Kebenaran menurut prespektif koris korespondasi adalah pernyataan dikatakan benar jika sesuai dengan kenyataan atau fakta yang ada. Goerge E moore (dalam sahakiah dan sahakiah 1966:24) mengatakan kebenaran sebagai “truth as the correspondence of ideas to reality”, yaitu kebenaran adalah kesesuaian antara ide atau gagasan-gagasan dengan realita. Sebaliknya, jika pernyataan bertentangan dengan kenyataan atau fakta yang ada maka pernyataan tersebut dianggap sebagai pernyataan yang “sesat”. Misalnya, ada pernyataan yang mengatakan Bang Rohman adalah seorang penyanyi dangdut. Kalau pernyataan tersebut bersesuaian dengan fakta yang ada di kenyataan sebenarnya maka itu dianggap sebagai “kebenaran”. Jika ternya Bang Rhoma bukan seorang penyanyi dangdut, melainkan seorang presiden. Maka pernyataan tersebut dianggap sebagai bukan “kebenaran”.
Makna “sesuai” (correspond) dalam teori ini masih menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mengaruh pada kritik terhadap teori kebenaran korespondasi. Kalau kebenaran selalu diukur dengan fakta-fakta yang ada, bagaimana dengan ide-ide yang bersifat kejiwaan, apakah ada fakta yang bersifat kejiwaan. Lalu bagaimana membuktikan hubungan antara ide-ide tersebut, padahal ide-ide tersebut bersifat abstrak, sulit untuk dibuktikan dengan indra manusia. Misalnya, Pak Soleh di katakan sebagai seorang yang soleh, kalau pernyataan ini kemudian dibuktikan kebenarannya dengan makna sesuai atau korespondasi, maka tentu subjek akan melihat pada perilaku-prilaku beragama yang tampak pada pak soleh. Pertannyaanya, apakah “kesolehan” pak Soleh bisa sepenuhnya diukur dengan observasi? Bukankah kesolehan di dominasi oleh aspek kejiwaan pak soleh?.
Pertanyaan-peratanyaan di atas adalah kelemahan-kelemahan para realisme atau paham yang bertolak dari kenyataan-kenyataan. Kerena kebenaran korespondesi dianut oleh para realisme (Kattosoff 1996: 184).
2. Teori Kebenaran Koherensi
Berkebalikan dengan paham korespondasi, paham koherensi dianut oleh para pendukung idealisme. Banyak kita dalam kehidupan sehari-hari menggunakan paham ini. Intinya menurut paham ini “kebenaran” adalah jika pernyataan subjek saling berhubungan dengan pernyataan subjek yang lainnya atau jika makna yang dikandungnya saling berhubungan dengan pengalaman kita (Kattsoff, 1996 : 181). Misalnya, “Bang Rhoma adalah penyanyi dangdut”, pernyataan ini akan dianggap benar jika fakta lain mendukung pernyataan ini. Tetapi, pernyataan ini akan dianggap “sesat” apabila fakta-fakta lain yang telah ada tidak mendukung pernyataan ini atau mengandung kontradiksi. Keritik terhadap paham ini saya sajikan dalam khasus. Di dalam penegakan hukum di pengadilan terhadap kasus pembunuhan yang dilakukan si A terhadap Si B. Untuk membuktikan pembunuhan ini benar atau tidak, kemudian pengadilan mendatangkan beberapa saksi, yaitu Si C, Si D dan Si E. Si C dan Si E cendrung membela Si A, mungkin karena sebagai teman, keluarga, atau karena sebab yang lain. Sehingga Si C dan Si D memberikan kesaksian yang sama (koheren) atau saling berhubungan yang menyebabkan keringanan terhadap Si A. Sedangkan Si E memberikan kesaksian berbeda yang memberatkan Si A, Si E menjelaskan secara jujur fakta-fakta pembunuhan yang dilihat. Setelah persidangan selesai, hakim menyatakan bahwa Si A tidak bersalah. Dari contoh kasus di atas bahwa paham kohrensi akan selalu berpihak pada pernyataan-pernyataan yang dianggap keheren, walaupun terkadang pernyataan tersebut bukan fakta yang sesungguhnya.
3. Teori Kebenaran pragmatis
Teori kebenaran pragmatisme adalah paham tentang kebenaran yang diukur dari kegunaannya dalam kehidupan manusia. Bagi seorang pragmatis kebenaran tentang suatu pernyataan yang diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia (surismantri 2010: 58- 59). Dapat dipahami bahwa kebenaran dalam pandangan pragmantisme adalah sebatas kegunaan praktis dalam kehidupan. Apabila suatu atau proposisi tidak memiliki kegunaan praktis maka tidak dipandang sebagai suatu kebenaran, walaupun ada kemungkinan sesuatu tidak bersifat fungsional tersebut adalah kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran dalam pandangan pragmatisme akan membawa kebenaran dalam masa kadalwarsa (expired). Artinya ada masanya kebenaran yang sudah dianggap suatu kebenaran akan fleksibel bagi semua konteks, karena apabila kebenaran diukur dari segi fungsionalnya, maka bagaimana kebenaran akan berguna bagi konteks lain yang secara hakikat memiliki perbedaan senigfikan dengan konteks yang lainnya.
4. Kebenaran Menurut paham-paham empiris
Definisi-definisi kebenaran menurut paham-paham empiris berdasarkan atas berbagai segi pengalaman, dan biasanya merujuk pada pengalaman inderawi seseorang. Paham tersebut memandang proposisi bersifat meramalkan (predivtif) atau hepotesis dan memandang kebenaran proposisi sebagai terpenuhinya hipotesa (kattsoff 1996: 186). Definisi di atas mengantarkan kita pada suatau pemahaman, bahwa kebenaran menurut paham-paham empiris memiliki subjektivitas yang tinggi. Jika demikian, maka kebenaran akan memiliki makna yang berbeda-beda bagi setiap orang yang memaknainya. Disebabkan perbedaan pengalaman-pengalaman yang dimiliki subjek, selanjutkan kebenaran akan bersifat nisbi, tidak memiliki tolak ukur yang pasti. Sehingga siapa saja bisa mengklaim bahwa dia adalah yang benar.
5. Teori Kebenaran Sintaksis
Penganut teori kebenaran sintaksis berpijak bahwa suatu pernyataan di katakan benar jika pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis atau gramatika yang baku. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak memiliki arti. Teori ini berkembang di antara filsuf analisa bahasa, terutama begitu ketat terhadap pemakaian gramatikal seperti Schleiemacehr