"Ah, sudah besar kau rupanya. Kebetulan sekali, sudah lama aku ingin bertemu denganmu!" katanya.
"Waduh, ada apa Romo?" tanya Soso.
"Kau kenal cucuku kan, Simon?"
Soso mengangguk. Ia ingat anak yang usianya empat tahun di bawahnya, ibunya adalah anak Romo Arshaki ini, sementara bapaknya adalah orang Armenia, makanya namanya menjadi Simon Arshaki Ter-Petrosian, nama yang rada-rada nyeleneh bagi orang di Gori. "Kenapa dengan dia Romo?"
"Itulah, anak itu bodonya minta ampun!" kata Romo Arshaki, "Sekolah tak beres-beres, jangankan beres, baca tulis saja masih ngawur, disuruh belajar yang lain, juga nggak ada yang bisa. Mungkin kau ingat, ia hanya bisa menyanyi..."
Soso tersenyum, ia ingat anak itu juga ikut paduan suara di sekolahnya dulu, "Iya, yang itu saya ingat Romo..."
"Aku ingin minta bantuanmu So, tolong bantu dia belajar, terutama Bahasa Rusia. Aku ingin, tahun depan dia masuk Seminari Tiflis sepertimu. Tak apa tanpa beasiswa, yang penting sekolah di sana, sepertimu!" kata Romo Arshaki lagi.
"Bagaimana bisa, Romo, saya kan tidak di sini, tapi di Tiflis?" tanya Soso.
"Kau tak keberatan ikut ke rumahku sekarang?"
Karena tak enak dengan mantan gurunya itu, Soso terpaksa mengangguk. Ia lalu diajak ke rumahnya yang juga tak jauh-jauh dari Stasiun Gori. Soso tahu rumah Romo Arshaki, dulu ia tinggal sendirian karena istrinya sudah meninggal. Sementara anak-anaknya sudah pada tinggal di rumahnya masing-masing, termasuk anak perempuannya, ibu si Simon itu.
Bapaknya si Simon, yang orang Armenia itu adalah kontraktor, banyak proyek yang dikerjakannya karena ia dekat dengan orang-orang penting Rusia di Gori, dan memanfaatkan kedekatannya dengan orang-orang Yahudi yang punya modal. Makanya seingat Soso, si Simon itu bukan anak miskin, cuma ya bandel sama itu, rada-rada oon, mungkin karena males saja, bukan karena bodo.