Mohon tunggu...
Ali Usman
Ali Usman Mohon Tunggu... Jurnalis televisi -

Pernah bekerja untuk koran Merdeka, IndoPos, Radar Bekasi, Harian Pelita, Majalah Maestro, Harian ProGol, Tribunnews.com (Kelompok Kompas Gramedia), Vivanews.com, kini di TVRI nasional. * IG aliushine * twitter @kucing2belang * line aliushine * blog www.aliushine.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cahaya di Sudut Jendela

12 Agustus 2016   15:02 Diperbarui: 12 Agustus 2016   15:10 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi mulai menyapa. Cahaya matahari perlahan masuk memenuhi sudut-sudut kamar. Tebalnya gorden berwarna kuning keemasan nyatanya tak bisa menghalangi cahaya itu masuk ke dalam ruangan. Perlahan segala kebisingan dan apa yang sedang terjadi di sekeliling tempat tidur ini mulai bisa dirasakan. Nampaknya bukan hanya cahaya matahari saja yang membangunkan tidurku, tapi juga obrolan orang-orang yang entah datang dari mana. Obrolan mereka benar-benar sangat mengganggu.

Dari balik selimut ini, aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Sekilas aku bahkan bisa menebak. Pemilik suara dengan nada berat, pasti dokter Fathoni. Tapi suara lain pada percakapan itu, aku tak bisa menebak. Percakapan mereka pun mendadak terputus saat konsentrasiku mulai terbangun.

Segera kusibak selimut dan melangkah mendekati pintu. Aku yakin seratus persen itu suara dokter Fathoni. Dengan mata yang masih terasa berat, perlahan kutempelkan daun telinga ke pintu kamar. Segera kubuka mata lebih lebar dan mencari sumber suara tadi. Namun anehnya suara bising obrolan itu perlahan menghilang begitu telinga ini menempel di daun pintu. Dengan segera bising obrolan tadi perlahan berganti senyap. Ini baru jam enam pagi. Sejak kapan dokter itu ada di dalam rumah. Padahal seingatku, pintu rumah masih aku kunci.

Rasa penasaran kemudian menuntunku untuk mencari tahu dari mana sumber suara tadi. Sempat terlintas dalam kepalaku, mungkin suara obrolan tadi berasal dari luar rumah. Tapi kurasa tidak. Jelas sekali itu suara dokter Fathoni. Dan tentu saja, sepagi ini telingaku masih cukup baik untuk mendengarkan suara seberisik itu. Aku yakin itu berasal dari dalam rumah. Meskipun, jujur aku tidak tahu dengan siapa ia berbicara sepagi ini di dalam rumahku.

Seingatku, pintu rumah pun masih aku kunci. Suratmi pembantuku sudah dua hari pulang kampung. Katanya mau ada selamatan di rumahnya. Anak bungsunya sudah lulus jadi sarjana. Di kampungnya, menjadi Sarjana masih merupakan barang langka. Kelulusan pantas untuk dirayakan besar-besaran. Jadi sudah pasti kunci rumah yang ia pegang ikut dibawa ke kampung. Baru dua hari lalu kami mengantarnya ke bandara. Tidak mungkin jika Ratmi sudah kembali.

Selain Suratmi, seingatku tidak ada lagi yang punya duplikat kunci rumah. Arifin sopir pribadiku juga tidak punya duplikatnya. Jam segini, biasanya dia menunggu di tempat satpam. Dia baru ke rumah ini jika aku atau istriku sudah menelponnya. Jadi bisa dipastikan tidak ada yang bisa membuka pintu rumah, kecuali jika memang pintunya dibuka oleh Andina, putri sulungku.

Di rumah ini Andina memang sengaja memegang satu kunci duplikat. Akhir-akhir ini tugas kampus kerap membuatnya pulang hingga dini hari. Kasihan jika harus membangunkan pembantu. Pak Darto dan beberapa satpam lain memang  tidak tidur jika sedang jaga malam. Tapi mereka tidak memegang kunci rumah. Meski terjaga hingga pagi, mereka tidak mengurusi soal pintu rumah. Mereka bahkan jarang menginjakan kaki ke rumah utama. Toh segala keperluan mereka setiap hari ada di rumah bangungan sebelah. Kunci rumah utama tidak ada yang boleh pegang.

Eh, tapi bukannya Andina sedang liburan ke Estoril sejak kemarin? Jadi sudah pasti bukan dia yang membukakan pintu. Aku terus berpikir. Ini tidak masuk akal. Mustahil jika dokter Fathoni tiba-tiba sudah ada di dalam rumah dan menungguku di ruang tamu. Bagaimana caranya dia bisa masuk rumah. Kurang ajar sekali.

