Mohon tunggu...
Alis Klet
Alis Klet Mohon Tunggu... Mahasiswa - Profesi saat ini sebagai mahasiswa

Hobi olahraga, keperibadian cukup disiplin

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebenaran Ilmiah

4 Januari 2024   14:14 Diperbarui: 4 Januari 2024   14:38 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Rabu,20 Desember 2023

Disusun oleh : Ika Razmi

                                    PENDAHULUAN

Manusia adalah jenis mkhluk yang memiliki potensi yang luar biasa dari bekal akal yang ada padanya. Dengan akal manusia yang terus menerus menjalani kehidupan yang secara dinamis, terutama secara mental dan dan psikis. Akal menunjukan perubahan positif (perkembangan cara berpikir) seiring pertumbuhan usia manusia. Kapasitas berfikir semakin kompleks ketika manusia hidup dan tumbuh di kehidupannya. Seorang balita berpikir tentang sebuah pohon, tentu tidak sama dengan seorang dewasa yang berpikir tentang pohon. Inilah potensi akal manusia yang secara kontinu berpikir terus menerus mencari kebenaran. Kebenaran yang bisa mereka terima secara logis dan empiris atau kebenaran ilmiah. Maka perlu kita menyimak sejarah perkembangan manusia dalam mencari kebenaran.

                      RUANG LINGKUP PEMBAHASAN

Artikel ini membahasan tentang apa itu kebenaran, bagaimana teori-teori kebenaran sepanjang sejarah pemikiran manusia, dan sifat-sifat kebenaran 

                                ARTI KEBENARAN

Benar adalah sesuatu yang apa adanya atau sesuai kenyataan yang ada, sebuah fakta tentang realita berdasarkan data-data yang ada. Sedangkan “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatukata benda yang kongkret maupun abstrak (Hamami dalam Tim Dosen Filsapat Ilmu UGM 2010:135).

Lebih lanjut Humami mengatakan bahwa subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda-beda satu dengan lainya tentang kebenaran, karena kebenaran tidak bisa dilepaskan dari makna yang di kandung dalam suatu pernyataan atau stetment atau (proposisi). Senada dengan Humami, Louis Kattsoff (1996:178) mengatakan “kebenaran” menunjukan bahwa makna sebuah pernyatan proposisi sungguh-sungguh merupakan halnya, bila proposisi bukan halnya, maka kita mengatakan bahwa proposisi itu sesat atau bila proposisi itu mengandung kontradiksi (bertentangan) maka kita dapat mengatakan bahwa proposisi itu mustahil. Artinya kebenaran berkaitan erat dengan kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan, dan nilai kebenaran itu sendiri. Berikut penjelasan Hamami tentang kaitan kebenaran tentang beberapa hal di atas:

1. Kebenaran berkaitan dengan kuwalitas kebenaran. Artinya kebenaran itu dipengaruhi oleh jenis pengetahuan yang dimiliki oleh subjek. Jika subjek memiliki pengetahuan biasa atau common sense knoloedge, maka pengetahuan seperti ini akan mengahasilkan kebenaran yang bersifat subjektif, sangat tergantung pada subjek yang melihat. Selanjutnya jika subjek memiliki pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang memiliki objek yang khas atau spesifik dengan pendekatan metodologis yang khas pula, yaitu adanya kesepakatan diantara ahli yang ada . Maka kebenaran dalam konteks ini bersifat relatif yaitu yang akan selalu mendapat revisi atau perubahan jika ditemukan kebenaran yang baru pada penelitian-penelitian yang akhir dan mendapat persetujuan (argumment) dari konvensi ilmuan sejenis. Kemudian jenis pengetahuan, pengetahuan filsafati, yaitu melalui pendekatan filsafati, yang bersifat mendasar dan menyeluruh, dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Kebenaran pengetahuan ini bersifat absolut-interaubjektif. Artinya kebeneran ini merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan seorang filsafat itu dan selalu mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang menggunakan metodologi pemikiran sama.

Jenis pengetahuan yang terakhir adalah kebenaran pengetahuan yang terkandung dapam agama, yang memiliki sifat dogmatis, artinya kebenaran dalam agama sudah tertentu dan sesuai dengan ajaran agama tertentu, kemudian diyakini sesuai dengan keyakinan subjek untuk memahaminya. Kebenaran makana kandungan kitab suci berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan waktu, akan tetapi kandungan maksud ayat kitab suci tidak dapat dirubah dan sifatnya absolut.

2. Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik tentang cara atau metode apa yang digunakan subjek dalam membangun pengetahuan itu. Apakah ia membangun pengetahuannya dengan penginderan atau sense expreince, akal pikiran, ratio, intiusi, atau keyakinan. Gimana cara atau metode yang digunakan subjek akan mempengaruhi karakteristik kebenaran, sehingga harus dibuktikan juga dengan metode atau cara yang sama. Misalnya, juka subjek memperoleh kebenaran melalui sense exprensi, maka harus dibuktikan dengan juga sense exprensi, bukan dengan cara yang berbeda, begitu juga dengan lainnya.

3. Nilai kebenaran dikaitkan dengan ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya kebenaran ini berkaitan dengan telasi antara subjek dan objek. Manakala subjek memiliki dominasi yang tinggi dalam membangun suatu kebenaran. Maka kebenaran itu bersifat subjektif, artinya nilai kebenaran yang terkandung di dalam pengetahuan itu sangat tergantung pada subjek yang memiliki pengetahuan itu. Atau sebaliknya, jika objek lebih berperan maka sifat pengetahuannya objektif seperti ilmu alam.

Sebagai pelengkap bahasa ini, berikut kami kemukakan tiga penafsiran utama tentang kebenaran menurut Sahakian (1996: 23) adalah sebagai berikut:

A. Kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak (absolut)

B. Kebenaran sebagai subjektivitas atau pendapat pribadi

C. Kebenaran sebagai sesuatu yang mustahil dan sulit untuk di jangkau.

Penafsiran utama tentang kebenaran menurutit Sahakiah merupakan polemik yang belum  terselesaikan ketika seorang filsuf membicarakan kebenaran. Apakah ada kebenaran yang bersifat mutlak atau absolut? Buktinya ilmu pengetahun terus berkembang dan mempengaruhi sudut pandang manusia tentang kebenaran. Atau jangan- jangan kebenaran itu hanyalah subjektivitas seseorang atau kelompok? Bahkan jangan-jangan kebenaran merupakan hal yang sulit dan mustahil untuk dijangkau.

                       TEORI-TEORI KEBENARAN

Pada bagian ini kami akan membahas tentang teori-teori kebenaran sepanjang sejarah pemikiran manusia. Perbincangan mengenai kebenaran sudah dimulai plato melalui metode dialog, kemudia dilanjutkan oleh Aritetoles. Menurut seorang filsuf Jaspres sebagaimana dikutip oleh Hammersa bahwa sebenarnya pemikir sekarang hanya melengkapi dan menyempurnakan filsafat Plato dan Aristoteles (Hamami dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010:138. Hal ini tentu berdasarkan argumentasi yang kuat berdasarkan pemikiran yang mendalam, yang mendasarkan dalam data-data sejarah yang ada. Plato dianggap sebagai filsuf yang membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang awal. Dari support atas teori yang sudah dibangun plato. 

Berikut ini penjelasan mengenai teori-teori kebenaran yang kami coba rangkum dari beberapa sumber ilmiah:

1. Teori Kebenaran Korespondasi

Kebenaran menurut prespektif koris korespondasi adalah pernyataan dikatakan benar jika sesuai dengan kenyataan atau fakta yang ada. Goerge E moore (dalam sahakiah dan sahakiah 1966:24) mengatakan kebenaran sebagai “truth as the correspondence of ideas to reality”, yaitu kebenaran adalah kesesuaian antara ide atau gagasan-gagasan dengan realita. Sebaliknya, jika pernyataan bertentangan dengan kenyataan atau fakta yang ada maka pernyataan tersebut dianggap sebagai pernyataan yang “sesat”. Misalnya, ada pernyataan yang mengatakan Bang Rohman adalah seorang penyanyi dangdut. Kalau pernyataan tersebut bersesuaian dengan fakta yang ada di kenyataan sebenarnya maka itu dianggap sebagai “kebenaran”. Jika ternya Bang Rhoma bukan seorang penyanyi dangdut, melainkan seorang presiden. Maka pernyataan tersebut dianggap sebagai bukan “kebenaran”.

Makna “sesuai” (correspond) dalam teori ini masih menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mengaruh pada kritik terhadap teori kebenaran korespondasi. Kalau kebenaran selalu diukur dengan fakta-fakta yang ada, bagaimana dengan ide-ide yang bersifat kejiwaan, apakah ada fakta yang bersifat kejiwaan. Lalu bagaimana membuktikan hubungan antara ide-ide tersebut, padahal ide-ide tersebut bersifat abstrak, sulit untuk dibuktikan dengan indra manusia. Misalnya, Pak Soleh di katakan sebagai seorang yang soleh, kalau pernyataan ini kemudian dibuktikan kebenarannya dengan makna sesuai atau korespondasi, maka tentu subjek akan melihat pada perilaku-prilaku beragama yang tampak pada pak soleh. Pertannyaanya, apakah “kesolehan” pak Soleh bisa sepenuhnya diukur dengan observasi? Bukankah kesolehan di dominasi oleh aspek kejiwaan pak soleh?.

Pertanyaan-peratanyaan di atas adalah kelemahan-kelemahan para realisme atau paham yang bertolak dari kenyataan-kenyataan. Kerena kebenaran korespondesi dianut oleh para realisme  (Kattosoff 1996: 184).

2. Teori Kebenaran Koherensi

Berkebalikan dengan paham korespondasi, paham koherensi dianut oleh para pendukung idealisme. Banyak kita dalam kehidupan sehari-hari menggunakan paham ini. Intinya menurut paham ini “kebenaran” adalah jika pernyataan subjek saling berhubungan dengan pernyataan subjek yang lainnya atau jika makna yang dikandungnya saling berhubungan dengan pengalaman kita (Kattsoff, 1996 : 181). Misalnya, “Bang Rhoma adalah penyanyi dangdut”, pernyataan ini akan dianggap benar jika fakta lain mendukung pernyataan ini. Tetapi, pernyataan ini akan dianggap “sesat” apabila fakta-fakta lain yang telah ada tidak mendukung pernyataan ini atau mengandung kontradiksi. Keritik terhadap paham ini saya sajikan dalam khasus. Di dalam penegakan hukum di pengadilan terhadap kasus pembunuhan yang dilakukan si A terhadap Si B. Untuk membuktikan pembunuhan ini benar atau tidak, kemudian pengadilan mendatangkan beberapa saksi, yaitu Si C, Si D dan Si E. Si C dan Si E cendrung membela Si A, mungkin karena sebagai teman, keluarga, atau karena sebab yang lain. Sehingga Si C dan Si D memberikan kesaksian yang sama (koheren) atau saling berhubungan yang menyebabkan keringanan terhadap Si A. Sedangkan Si E memberikan kesaksian berbeda yang memberatkan Si A, Si E menjelaskan secara jujur fakta-fakta pembunuhan yang dilihat. Setelah persidangan selesai, hakim menyatakan bahwa Si A tidak bersalah. Dari contoh kasus di atas bahwa paham kohrensi akan selalu berpihak pada pernyataan-pernyataan yang dianggap keheren, walaupun terkadang pernyataan tersebut bukan fakta yang sesungguhnya. 

3. Teori Kebenaran pragmatis

Teori kebenaran pragmatisme adalah paham tentang kebenaran yang diukur dari kegunaannya dalam kehidupan manusia. Bagi seorang pragmatis kebenaran tentang suatu pernyataan yang diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia (surismantri 2010: 58- 59). Dapat dipahami bahwa kebenaran dalam pandangan pragmantisme adalah sebatas kegunaan praktis dalam kehidupan. Apabila suatu atau proposisi tidak memiliki kegunaan praktis maka tidak dipandang sebagai suatu kebenaran, walaupun ada kemungkinan sesuatu tidak bersifat fungsional tersebut adalah kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran dalam pandangan pragmatisme akan membawa kebenaran dalam masa kadalwarsa (expired). Artinya ada masanya kebenaran yang sudah dianggap suatu kebenaran akan fleksibel bagi semua konteks, karena apabila kebenaran diukur dari segi fungsionalnya, maka bagaimana kebenaran akan berguna bagi konteks lain yang secara hakikat memiliki perbedaan senigfikan dengan konteks yang lainnya.

4. Kebenaran Menurut paham-paham empiris

Definisi-definisi kebenaran menurut paham-paham empiris berdasarkan atas berbagai segi pengalaman, dan biasanya merujuk pada pengalaman inderawi seseorang. Paham tersebut memandang proposisi bersifat meramalkan (predivtif) atau hepotesis dan memandang kebenaran proposisi sebagai terpenuhinya hipotesa (kattsoff 1996: 186). Definisi di atas mengantarkan kita pada suatau pemahaman, bahwa kebenaran menurut paham-paham empiris memiliki subjektivitas yang tinggi. Jika demikian, maka kebenaran akan memiliki makna yang berbeda-beda bagi setiap orang yang memaknainya. Disebabkan perbedaan pengalaman-pengalaman yang dimiliki subjek, selanjutkan kebenaran akan bersifat nisbi, tidak memiliki tolak ukur yang pasti. Sehingga siapa saja bisa mengklaim bahwa dia adalah yang benar.

5. Teori Kebenaran Sintaksis

Penganut teori kebenaran sintaksis berpijak bahwa suatu pernyataan di katakan benar jika pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis atau gramatika yang baku. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak memiliki arti. Teori ini berkembang di antara filsuf analisa bahasa, terutama begitu ketat terhadap pemakaian gramatikal seperti Schleiemacehr

6. Teori Kebenaran Semantis

Teori ini kebanyakan dianut dan berkembang di kalangan filsuf analatika bahasa. Kebenaran menurut faham ini adalah suatu proposisi dibilai benar ditinju dari segi arti atau makna, apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai refrensi yang jelas. Artinya teori ini bertugas untuk mengungkap ke sahihan proposisi dalam refrensinya. Pernyataan yang mengandung kebenaran adalah pernyataan yang memiliki arti atau makna yang sesungguhnya dengan merujuk pada kenyataan. Arti yang bersifat difinitif, yaitu arti yang dengan jelas menunjuk ciri khas dari sesuatu yang ada.

                   SIFAT KEBENARAN ILMIAH

Bagian sebelumnya telah membahas tentang pengertian kebenaran meskipun kebenaran di maknai dengan difinisi yang berbeda-beda taoi bisa kita ambil pengertian bahwa kebenaran ilmiah atau ilmu sangat erat kaitannya dengan pengetahuan, metode atau cara membangun suatu pengetahuan, dan relasi antara subjek dan objek. Telah dikemukakan juga teori kebenaran yang berkembang di dalam kefilsafatan. Di bagian ini kita akan membahas mengenai kebenaran sifat ilmiah Hamami mengatakan bahwa kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian, artinya suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya prosedur baku yang harus dilalui memperoleh pengetahuan ilmiah yang pada hakikatnya berupa teori-teori melalui metode ilmiah yang telah baku sesuai dengan sifat dasar ilmu. Lebih lanjut Humami mengatakan bahwa kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang bersifat objektif, maksudnya bahwa kebenaran dari suatu teori, atau lebih tinggi dari aksioma (pernyataan yang diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian) paradigma, harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam keadaan objektivnya. Mengacu pada status antologis objek, menurut Hamami kebenaran dalam ilmu dibedakan menjadi dua jenis teori, yaitu kebenaran korespondasi untuk ilmu-ilmu alam dan kebenaran khorensi atau konsisten untuk ilmu-ilmu sosial, kemanusiaan, dan logika. Kemudian hal yang sangat penting dan perlu di perhatikan dalam hal kebenaran yaitu bahwa kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan atau konvensi dari para ilmian dibidangnya. Sehingga kebenaran-kebenaran dalam ilmu akan terus berubah san berkembang berdasarkan penemuan-penemuan terbaru yang mampu menentang teori-teori terdahulu dalam bidang ilmu yang sama. Serta mendapatkan persetujuan konvesional sari para ilmuwan di bidang yang sama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun