Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya brangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itula orang-orang yang zalim".
Hak rujuk yang terkandung pada ayat-ayat diatas, adalah hak yang diberikan oleh syariat Islam kepada bekas suami selama masa iddah, karena itu suami tidak membatalkannya, walaupun ada suami yang berkata: "tidak ada rujuk bagiku". Rujuk dapat dilakukan manakala talak yang dijatuhkan suami adalah talak raji, bukan talak bain atau talak tebus.
- Al-Quran, Q.S. (2) Al-Baqoroh ayat 231
Artinya:"Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) idahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzhalimi mereka. Barangsiapa melakukan demikian, maka dia telah menzhalimi dirinya sendiri. Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan ejekan. Ingatlah nikmat Allah kepada kamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepada kamu yaitu Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah (Sunnah), untuk memberi pengajaran kepadamu. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
Dalam ayat tersebut menerangkan, bahwa masa iddah adalah masa berfikirnya suami dan istri, apakah suami akan kembali kepada bekas istrinya atau tidak. Apabila suami berpendapat bahwa ia boleh rujuk dalam masa iddah tersebut, tetapi beranggapan bahwa ia tidak mampu melanjutkan kehidupan rumah tangganya, maka ia harus rela melepaskan bekas istrinya secara baik dan jangan mengahalangi ketika istri itu akan melakukan perkawinan dengan laki-laki lain.
Ayat di atas pada hakekatnya niat suami untuk merujuk istrinya tersebut didasari dengan maksud ishlah. Sehingga dapat memungkinkan adanya perbaikan rumah tangga yang kedua kalinya.
Dasar Hukum Rujuk
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak dapat ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah rujuk, demikian juga halnya di dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Akan tetapi, di dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1975 yang berisi ketentuan mengenai Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam melaksanakan Peraturan Perundangudangan Perkawinan bagi yang beragama Islam106, terdapat aturanaturantentang permasalahan rujuk yaitu Bab XI pasal 32, 33 dan 34 yang kemudian dikuatkan dan disempurnakan lagi dalam KHI Bab XVIII pasal 163 sampai dengan pasal 169. Walaupun tidak memuat tentang rujuk di dalamnya namun perlu dasadari bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 merupakan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan aturan yang berada di bawah kedua produk tersebut. Oleh karena itu, penegasan dan penjabarannya ke dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak sampai bertentangan atau melampaui apa-apa yang tetap diatur dalam kedua produk hukum tersebut. Jadi tetap dipegangi konsistensi materi antara kedua produk itu dengan penjabaran perluasan ketentuan yang dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pada dasarnya hukum merujuk adalah boleh atau jaiz, kemudian hukum merujuk dapat berkembang menjadi berbeda tergantung dari kondisi suami istri yang sedang dalam perceraian. Dan perubahan hukum merujuk untuk rujuk dapat menjadi sebagai berikut:[
- Wajib, yaitu khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu dan apabila pernyataan cerai (talak) itu dijatuhkan sebelum gilirannya disempurnakan. Maksudnya adalah, seorang suami harus menyelesaikan hak-hak istri-istrinya sebelum ia menceraikannya. Apabila belum terlaksana, maka ia wajib merujuk kembali isrinya.
- Sunnah, yaitu apabila rujuk itu lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
- Makruh, yaitu apabila dimungkinkan dengan meneruskan perceraian lebih bermanfaat dibanding mereka merujuk kembali, catatan: tidak memiliki anak dibawah umur 12 tahun.
- Haram, yaitu apabila dengan adanya merujuk si istri semakin menderita, catatan: selama berumah tangga suami tidak pernah memberikan nabkah terhadap istrinya. Maka istri diperbolehkan meminta cerai kepada suaminya dengan cara Khulu.
Secara hukum negara penolakan rujuk oleh istri dapat terealisasi bilamana minimal 3 (tiga) alasan dapat dibuktikan dengan bukti yang sebenarnya, secara tertulis dan minimal menghadirkan 2 (dua) orang saksi dihadapan Ketua Hakim persidangan, serta tidak ada sanggahan jawaban dari sang suami secara tertulis dan dibenarkan oleh suami tersebt dihadapan persidangan yang sakral, dan juga tanpa tidak mengurangi ketentuan-ketentuan pasal 118HIR dan pasal 142 ayat 1-5 R.BG, sebagai dasar utama ketentuan formulasi yang sah menurut Hukum di Indonesia dan juga Hukum Islam di Indonesia didasarkan dari berbagai ketentuan yang terserak.
Rukun dan Syarat Rujuk
Rukun dan syarat-syarat rujuk adalah hal yang harus dipenuhi untuk terlaksananya sebuah perbuatan rujuk tersebut. Di antara rukun dan syarat-syarat rujuk tersebut adalah sebagai berikut:
- Istri