Di tempat tidur, istriku masih terlelap memeluk guling. Tak ingin membangunkannya, aku memilih membuka pintu kamar dengan perlahan. Semalam kami pulang pagi. Ayah mertuaku baru datang dari Amerika. Ia banyak bercerita soal bisnisnya. Kami ngobrol sampai lewat tengah malam. Bahkan ketika Mario, anak bungsuku sudah merengek minta pulang pun, ayah mertua tetap menahan kami pulang.

Segera kubuka pintu kamar. Menutup kembali dengan pelan dan bergegas menuruni tangga untuk memastikan keadan. Tapi ruang tamu dan sekitarnya masih kosong. Tidak ada tanda-tanda seseorang telah berada di ruangan itu. Bahkan lampu ruangan masih menyala. Tirai-tirai berukuran besar masih belum dibuka. Jendela-jendela dengan kaca berukuran besar juga masih rapat terkunci. Pintu utama juga seperti prediksiku, masih terkunci rapat!

Aku masih merasa heran. Tapi sudahlah. Sejenak kurebahkan badan di sofa. Satu sofa ukuran besar lainnya penuh dengan mainan si kecil Mario. Ini masih pagi. Beberapa kali aku harus menguap menahan kantuk. Kuedarkan pandangan ke langit-langit ruangan. Lalu berputar mengamati seisi ruangan. Di dekat piano besar buatan Jepang, foto kami sekeluarga terpampang dengan ukuran besar. Dua anak kami dalam foto itu cenderung mirip dengan istriku.

Kuhela napas. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tapi rasa penasaran akan suara dokter Fathoni tiba-tiba kembali terbesit di benakku. Dokter itu, kenapa suaranya tiba-tiba membangunkan tidurku.

Aku kenal baik dengan dokter itu. Dokter Fathoni adalah dokter spesialis syaraf yang bekerja di salah satu rumah sakit jiwa di Jakarta. Aku tidak sengaja berkenalan dengannya saat ikut rombongan kampanye salah satu calon Walikota di Kalimantan. Kebetulan si calon Walikota waktu itu mengajaku ikut dalam rombongan kampanye bersama tim suksesnya.

Tapi itu sudah lama. Sudah beberapa tahun berlalu. Bahkan sudah lebih dari lima tahun aku dan dokter Fathoni tidak bertemu. Meski kami sama-sama tinggal di Jakarta, tapi kami tak pernah lagi bertemu setelah jagoan kami pada pilkada saat itu akhirnya kalah suara. Aku masih tidak mengerti. Kenapa suaranya malah mengusik tidurku sepagi ini.

Matahari mulai menyapa. Kusibak tirai, membuka jendela dan membiarkannya tetap terbuka dengan lebar. Angin yang bertiup membawakan aroma tanah basah yang tersiram embun pagi. Aku kembali merebahkan diri di sofa. Namun dari arah jendela, suara rintik hujan tiba-tiba mengagetkanku. Segera kudekati jendela. Angin kencang berhembus. Menampar wajahku. Sejenak kupandangi langit yang mulai terlihat gelap. Awan yang berarak dan kabut tipis yang menemani datangnya cahaya matahari perlahan memudar seiring rintik hujan yang mulai deras.

Hujan yang mendadak turun benar-benar mengagetkanku. Awalnya, pagi ini aku dan istriku berencana mengunjungi panti asuhan dan rumah singgah bagi anak yatim. Sudah dua bulan ini kami terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing hingga melupakan waktu untuk berbagi pada sesama.

Segera kututup kembali jendela yang terbuka. Tapi belum selesai kututup jendela, kepalaku tiba-tiba menjadi berat. Mata ini mendadak menjadi sulit digerakan. Seperti ada puluhan magnet yang serta-merta menarik saraf-saraf di kepalaku, lalu semuanya perlahan mulai terasa gelap. Erat kutekan bagian kepala yang paling sakit. Rasa sakitnya bukan main. Keringat dingin bahkan mulai membanjiri. Tak ingin tersungkur di pinggir jendela, kucoba menggapai apa yang ada. Aku harus bisa ke tempat tidur dengan segera.

Dengan mata setengah terpejam, kulangkahkan kaki menuju tempat tidur. Sepertinya sakit kepalaku belum juga hilang meski sudah kutekan erat dengan jari-jari tangan. Jika sudah begini, biasanya kuambil selimut dan berbaring di tempat tidur hingga rasa sakit itu hilang. Tapi kamar tidurku ada di lantai dua. Dengan kondisi kepala yang sakit seperti ini, rasanya sulit untuk bisa kesana.

Langkahku terhenti di ujung tangga. Istriku belum juga bangun. Percuma jika harus beteriak memanggilnya dari sini. Sepintas kulihat pintu kamar putriku terbuka. Akhirnya aku memilih masuk kamar tidur Andina yang lokasinya berada di dekat tangga. Segera kubuka pintu lebih lebar dan meraih tempat tidur. Aku tidak mau terjatuh di lantai.

Di kamar Andina, aku mencoba berbaring dengan nyaman. Suara hujan dari arah jendela perlahan mengambil alih peran di kepalaku. Sepertinya tidak ada suara lain yang bisa kudengar kecuali suara derasnya hujan. Tapi itu tidak berlangsung lama. Seiring sakit yang semakin terasa, suara bising orang-orang yang sedang berbicara, kini kembali memenuhi kepalaku.

Entah dari mana asal suara-suara itu. Tapi suara itu benar-benar sangat dekat. Bahkan suara hujan yang awalnya mendominasi di kepalaku, kini tak lagi terdengar. Dalam kondsi setengah sadar, aku terus berpikir. Bukankah ini masih pagi. Siapa yang masuk rumah pagi-pagi begini. Dimana Pak Darto dan satpam lainnya. Bagaimana bisa ada banyak orang di sini.

Ditengah beratnya menahan sakit, suara mereka benar-benar sangat mengganggu. Ingin rasanya kubuka mata dan melihat sendiri apa yang terjadi saat ini. Tapi kelopak mata ini terlalu berat untuk dibuka. Kutarik selimut menutupi telinga dan mataku. Silih berganti obrolan orang-orang hilir-mudik masuk lewat telingaku. Semakin kucegah, suara-suara itu semakin terasa dekat dan terdengar jelas.

"Skizofrenia dikenalkan oleh Eugene Bleuer. Skizos berarti perpecahan, sementara Phrenos artinya jiwa. Skizofrenia bisa diartikan tidak adanya keselarasan antara ekspresi, perasaan, pola pikir dan perilaku seseorang," suara sesorang mulai mengambil porsi di kepalaku. Aku yakin suara ini milik dokter Fathoni. Dari sekian banyak percakapan yang melintas di kepalaku, suara ini paling familiar.

Di balik selimut, aku bisa mendengar jelas suara-suara itu. Entahlah apa yang terjadi dengan diriku. Kenapa begitu banyak percakapan yang hadir dalam kepalaku sepagi ini.

"Skizofrenia adalah penyakit otak sebagaimana penyakit fisik lainnya seperti sakit jantung, diabetes, hipertensi dan lainnya. Skizofrenia merupakan salah satu penyakit disregulasi hormon, lebih tepatnya hormon dopamin. Ada yang mengatakan, skizofrenia adalah cara adaptasi individu untuk menghindari kecemasan yang dialami." Suara lain ikut masuk di telingaku.

Perlahan kubuka mata ini. Rasa penasaran akan suara-suara itu telah mengalahkan rasa sakit yang menguasai kepalaku. Tapi rasanya mata ini sulit diajak kompromi. Sakit kepala yang memuncak membuatnya kembali terpejam. Dan benar saja, obrolan-obrolan itu datang lagi.

"Apa benar dok, seseorang yang kena skizofrenia bisa memunculkan fantasi tentang dunia yang ideal menurut keinginannya. Apa mungkin lelaki di ranjang itu juga tengah berfantasi," kali ini ada suara yang sukses mengagetkanku. Mataku kini benar-benar terbuka. Sepintas suara itu mirip suara Andina, putriku! Tapi mustahil. Andina masih di Estoril untuk berlibur. Beberapa hari lalu ia mengirimkan foto-fotonya yang sedang jalan-jalan di pantai dan di beberapa lokasi sudut kota tua yang jadi andalan wisata di Portugal itu.

"Fantasi ini memang mampu meredakan sementara kecemasan yang dialami. Tapi di sisi lain, fantasi ini membuat seseorang terbenam dalam dunianya sendiri. Lepas dari sekitarnya. Jika hal ini dibiarkan terus menerus, maka semakin dalam ia masuk ke alam fantasinya, semakin lepas dengan kenyataan. Dalam ilmu kesehatan jiwa, skizofrenia disebut sebagai keadaan seseorang yang terlelap dalam fantasinya dengan waktu yang lama," dari balik selimut, perlahan suara-suara itu semakin terdengar dengan jelas. Bahkan kini aku bisa mendengar suara langkah kaki beberapa orang sedang mendekati tempat tidurku.

"Begini, para psikiater mengatakan skizofrenia adalah salah satu mekanisme adaptasi seseorang terhadap kecemasan yang dialami. Kecemasan ini terlampau masif dan kronis. Akibatnya, seseorang memunculkan fantasi tentang dunia yang ideal menurut keinginan dan apa yang difikirkannya." Suara seseorang dengan nada berat, kembali terdengar jelas di gendang telingaku.

"Berapa lama biasanya proses terapi atau pengobatan bagi orang dengan skizofrenia supaya bisa kembali nolmal Dok? Apa mereka bisa dikatakan orang gila?" Suara lain ikut menimpali. Suara yang pertama kali kudengar, kali ini malah tidak terdengar lagi.

Ini jelas bukan bagian dari efek samping sakit kepala yang terjadi. Disela-sela obrolan itu, beberapa orang bahkan terdengar berbicara dan ikut tertawa sendiri. Ini benar-benar di luar nalar. Ini sudah gila! Bagaimana bisa mereka sampai masuk rumah dan sekarang mendekati tempat tidurku. Ingin rasanya aku bangun dan mengusir orang-orang ini. Tapi sakit kepalaku benar-benar membuatku tidak berdaya. Perlahan kusibak selimut. Sangat perlahan. Aku belum bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Dari balik selimut, aku mencoba memincingkan mata. Membukanya walau dengan perlahan.

"Lelaki ini, salah satu contoh kasus bagaimana skizofrenia bisa menyerang siapapun. Bahkan di usia yang masih muda. Lelaki ini punya mimpi besar untuk bisa melanjutkan hidup sukses dan menggapai segalanya. Tapi nasib berkata lain. Hal itu justru membawanya ke tempat rehabilitasi ini.," dari balik selimut, aku bisa melihat dengan jelas dari mana asal suara itu.

Seorang lelaki tua, dengan jenggot dan rambut yang sudah memutih sudah ada di samping tempat tidurku. Arah ucapannya jelas menunjuk tepat kepadaku. Aku tidak kenal orang ini. Tapi kacamata tebal dan baju putih yang dikenakan lelaki ini seperti mengingatkanku pada seseorang. Di sebelahnya, beberapa orang terlihat antusias dengan apa yang dikatakan lelaki itu. Mereka masih muda. Beberapa diantaranya bahkan mencatat setiap perkataan yang keluar dari mulut lelaki itu.

"Dia hidup dalam dunianya sendiri. Jika tidak ditangani secara benar, dia bisa lupa segalanya. Bahkan bisa sampai lupa dengan Tuhannya," suara dokter itu kembali terdengar. Aku tahu benar arah pembicaraan mereka tertuju padaku. Ini keterlaluan. Bagaimana dia bisa berbicara seperti itu. Rasa geram dan marah malah semakin membuat sakit kepalaku menjadi-jadi. Segera kurebahkan kepala yang tadi sempat terangkat karena ingin mengintip dari ujung selimut. Sakit kepala ini masih melekat erat.

Perlahan kusibak selimut dan kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Cahaya yang datang dari sudut jendela mulai mengisi ruangan. Sejenak aku terdiam. Kemana mereka. Semua orang itu, semua percakapan itu. Rasa sakit di kepala tadi rupanya membuatku tertidur. Entah sudah berapa lama aku tertidur. Mata ini bahkan masih terasa berat saat kuedarkan pandangan ke arah jendela. Matahari sudah kembali terlihat cerah.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling tempat tidur. Tapi kali ini semua tampak berbeda. Tidak ada kamar Andina, tidak ada bangunan rumah, bahkan tidak ada siapapun. Hanya ruangan kecil dan tempat tidur yang mirip di rumah sakit. Aku masih tidak mengerti apa yang telah terjadi. Kemana semua itu tiba-tiba menghilang. Segera kuhela napas. Cahaya matahari semakin menyengat, namun tubuh ini masih lemas dan sulit digerakan.

“Selamat siang pak, bagaimana kondisinya, apa masih sakit lagi kepalanya, ini ada teman-teman dari fakultas kedokteran kampus lainnya ingin observasi. Nanti jangan lupa makan ya, dokter akan kontrol satu jam lagi,” seorang perawat dan beberapa orang tiba-tiba masuk ruangan dan mengelilingi tempat tidurku. Kali ini aku benar-benar melihat mereka semua dengan jelas. Ada yang mencatat, ada yang memotret, bahkan ada yang berkali-kali melihat ke arahku dengan wajah penasaran.

“Saya dimana ini suster? Kemana istri dan anak-anak saya,” ujarku perlahan. Suster itu hanya tersenyum. Beberapa orang yang di ruangan juga ikut tersenyum. Aku masih belum mengerti. Semuanya memang terasa berbeda. Hanya cahaya di sudut jendela yang masih terlihat sama.(*)

 

Jagakarsa, November 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun