Pengertian Rujuk dalam Hukum Islam
Rujuk berasal dari bahasa arab yaitu rajaa - yarjiu - rujuan yang berarti kembali atau mengembalikan. Rujuk menurut istilah adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi thalak raji yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddahnya dengan ucapan tertentu.
Rujuk ialah mengembalikan istri yang telah dithalak pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan.
Sedangkan rujuk menurut para ulama madzhab adalah sebagai berikut:
- Hanafiyah, rujuk adalah tetapnya hak milik suami dengan tanpa adanya penggantian dalam masa iddah, akan tetapi tetapnya hak milik tersebut akan hilang bila masa iddah.
- Malikiyah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak, karena takut berbuat dosa tanpa akad yang baru, kecuali bila kembalinya tersebut dari talak bain, maka harus dengan akad baru, akan tetapi hal tersebut tidak bisa dikatakan rujuk.
- Syafiiyah, rujuk adalah kembalinya istri ke dalam ikatan pernikahan setelah dijatuhi talak satu atau dua dalam masa iddah. Menurut golongan ini bahwa istri diharamkan berhubungan dengan suaminya sebagaimana berhubungan dengan orang lain, meskipun sumi berhak merujuknya dengan tanpa kerelaan. Oleh karena itu rujuk menurut golongan syafiiyah adalah mengembalikan hubungan suami istri kedalam ikatan pernikahan yang sempurna.
- Hanabilah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijtuhi talak selain talak bain kepada suaminya dengan tanpa akad. Baik dengan perkataan atau perbuatan (bersetubuh) dengan niat ataupun tidak.
Rujuk yang berasal dari bahasa arab telah menjadi bahasa Indonesia terpakai artinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (yang selanjutnya disingkat KBBI adalah Kembalinya suami kepada istrinya yang ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih dimasa iddah.
Definisi yang dikemukakan KBBI tersebut diatas secara esensial bersamaan maksudnya dengan yang dikemukakan dalam kitab fiqh, meskipun redaksionalnya sedikit berbeda. Dari definisi-definisi tersebut diatas terlihat beberapa kata kunci yang menunjukkan hakikat dari perbuatan hukum yang bernama rujuk tersebut, yaitu :
- Kata atau ungkapan "kembali suami kepada istrinya" hal ini mengandung arti bahwa diantara keduanya sebelumnya telah terikat dalam tali perkawinan, namun ikatan tersebut sudah berakhir dengan perceraian. Laki-laki yang berkembali kepada orang lain dalam bentuk perkawinan, tidak disebut rujuk dalam pengertian ini.
- Ungkapan atau kata "yang telah ditalak dalam bentuk rajiy", mengandung arti bahwa istri yang bercerai dengan suaminya itu dalam bentuk yang belum putus atau baiin. Hal ini mengandung maksud bahwa kembali kepada istrri yang belum dicerai atau telah dicerai tetapi tidak dalam bentuk talak rajiy, tidak disebut rujuk.
- Ungkapan atau kata "masih dalam masa iddah", mengandung arti bahwa rujuk itu hanya terjadi selama istri masih berada dalam mahasa iddah. Bila waktu iddah telah habis, mantan suami tidak dapat lagi kembali kepada istrinya dengan nama rujuk. Untuk maksud itu suami harus memulai lagi nikah baru dengan akad BARU.
Dapat dirumuskan bahwa rujuk ialah "mengembalikan status hukum pernikahan secara penuh setelah terjadinya talak raji yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah dengan ucapan tertentu".
Dasar Hukum Rujuk dalam Islam
Adapun dasar hukum rujuk terdapat dalam Al-Quran, yaitu :
- Al-Quran, Q.S. (2) Al-Baqoroh ayat 228:
Artinya: "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman merujukinya dalam masa menanti itu. Jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana"
- Al-Quran, Q.S. (2) Al-Baqoroh ayat 229
Artinya: "Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu oleh rujuk lagi dengan cara yang maruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yangtelah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya brangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itula orang-orang yang zalim".
Hak rujuk yang terkandung pada ayat-ayat diatas, adalah hak yang diberikan oleh syariat Islam kepada bekas suami selama masa iddah, karena itu suami tidak membatalkannya, walaupun ada suami yang berkata: "tidak ada rujuk bagiku". Rujuk dapat dilakukan manakala talak yang dijatuhkan suami adalah talak raji, bukan talak bain atau talak tebus.
- Al-Quran, Q.S. (2) Al-Baqoroh ayat 231
Artinya:"Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) idahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzhalimi mereka. Barangsiapa melakukan demikian, maka dia telah menzhalimi dirinya sendiri. Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan ejekan. Ingatlah nikmat Allah kepada kamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepada kamu yaitu Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah (Sunnah), untuk memberi pengajaran kepadamu. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
Dalam ayat tersebut menerangkan, bahwa masa iddah adalah masa berfikirnya suami dan istri, apakah suami akan kembali kepada bekas istrinya atau tidak. Apabila suami berpendapat bahwa ia boleh rujuk dalam masa iddah tersebut, tetapi beranggapan bahwa ia tidak mampu melanjutkan kehidupan rumah tangganya, maka ia harus rela melepaskan bekas istrinya secara baik dan jangan mengahalangi ketika istri itu akan melakukan perkawinan dengan laki-laki lain.
Ayat di atas pada hakekatnya niat suami untuk merujuk istrinya tersebut didasari dengan maksud ishlah. Sehingga dapat memungkinkan adanya perbaikan rumah tangga yang kedua kalinya.
Dasar Hukum Rujuk
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak dapat ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah rujuk, demikian juga halnya di dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Akan tetapi, di dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1975 yang berisi ketentuan mengenai Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam melaksanakan Peraturan Perundangudangan Perkawinan bagi yang beragama Islam106, terdapat aturanaturantentang permasalahan rujuk yaitu Bab XI pasal 32, 33 dan 34 yang kemudian dikuatkan dan disempurnakan lagi dalam KHI Bab XVIII pasal 163 sampai dengan pasal 169. Walaupun tidak memuat tentang rujuk di dalamnya namun perlu dasadari bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 merupakan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan aturan yang berada di bawah kedua produk tersebut. Oleh karena itu, penegasan dan penjabarannya ke dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak sampai bertentangan atau melampaui apa-apa yang tetap diatur dalam kedua produk hukum tersebut. Jadi tetap dipegangi konsistensi materi antara kedua produk itu dengan penjabaran perluasan ketentuan yang dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pada dasarnya hukum merujuk adalah boleh atau jaiz, kemudian hukum merujuk dapat berkembang menjadi berbeda tergantung dari kondisi suami istri yang sedang dalam perceraian. Dan perubahan hukum merujuk untuk rujuk dapat menjadi sebagai berikut:[
- Wajib, yaitu khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu dan apabila pernyataan cerai (talak) itu dijatuhkan sebelum gilirannya disempurnakan. Maksudnya adalah, seorang suami harus menyelesaikan hak-hak istri-istrinya sebelum ia menceraikannya. Apabila belum terlaksana, maka ia wajib merujuk kembali isrinya.
- Sunnah, yaitu apabila rujuk itu lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
- Makruh, yaitu apabila dimungkinkan dengan meneruskan perceraian lebih bermanfaat dibanding mereka merujuk kembali, catatan: tidak memiliki anak dibawah umur 12 tahun.
- Haram, yaitu apabila dengan adanya merujuk si istri semakin menderita, catatan: selama berumah tangga suami tidak pernah memberikan nabkah terhadap istrinya. Maka istri diperbolehkan meminta cerai kepada suaminya dengan cara Khulu.
Secara hukum negara penolakan rujuk oleh istri dapat terealisasi bilamana minimal 3 (tiga) alasan dapat dibuktikan dengan bukti yang sebenarnya, secara tertulis dan minimal menghadirkan 2 (dua) orang saksi dihadapan Ketua Hakim persidangan, serta tidak ada sanggahan jawaban dari sang suami secara tertulis dan dibenarkan oleh suami tersebt dihadapan persidangan yang sakral, dan juga tanpa tidak mengurangi ketentuan-ketentuan pasal 118HIR dan pasal 142 ayat 1-5 R.BG, sebagai dasar utama ketentuan formulasi yang sah menurut Hukum di Indonesia dan juga Hukum Islam di Indonesia didasarkan dari berbagai ketentuan yang terserak.
Rukun dan Syarat Rujuk
Rukun dan syarat-syarat rujuk adalah hal yang harus dipenuhi untuk terlaksananya sebuah perbuatan rujuk tersebut. Di antara rukun dan syarat-syarat rujuk tersebut adalah sebagai berikut:
- Istri
Keadaan istri disyaratkan sebagai;
1. Sudah dicampuri, karena istri yang belum dicampuri apabila ditalak, terus putus pertalian antara keduanya, Jika istri dicerai belum pernah dicampuri, maka tidak sah rujuk, tetapi harus dengan perkawinan baru lagi.
2. Istri yang tertentu. Kalau suami menalak beberapa istrinya, kemudian ia rujuk kepada salah seorang dari mereka dengan tidak ditentukan siapa yang dirujukkan, rujuknya itu tidak sah.
3. Talaknya adalah talak raji. jika ia ditalak dengan talak tebus atau talak tiga, ia talak dapat dirujuk lagi. Kalau bercerainya dari istri secara fasakh atau khulu atau cerai dengan istri yang ketiga kalinya, atau istri belum pernah dicampuri, maka rujuknya tidak sah.
4. Rujuk itu terjadi sewaktu istri masih dalam iddah talaq raji. laki- laki masih mempunyai hubungan hukum dengan istri yang ditalaknya secara thalaq raji, selama masih berada dalam iddah. Sehabis iddah itu putuslah hubungannya sama sekali dan dengan sendirinya tidak lagi boleh dirujuknya.
- Suami
Rujuk itu dilakukan oleh suami atas kehendak sendiri, artinya bukan, atau laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang dirujuk yang dia miliki dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah, dan laki-laki yang merujuk mestilah seseorang yang mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat akalnya dan bertindak dengan kesadarannya sendiri. Seseorang yang masih belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak ada rujuk yang dilakukan. Begitu pula bila rujuk itu dilakukan atas paksaan dari orang lain, tidak sah rujuknya. Tentang sahnya rujuk orang yang mabuk karena sengaja minum yang memabukan, ulama beda pendapat sebagaimana beda pendapat dalam menetapkan sahnya akad yang dilakukan oleh orang mabuk.
- Saksi
Dalam hal ini Para ulama masih berbeda pendapat, apakah saksi itu wajib menjadi rukun atau sunah. Sebagian mengatakan wajib, sedangkan yang lain mengatakan tidak wajib, melainkan hanya sunah. " Fuqoha telah berpendapat tentang adanya saksi dalam rujuk, apakah ia menjadi syarat sahnya rujuk atau tidak. Imam Malik berpendapat bahwa saksi dalam rujuk adalah disunahkan, sedangkan Imam Syafi'i mewajibkan adanya dua orang saksi sebagaimana yang berlaku dalam akad nikah." Perbedaan pendapat ini disebabkan adanya pertentangan antara qiyas dengan zahir nas Al-Qur'an yaitu firman Allah SWT dalam surat At-Talaq ayat 2. Ayat tersebut menunjukkan wajibnya mendatangkan saksi. Akan tetapi, pengqiyasan hak rujuk dengan hak-hak lain yang diterima oleh seseorang. Menghendaki tidak adanya saksi. Oleh karena itu, penggabungan antara qiyas dengan ayat tersebut adalah dengan membawa perintah pada ayat tersebut sebagai sunnah. Menurut ulama ini adanya perintah untuk mempersiapkan rujuk dalam ayat tersebut menunjukan wajib. Berdasarkan pendapat yang mensyaratkan adanya saksi dalam rujuk itu, maka ucapan rujuk tidak boleh menggunakan lafadz kinayah, karena penggunaan lafadz kinayah memerlukan adanya niat, sedangkan saksi yang hadir tidak akan tahu niat dalam hati itu. Pendapat kedua yang berlaku dikalangan jumhur ulama, di antaranya Imam Ahmad mengatakan bahwa rujuk itu tidak perlu diperselisihkan, karena rujuk itu hanyalah melanjutkan perkawinan yang telah terputus dan bukan memulai nikah baru. Perintah Allah dalam ayat tersebut di atas bukanlah untuk wajib. Menurut Ulama Syiah Imamiyah mempersaksikan rujuk itu hukumnya hanyalah sunat. Berdasarkan pendapat ini, boleh saja rujuk dengan menggunakan lafadz kinayah karena saksi yang perlu mendengarnya tidak ada.
- Ada ucapan rujuk yang diucapkan oleh laki-laki yang merujuk.
Rujuk dalam pandangan fiqh adalah tindakan sepihak dari suami. Tindakan sepihak itu didasarkan kepada pandangan ulama fiqh bahwa rujuk itu merupakan hak khusus seorang suami. Adanya hak khusus itu dipahami dari firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 228. Oleh karena sifatnya yang sepihak itu tidak diperlukan penerimaan dari pihak perempuan yang dirujuk, atau walinya. Dengan begitu rujuk tidak dilakukan dalam bentuk suatu akad. Untuk sahnya tindakan rujuk hanya diperlukan ucapan rujuk yang dilakukan oleh orang yang merujuk. Dalam hal bolehnya rujuk itu dilakukan dengan perbuatan, Ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama termasuk Imam Syafi'i dan Imam Ahmad berpendapat, bahwa rujuk harus dilakukan dengan ucapan dan tidak dapat dengan hanya perbuatan. Kecuali bila dia seorang yang bisu, maka untuk itu rujuk dilakukan dengan isyarat yang dapat dipahami. Sebagian ulama diantaranya said bin al-Musayyab, al-Hasan, ibnu Sirin, Atha, Thawus dan ahlu ra'yi atau Hanafiyah, berpendapat bahwa rujuk dapat dilakukan dengan perbuatan secara mutlak. Demikian pula yang berlaku dikalangan ulama Syi'ah Imamiyah. Ulama Malikiyah membolehkan rujuk dengan perbuatan, bila yang demikian dimaksud dan diniatkan untuk rujuk. Tanpa diiringi niat tidak sah rujuk dengan perbuat mensyaratkan yang demikian dipersaksikan.
- Sighat (lafadz)
Sighat ada dua, yaitu:
a. Terang-terangan, misalnya dikatakan,"Saya kembali kepada istri saya," atau "saya rujuk kepadamu."
b. Melalui sindiran, misalnya"Saya pegang engkau," atau "menikahi engkau," dan sebagainya, yaitu dengan kalimat boleh dipakai untuk rujuk atau lainnya. Sighat sebaiknya merupakan perkataan tunai, berarti tidak digantungkan dengan sesuatu. Umpamanya dikatakan,"Saya kembali kepadamu jika engkau suka," atau "Kembali kepadamu kalau si Anu datang." Rujuk yang digantungkan dengan kalimat seperti itu tidak sah.
Macam-macam Rujuk
1. Hukum rujuk pada talak raj'i. Kaum muslimin telah sependapat bahwa suami mempunyai hak rujuk istri pada talak raji selama masih berada dalam masa iddah tanpa mempertimbangkan persetujuan istri, Fuqoha juga sependapat bahwa syariat talak raji ini harus terjadi setelah dukhul (pergaulan) dan rujuk dapat terjadi dengan kata-kata dan saksi. Adapun batas-batas tubuh bekas istri yang boleh dilihat oleh suami, fuqoha berselisih pendapat mengenai batas-batas yang boleh dilihat oleh suami dari istrinya yang dijatuhi talak raj'i selama ia berada dalam masa iddah. Malik berpendapat bahwa suami tidak boleh bersepi-sepi dengan istri tersebut, tidak boleh masuk kekamarnya kecuali atas persetujuan istri, dan tidak boleh melihat rambutnya. Abu Hanifah berpendapat bahwasanya tidak mengapa (tidak berdosa) istri tersebut berhias diri untuk suaminya, memakai wangiwangian, serta menampakan jari-jemari dan celak. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Tsauri, Abu Yusuf, dan Auza'i.
2. Hukum Rujuk pada Talak Bain. Talak bain bisa terjadi karena bilangan talak yang kurang dari tiga. Ini terjadi pada yang belum digauli tanpa diperselisihkan. Talak bain bisa terjadi pada istri yang menerima khulu', dengan silang pendapat. Hukum rujuk sesudah talak tersebut sama dengan nikah baru, yakni tentang persayaratan adanya mahar, wali, dan persetujuan. Hanya saja, jumhur fuqoha berpendapat bahwa untuk perkawinan ini tidak dipertimbangkan berakhirnya masa iddah. Mazhab sepakat tentang orang yang telah menalak istrinya dengan talak tiga. Ia tidak boleh menikahinya lagi hingga istrinya yang telah ditalaknya dinikahi oleh orang lain dan disetubuhi dalam pernikahan yang sah. Adapun, yang dimaksud pernikahan dalam masalah ini adalah termasuk persetubuhannya. Hal ini merupakan sayarat diperbolehkannya menikahi lagi bagi suami pertama mantan istrinya tersebut bercerai dengan suami yang baru
Dari berbagai hukum rujuk yang telah dikemukakan di atas, yang paling utama ada lima (5) macam yang tergantung kepada kondisi, antara lain: wajib, haram, makruh, jaiz, dan sunah.
1) Suami wajib merujuk istrinya apabila saat dithalak dia belum menyempurnakan pembagian waktunya (apabila istrinya lebih dari satu).
2) Suami haram merujuk istrinya apabila dengan rujuk itu justru menyakiti hati istrinya.
3) Suami makruh merujuk istrinya apabila rujuk justru lebih buruk dari cerai (cerai lebih baik dari rujuk).
4) Suami jaiz atau mubah (bebas) merujuk istrinya. Suami sunah merujuk istrinya apabila rujuk itu ternyata lebih menguntungkan bagi semua pihak (termasuk anak).
Syarat dan Rukun Rujuk menurut Kompilasi Hukum Islam
- Syarat Rujuk
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada dasarnya pelaksanaan rujuk harus memenuhi persyaratan normatif dan teknis. Adapun persyaratan normatif di antaranya yaitu:
1. Suami yang hendak merujuk haruslah dengan niat dan kesadarannya sendiri jadi rujuk yang dilakukan bukan dalam keadaan terpaksa.
2. Wanita yang hendak di rujuk adalah benar-benar mantan isterinya yang sah.
3. Wanita tersebut masih dalam masa 'iddah.
4. Perceraian yang terjadi masih bersifat raj'i atau berdasarkan keputusan pengadilan agama dengan alasan selain alasan-alasan zina dan khulk.
5. Rujuk harus diikrarkan dengan ucapan yang jelas
6. Rujuk harus dengan persetujuan isteri. Hal ini berbeda dengan ketentuan fikih, bahwa sahnya rujuk adalah hak mutlak suami yang tidak bergantung pada kerelaan atau persetujuan pihak isteri.
7. Rujuk harus dipersaksikan. Ketentuan ini di dalam fikih masih menjadi kontroversi karena ada sebagian ulama yang berpendapat saksi tidak diperlukan bagi suami yang akan kembali pada isterinya. Akan tetapi ada pula yang mewajibkan adanya saksi sebagai syarat sah rujuk
Sedangkan yang menjadi persyaratan teknisnya yaitu adalah:
1. Rujuk harus dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N).
2. Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang ditunjuk tersebut harus sesuai dengan kompetensi wilayahnya.
3. Proses rujuk harus dihadiri oleh saksi.
4. Dibuat catatan dalam Buku Pendaftaran Rujuk yang ditandatangani oleh suami, isteri, saksi, dan Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
- Rukun Rujuk
Selain persyaratan-persyaratan tersebut di atas, baik yang normatif maupun teknis menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) di dalam pelakasaan rujuk harus terdapat rukun-rukun rujuk, seperti yang tertulis di bawah ini;
1. Suami yang merujuk
2. Isteri yang dirujuk
3. Sighat (ucapan) rujuk
4. Saksi
5. Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N)
Tujuan Rujuk
Islam telah menganjurkan apabila perceraian telah terjadi, maka dianjurkan agar bekas suami dan istri untuk rujuk kembali, apabila kembalinya mereka demi kemaslahatan rumah tangganya. Diantara tujuan dan hikmah rujuk yaitu:
a. Untuk membangun keluarga mereka yang berantakan akibat adanya perceraian.
b. Untuk menjalin kembali ikatan pernikahan yang hampir putus akibat perceraian.
c. Untuk memberi kesempatan terhadap bekas suami istri untuk kembali menjalin rumah tangga mereka denga baik seperti semula
d. Untuk mengembalikan tujuan perkawinan, kareana kebaikan perkawinan tidak akan terwujud sebelum kedua suami istri samasama hidup dalam ikatan akadanya.
Dengan adanya system rujuk yang diatur oleh syariat Islam berarti Allah SWT, telah memberikan kesempatan bagi hambanya untuk memperbaiki kembali ikatan dan tujuan perkawinan. Rujuk tersebut boleh dilakukan baik istri rela atau tidak. Hanya rujuk tersebut haram jika suami tidak sanggup membayar nafkah. Kemudian jika bekas suami atau istri tidak bermaksud untuk menjalankan hak dan kewajibannya sebagai suami istri atau suami ingin menganiaya, menyengsarakan dan mempermainkan dan berbuat dzalim terhadap istrinya atau sebaliknya wanita ingin memperolok-olok suaminya, maka apabila terjadi hal seperti itu maka haramlah bekas suami untuk kembali kepada istrinya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H