Mohon tunggu...
Ali Usman
Ali Usman Mohon Tunggu... Jurnalis televisi -

Pernah bekerja untuk koran Merdeka, IndoPos, Radar Bekasi, Harian Pelita, Majalah Maestro, Harian ProGol, Tribunnews.com (Kelompok Kompas Gramedia), Vivanews.com, kini di TVRI nasional. * IG aliushine * twitter @kucing2belang * line aliushine * blog www.aliushine.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cahaya di Sudut Jendela

12 Agustus 2016   15:02 Diperbarui: 12 Agustus 2016   15:10 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kuhela napas. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tapi rasa penasaran akan suara dokter Fathoni tiba-tiba kembali terbesit di benakku. Dokter itu, kenapa suaranya tiba-tiba membangunkan tidurku.

Aku kenal baik dengan dokter itu. Dokter Fathoni adalah dokter spesialis syaraf yang bekerja di salah satu rumah sakit jiwa di Jakarta. Aku tidak sengaja berkenalan dengannya saat ikut rombongan kampanye salah satu calon Walikota di Kalimantan. Kebetulan si calon Walikota waktu itu mengajaku ikut dalam rombongan kampanye bersama tim suksesnya.

Tapi itu sudah lama. Sudah beberapa tahun berlalu. Bahkan sudah lebih dari lima tahun aku dan dokter Fathoni tidak bertemu. Meski kami sama-sama tinggal di Jakarta, tapi kami tak pernah lagi bertemu setelah jagoan kami pada pilkada saat itu akhirnya kalah suara. Aku masih tidak mengerti. Kenapa suaranya malah mengusik tidurku sepagi ini.

Matahari mulai menyapa. Kusibak tirai, membuka jendela dan membiarkannya tetap terbuka dengan lebar. Angin yang bertiup membawakan aroma tanah basah yang tersiram embun pagi. Aku kembali merebahkan diri di sofa. Namun dari arah jendela, suara rintik hujan tiba-tiba mengagetkanku. Segera kudekati jendela. Angin kencang berhembus. Menampar wajahku. Sejenak kupandangi langit yang mulai terlihat gelap. Awan yang berarak dan kabut tipis yang menemani datangnya cahaya matahari perlahan memudar seiring rintik hujan yang mulai deras.

Hujan yang mendadak turun benar-benar mengagetkanku. Awalnya, pagi ini aku dan istriku berencana mengunjungi panti asuhan dan rumah singgah bagi anak yatim. Sudah dua bulan ini kami terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing hingga melupakan waktu untuk berbagi pada sesama.

Segera kututup kembali jendela yang terbuka. Tapi belum selesai kututup jendela, kepalaku tiba-tiba menjadi berat. Mata ini mendadak menjadi sulit digerakan. Seperti ada puluhan magnet yang serta-merta menarik saraf-saraf di kepalaku, lalu semuanya perlahan mulai terasa gelap. Erat kutekan bagian kepala yang paling sakit. Rasa sakitnya bukan main. Keringat dingin bahkan mulai membanjiri. Tak ingin tersungkur di pinggir jendela, kucoba menggapai apa yang ada. Aku harus bisa ke tempat tidur dengan segera.

Dengan mata setengah terpejam, kulangkahkan kaki menuju tempat tidur. Sepertinya sakit kepalaku belum juga hilang meski sudah kutekan erat dengan jari-jari tangan. Jika sudah begini, biasanya kuambil selimut dan berbaring di tempat tidur hingga rasa sakit itu hilang. Tapi kamar tidurku ada di lantai dua. Dengan kondisi kepala yang sakit seperti ini, rasanya sulit untuk bisa kesana.

Langkahku terhenti di ujung tangga. Istriku belum juga bangun. Percuma jika harus beteriak memanggilnya dari sini. Sepintas kulihat pintu kamar putriku terbuka. Akhirnya aku memilih masuk kamar tidur Andina yang lokasinya berada di dekat tangga. Segera kubuka pintu lebih lebar dan meraih tempat tidur. Aku tidak mau terjatuh di lantai.

Di kamar Andina, aku mencoba berbaring dengan nyaman. Suara hujan dari arah jendela perlahan mengambil alih peran di kepalaku. Sepertinya tidak ada suara lain yang bisa kudengar kecuali suara derasnya hujan. Tapi itu tidak berlangsung lama. Seiring sakit yang semakin terasa, suara bising orang-orang yang sedang berbicara, kini kembali memenuhi kepalaku.

Entah dari mana asal suara-suara itu. Tapi suara itu benar-benar sangat dekat. Bahkan suara hujan yang awalnya mendominasi di kepalaku, kini tak lagi terdengar. Dalam kondsi setengah sadar, aku terus berpikir. Bukankah ini masih pagi. Siapa yang masuk rumah pagi-pagi begini. Dimana Pak Darto dan satpam lainnya. Bagaimana bisa ada banyak orang di sini.

Ditengah beratnya menahan sakit, suara mereka benar-benar sangat mengganggu. Ingin rasanya kubuka mata dan melihat sendiri apa yang terjadi saat ini. Tapi kelopak mata ini terlalu berat untuk dibuka. Kutarik selimut menutupi telinga dan mataku. Silih berganti obrolan orang-orang hilir-mudik masuk lewat telingaku. Semakin kucegah, suara-suara itu semakin terasa dekat dan terdengar jelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun