocity Satellite Searcher (HARSS) yang berada di gurun Atacama, Chile, pesawat ini ditemukan melayang di luar atmosfer Proxima B287X.
Rafa memeriksa kondisi cadangan oksigen pada MMU yang dipakainya. Lelaki yang menjadi astronot muslim Indonesia pertama yang dikirim ke sistem gugusan planet terluar itu akan bergerak melayang mendekati Cassini yang letaknya tak jauh dari Voyager XV20500, pesawat penjelajah  yang membawanya. Rafa tidak sendiri. Dalam misi ini ia bersama Kapten Marshall. Pilot senior Nasa yang telah beberapa kali sukses menyelesaikan misi di luar angkasa.
Rafa mulai mendekati pesawat itu. Perlahan ia menggerakan tubuhnya mendekati Cassini. Rafa harus hati-hati bergerak. MMU yang melekat di tubuhnya tidak bisa seenaknya dibawa bergerak bebas. Di luar Tata Surya, kemampuan manusia dalam memprediksi keadaan masih terbatas. Rafa tidak mau dikagetkan meteoroid yang tiba-tiba saja bisa melintas entah dari mana. Lelaki itu menggerakan pusat kontrol MMU yang ada di lengannya dengan sabar.
Di luar pakaian yang dikenakan Rafa, suhu sangat dingin menusuk. Tidak ada udara di luar angkasa. Di luar atmosfer bumi, suhu bisa sangat panas atau bisa sangat dingin. Sangat berbahaya bagi manusia. Dari balik visor di helm yang dikenakan, lelaki itu mulai mengamati pesawat Cassini, yang kini kondisinya sudah parah. Cassini yang dulu menggemparkan itu, saat ini sudah menjadi bangkai pesawat luar angkasa.
Rafa melaporkan apa yang dilihatnya kepada Voyager XV20500. Lelaki itu beberapa kali mengambil foto, mengirimkan, dan berkomunikasi hanya dengan menggerakan telunjuknya, menekan beberapa tombol pada pusat kontrol di lengan MMU yang dikenakannya. Rafa tercengang. Cassini benar-benar sudah hilang bentuk.
Beberapa bagian pesawat tanpa awak itu hilang entah kemana. Kabin utama pecah terbagi dua. Mungkin sebuah meteor telah menghantam pesawat itu. Buritan pesawat sudah tidak berbentuk. Pada bagian lain, Rafa menemukan badan pesawat dibekap es dengan tebal hingga 30 cm.
Bagian pemancar pesawat itu juga telah terbelah dan berceceran. Panel-panel dan bagian lainnya bahkan sudah hangus terbakar. Rafa tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Cassini.
"OX1 pada OX2.. hentikan aktifitas. Segera menuju Voyager. Ada benda asing yang menuju orbit Cassini. Satu jam perjalanan waktu bumi," suara Kapten Marshall mengagetkan lelaki itu.
Segera Rafa bergerak mundur. Dorongan tenaga yang keluar dari lubang-lubang kecil MMU perlahan membawa Rafa menjauhi Cassini. Di luar pakaian astronot, kondisinya sangat-sangat hening. Tidak ada satupun partikel yang bergerak. Rafa tidak bisa merasakan apapun dari MMU. Tapi ia harus cepat kembali ke Voyager XV20500. Ia tidak tahu benda apa yang tengah melaju dengan cepat ke arah mereka.
Ia melirik ke arah petunjuk waktu di dalam helmnya. Satu jam waktu bumi. Itu artinya ia harus cepat masuk pesawat dan bergerak ke luar orbit mereka saat ini. Dalam sebuah misi, para astronot ini tetap membawa jam, dan menjadikan waktu bumi sebagai patokan waktu mereka. Itu membuat mereka bisa memperkirakan lamanya pekerjaan mereka, atau memperkirakan kecepatan sesuatu.
Rafa masih berputar melayang mendekati Voyager XV20500. Rasa penasaran akan Cassini kini berganti menjadi kecemasan. Dalam misi ini, tidak ada yang tahu persis bahaya apa yang akan ditemui di wilayah orbit ini. Jarak Bumi dengan gugusan Proxima Centauri sendiri sekitar 40 triliun kilometer.Dan mereka kini mengorbit di luar atmosfer Proxima B287X.Salah satu planet di gugusan Proxima Centauri.
Kapten Marshall kembali memanggil Rafa. Voyager XV20500 mendapat informasi dari pusat kontrol bumi. Sebuah tumbukan asteroid telah terjadi di dekat mereka. Satu asteroid logam yang datang dari sistem Bintang Ganda Alpha Centauri melintas gugusan Proxima Centauri dan menabrak asteroid silicaceous. Saat ini, pecahan bongkahan asteroid yang bertubrukan itu tengah berhamburan menuju tempat mereka.
Rafa berusaha cepat untuk bisa sampai Voyager XV20500. Ia sudah dua puluh menit bergerak ke pesawat. Rafa mulai terlihat resah.Ia mulai kesal sendiri. Kenapa informasi dari pusat kontrol di bumi sangat mendadak dan datang terlambat. Satu jam waktu bumi bisa berarti sangat fatal di luar angkasa sana. Tidak ada yang bisa memperkirakan kecepatan sebenarnya dari meteoroid pecahan asteroid itu jika sudah masuk sistem gugusan lain. Rafa berusaha menggapai pesawat. Ia harus cepat masuk Voyager XV20500.
Di dalam Voyager XV20500, Kapten Marshall memberi komando untuk segera meninggalkan orbit. Rafa tahu betul, mereka tidak akan bisa menghindari meteoroid itu dengan sisa waktu hanya setengah jam waktu bumi. Rafa mengatupkan rahangnya. Merapatkan gigi atas dan gigi bawahnya. Lelaki itu terlihat mulai panik. Sementara Kapten Marshall beberapa kali menghubungi pusat kontrol di bumi. Meminta petunjuk secepatnya, kemana mereka harus bergerak.
Tak jauh dari lokasi itu, Belasan bahkan mungkin puluhan bongkahan asteroid tengah menuju atmosfer Proxima B287X. Ukuran asteroid itu beragam. Tapi tetap saja, ukuran terkecil bongkahan batu purba yang tertinggal saat planet tercipta itu bisa dengan mudah menghancurkan pesawat luar angkasa.
Kebanyakan asteroid di satu gugusan bintang biasanya mengorbit pada sabuk panjang diantara satu planet dan planet lainnya.
Asteroid besar kadang saling bertabrakan dan pecah menjadi bongkahan kecil. Daya dorong tersebut mampu membuat asteroid melesat keluar dari orbitnya. Jika melewati atmosfer, asteroid akan mengalami gesekan dan terbakar. Sehingga dari kejauhan, asteroid tersebut akan terlihat menyala.
Rafa melihat ke arah Kapten Marshall. Saat ini ia sama sekali tidak tahu harus berbuat apa. Sorot mata Kapten Marshall kemudian menyuruhnya untuk tenang. Masih ada setengah jam bagi mereka untuk menghindari hujan asteroid. Rafa menghela napas.Jarak terdekat bagi mereka untuk bisa bertahan adalah dengan menuju stasiun luar angkasa di gugusan Tata Surya. Di sana mereka bisa sekalian mengisi segala perlengkapan, termasuk oksigen dan bahan bakar.
Tapi misi mereka belum selesai. Mereka belum melaporkan kondisi Cassini secara utuh. Mereka harus tetap berada tak jauh dari bangkai pesawat luar angkasa itu. Dua astronot dalam pesawat penjelajah itu lantas memutuskan untuk memilih opsi lain. Masuk ke dalam atmosfer planet Proxima B287X dengan segala resikonya.
Nasa mengonfirmasi keberadaan Proxima B287X sebagai planet bebatuan seperti Bumi. Identifikasi planet tersebut dimungkinkan berkat sebuah perangkat canggih bernama Kepler N409. Wahana antariksa pemburu planet, yang mencari planet baru dengan metode transit dengan lebih dulu melihat kedipan cahaya bintang sebagai tanda adanya planet.
Rafa melihat jauh ke arah planet tersebut. Dari balik kaca pesawat, ia melihat planet berwarna kemerahan yang sepintas terlihat tidak bersahabat. Untuk mencapai planet ini, butuh 21 tahun cahaya jika diukur dari Bumi. Proxima B287X memiliki ukuran sembilan kali lipat besar ukuran Bumi. Planet itu berada pada jarak sekitar 7,5 juta kilometer dari bintang induknya.
"Mari berdoa agar planet ini bersahabat dengan kita. Jangan melihat warna kemerahan hanya sebagai api yang bisa membakar," ujar Kapten Marshall seolah membaca pikiran Rafa.
"Kalian orang Asia. Tentu nyali kalian lebih gila dibanding kami orang eropa. Aku mendengar banyak hal mengenai kalian orang Asia. Apalagi kau seorang muslim. Aku yakin Tuhanmu akan mendengar doamu." Kapten Marshall mencoba menenangkan.
Rafa mengangguk. Dari sejumlah penelitian yang dipelajarinya, ia tahu kedekatan jarak planet itu dengan bintang induknya tak lantas membuat planet tersebut menjadi sangat panas. Proxima Centauri sebagai bintang induk tak sepanas Matahari.Proxima Centauri digolongkan sebagai bintang katai merah yang suhunya lebih dingin dari matahari. Setidaknya, mereka tidak akan mati terbakar jika harus terdampar di planet itu.
"Saat ditemukan pertama kali, manusia membutuhkan ribuan tahun untuk mencapai Proxima B287X ini pak. Siapa sangka, kita yang justru lebih dulu bisa singgah. "Rafa mencoba menghibur diri. Lelaki yang bermimpi menjadi astronot sejak mesantren di Madura itu tak menduga akan bertemu dengan kondisi seperti sekarang ini. Rafa tersenyum ke arah Kapten Marshall.
Tapi lelaki yang delapan tahun lebih tua itu seperti tak mendengar ocehan Rafa. Kapten Marshall masih terpaku di tempat duduknya. Didepannya, sebuah planet dengan dominasi warna jingga kemerahan mulai terlihat semakin dekat.Sama seperti Bumi, Proxima B287X merupakan planet batuan. Planet itu juga terletak pada Goldlilocks Zone, sebuah zona yang pas untuk mendukung terciptanya suhu tepat yang memungkinkan adanya air bagi kehidupan.
Kapten Marshall membuka sebuah lipatan kertas dari saku baju luar angkasa yang dikenakannya. Lelaki itu terlihat serius mengamati foto yang disimpannya rapi dalam lipatan kertas. Rafa memincingkan mata, penasaran dengan foto tersebut. Kapten Marshall lalu memutar tempat duduknya, memperlihatkan foto itu pada Rafa.
"Aku berencana pensiun setelah misi ini. Dua anakku yang ini, tumbuh besar tanpa keberadaanku di sisi mereka. Kesibukan dan tugas seperti ini telah menyita waktuku untuk mereka," Kapten Marshall menunjuk dua gadis cantik dalam foto itu. Rafa hanya mengangguk.
"Ini istriku, Anna. Jagoan kecil yang digendongnya adalah anak ketigaku. Usianya baru dua tahun. Aku berharap bisa menghabiskan banyak waktu dengan putraku ini," Kapten Marshall lalu terdiam. Ia tak sanggup melanjutkan cerita. Matanya mulai berkaca-kaca. Nampaknya lelaki itu sadar betul dengan peluang mereka untuk bisa selamat pada misi kali ini sangat tipis.
Rafa ikut terdiam. Ia teringat akan keluarganya di Jakarta. Lelaki itu tak menyangka kecintaannya pada segala sesuatu yang berkaitan dengan antariksa telah membawanya ke tempat terasing yang luar biasa jauh ini. Rafa hanya santri biasa di pesantren saat mulai tertarik dengan astronomi. Ia jatuh cinta pada antariksa setelah membaca buku-buku sains di perpustakaan pondoknya.
Saat sebagian teman-teman sebayanya melanjutkan kuliah ke Timur Tengah, ia memilih ke Amerika. Mengambil beasiswa di universitas yang kemudian membawanya menjadi astronot. Rafa ingat nasihat kiyainya. Alumni pesantren tak harus menjadi dai. Alumni pesantren tak harus menjadi kiyai. Jadilah apapun yang bisa berguna bagi sesama. Jadilah apapun dengan jiwa seorang dai. Jadilah apapun dengan mental seorang kiyai.
Rafa menghela napas. Ia tak tahu harus berkata apa. Voyager XV20500 terus bergerak cepat menuju planet Proxima B287X. Seharusnya mereka bisa selamat dari ancaman asteroid jika melihat perkiraan waktu kedatangan pecahan asteroid itu. Suasana di dalam pesawat masih mencekam. Dua lelaki itu terus bermain dengan pikiran masing-masing.
Voyager XV20500 hampir mendekati lapisan atmosfer. Dari pesawat, Rafa melihat planet itu dengan penuh tanda tanya. Proxima B287X terlihat berwarna kemerahan seperti senja di akhir musim semi. Rafa menghela napas. Ini semua di luar rencana mereka. Di atas langit gelap tak berujung ini, manusia hanyalah setitik debu kecil diantara besarnya ruang lingkup alam semesta.
Rafa dan lelaki di sebelahnya hanya bisa menunggu pasrah. Mereka telah mengkondisikan agar pesawat melesat dengan maksimal. Sabuk pengaman telah dikencangkan. Voyager XV20500 terlihat melesat menuju atmosfer Proxima B287X dengan kecepatan penuh. Di belakangnya, belasan pecahan asteroid mulai berhamburan. Gerakan asteroid itu tidak searah. Tak jarang asteroid itu kembali saling bertumbukan satu sama lain.
Rafa melihat ke luar jendela dengan hati cemas. Kapten Marshall bahkan terlihat lebih cemas ketimbang lelaki itu. Ia sudah beberapa kali menyaksikan fenomena berbahaya di luar atmosfer bumi. Tapi kali ini, ia bertemu dengan hujan asteroid yang berada jauh di luar kampung halaman gugusan Tata Surya. Lelaki itu sepertinya hanya bisa pasrah menunggu nasib.
"Kita tak punya pilihan. Semoga Tuhan mengampuni kita. Mereka datang lebih cepat dari dugaanku." Kapten Marshall menoleh ke arah Rafa. Nampaknya lelaki itu sudah benar-benar pasrah dengan nasibnya.
Rafa hanya bisa menelan ludah. Dia tak mampu berkata apapun. Sama seperti seniornya, ia hanya bisa pasrah menyaksikan hujan asteroid lewat jendela pesawatnya. Sejauh ini tidak ada satupun yang mengenai badan pesawat mereka. Rafa menarik napas panjang. Tapi tiba-tiba pesawat mereka terguncang dengan hebat. Satu bongkahan besar asteroid Silicaceous yang 90 persen bermaterialkan batu telah mengenai Voyager XV20500.
Pesawat mereka berputar-putar tanpa arah. Bongkahan asteroid batu itu malah mendorong Voyager XV20500 jauh ke tengah lintasan hujan asteroid yang lebih berbahaya. Kondisi di dalam kabin kini berubah lebih tegang. Alarm tanda bahaya menyala di beberapa panel, menandakan adanya kerusakan di beberapa bagian pesawat. Rafa dan Kapten Marshall mencoba melakukan apa yang mereka bisa lakukan.
"Bagian belakang pesawat hancur terbakar. Kita tidak bisa menggerakan pesawat tanpa melepaskan bagian yang rusak itu. Panel penghubung otomatis rusak. Harus dilepas dengan cara manual," Kapten Marshall berteriak ke arah Rafa. Lelaki itu hanya bisa memandang kosong ke arah Kapten Marshall. Ia tak mungkin keluar pesawat di tengah kondisi seperti ini.
Kapten Marshall masih menunggu reaksi Rafa. Lelaki itu tahu juniornya tak cukup bernyali melakukan misi berbahaya itu. Segera ia melepaskan sabuk pengaman dan bersiap keluar pesawat. Tapi Rafa lebih cepat bergerak. Lelaki itu meminta Kapten Marshall tetap di tempat. Beberapa saat keduanya hanya saling memandang. Entah apa yang mereka pikirkan.
"Godspeed.." suara Kapten Marshall tercekat di kerongkongan. Ia tak sampai hati melihat Rafa harus keluar Voyager XV20500. Resikonya sangat besar. Bahkan mungkin ia akan kehilangan juniornya di ruang tanpa batas ini. Kapten Marshall sepintas melihat Rafa meraih panel peluncur. Hanya sepintas. Lelaki itu kemudian sudah melayang di luar pesawat. Di tengah hujan asteroid.
Rafa melayang mendekati buritan pesawat. Beberapa kali ia merasa jantungnya mau lepas saat menghindari bongkahan-bongkahan asteroid. Lelaki itu akhirnya bisa berada di buritan Voyager XV20500. Rafa mengkaitkan MMU ke salah satu panel di bagian buritan. Ia harus cepat melepas bagian yang terbakar dari badan pesawat.
Tapi belum sempat ia melepas tuas penghubung, sebuah asteroid logam menghantam badan pesawat. Tumbukan yang keras tak bisa dihindari. Rafa sempat terpental dari pesawat. Dari dalam helm, lelaki itu sempat melihat api berkobar dengan hebat. Ia tak lagi bisa mengingat keadaan. Semua terjadi begitu cepat.
Rafa dalam kondisi setengah sadar. Beruntung lelaki itu sempat melepaskan kaitan MMU dari salah satu panel penghubung di pesawat. Ia belum bisa merasakan apapun. Lelaki itu bahkan sempat terseret Voyager XV20500 yang meledak akibat ditabrak asteroid logam. Rafa sendiri tak mengerti bagaimana ia bisa melepaskan diri dari pesawat yang terbakar hebat itu. Rafa terus melayang bergerak tanpa arah. Ia tak lagi bisa menggerakan tubuhnya.
Dari dalam helm, lelaki itu mencoba melihat sekeliling. Ia sempat tak sadarkan diri pada saat terjadi tumbukan antara asteroid dan Voyager XV20500. Rafa tak menyangka ia masih bertahan hidup sejauh ini. Beberapa kali ia mengucap syukur. Lelaki itu terus melayang. Entah kekuatan apa yang membawanya kali ini. Tubuhnya masih terlalu lemas untuk menggerakan MMU.
Rafa hanya bisa memejamkan mata. Ia tahu kekuatan yang lebih besar akan menuntunnya. Lelaki itu mulai melihat bayangan masa kecilnya. Satu persatu penggalan masa kecilnya itu melintas di kepalanya. Rafa melirik cadangan oksigen. Hanya tinggal sedikit. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia pasrah pada Tuhannya. Tapi tiba-tiba ia merasa rindu dengan kampung halamannya. Ia rindu dengan Indonesia, rindu dengan pesantrennya. Sementara jauh di luar pakaian astronot yang dikenakannya, sebuah asteroid seukuran kontainer tengah melesat cepat ke arah lelaki itu.
Jagakarsa, Agustus 2016.
Kado ucapan selamat hari santri bagi para santri dan pengurus pondok pesantren.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H