Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (102) Surat Sakti dari Rektor
*****
Boro-boro nyukur rambut, yang ada Soso malah terlambat sampai di pintu masuk sekolah. Seperti biasa, ia langsung dihadang penjaga. Tapi Soso sudah punya jurus berkelit; surat sakti dari Romo Serafim, rektor yang masih menjabat secara resmi, meski sedang beristirahat memulihkan kesehatannya.
Penjaga tak berkutik. Tidak percaya takutnya beneran, percaya takutnya dikibulin. Bukan apa-apa, Soso sudah dikenal sebagai biang kerok di sekolah itu. Karena itu, Soso langsung diantar ke Romo Germogen, pejabat sementara rektor itu. Tentu saja bukan karena istimewa, tapi penjaga itu takut itu hanya akal-akalan Soso.
Tapi begitu diizinkan masuk oleh Romo Germogen, penjaga itu langsung meninggalkannya. Mungkin ia merasa tugasnya sudah cukup. Jika anak itu mengecohnya, itu urusan orang yang lebih berhak mengurusinya.
"Kenapa kau lancang sekali menemui Romo Serafim yang sedang beristirahat?" tanya Romo Germogen.
"Saya mau status saya jelas, Romo..." jawab Soso yang tak setakzim seperti saat ia bertemu dengan Romo Serafim. Sikapnya rada-rada pongah dan sedikit menantang. "Saya tak bisa terus-terusan tinggal di dalam sel, belajar tak tenang dan tak nyaman. Kalau memang saya tidak berhak sekolah, ya setidaknya saya bisa meninggalkan tempat ini dan mencari kegiatan lain. Kalau saya berhak, ya saya ingin belajar seperti yang lain dengan kondisi normal!"
Romo Germogen membuka surat itu. Tak salah. Surat itu memang ditulis langsung oleh Romo Serafim. Intinya meminta status siswa Soso untuk dipulihkan, dan berhak mengikuti semua kegiatan sekolah dengan normal.
Romo Germogen menghela nafasnya. Mangkel tapi tak bisa berbuat apa-apa. "Kau mengadukanku pada Romo Serafim?"
Soso menggeleng, "Saya hanya menyampaikan yang sesungguhnya. Tak kurang dan tak lebih!"
Romo Germogen tampak tak puas. Tapi ia tak melanjutkan urusan itu. "Balik ke kelas sana. Besok, kalau kau belum potong rambut juga, hukuman langsung berlaku!"
Soso tak berkata apa-apa. Ia segera meninggalkan ruangan dan kembali ke kelasnya. Ia ditegur gurunya, Romo Stevanov, tapi ia kembali mengeluarkan jurus andalannya, alasan bertemu dengan Romo Serafim. Gurunya tak mau berkomentar lagi.
*****
Mengetahui Soso sudah 'bebas' teman-teman dekatnya jelas girang. Terutama anak-anak klub baca, Lingkaran Setan, yang secara tak langsung sementara dipimpin oleh anak buah kepercayaan Soso, si Vaso. Memang sudah banyak yang tak aktif lagi. Sejak kejadian yang menimpa salah satu anggotanya, si Juda yang cedera mata dan tak kembali lagi, banyak yang trauma mengikuti kegiatan itu. Â Â Â
Anak-anak yang aktif hanyanya si Vaso, Simon, Ataka, Alesi, dan si Jojo. Sisanya hanya jadi penggembira, sesekali datang kalau ada hal yang menarik. Soal itu, Soso tak terlalu peduli, yang penting ia masih punya teman untuk berdiskusi. Si Vaso bahkan sekarang sudah lebih banyak bacaannya, dan mulai beragam, dari buku-bukunya Marx sampai novel-novelnya Tolstoy. Dalam beberapa hal, Soso mulai tertinggal.
Istirahat pertama setelah kebebasannya, mereka merayakannya dengan menikmati kopi dan mengisap tembakau di tempatnya Gege Imedashvili. Soso yang mentraktirnya. Maklum, sekarang duitnya banyak. Uang 250 rubel pemberian Tuan Nikoladze jelas cukup banyak untuk bersenang-senang.
Bahkan, kalau saja ia bebas, tak perlu menginap di asrama, mungkin saja uang itu juga cukup untuk menyewa sebuah rumah meski tak sebagus yang dikontrak si Lado. Tapi jelas nggak mungkin lah, sayang juga duitnya kalau rumah itu malah tak ditempati.
Berkumpul kembali dengan anak-anak itu membangkitkan kembali gairah Soso untuk membaca dan mendalami berbagai ide yang sedang berkembang. Berjumpa kembali dengan Gege Imedashvili juga membuat Soso teringat hal yang tertunda, keingintahuannya soal gerakan Narodniks yang katanya pernah diikuti oleh Gege Imedashvili. Tapi nanti lah, istirahat dulu, nikmati waktu setelah perjalanan yang melelahkan dan kejadian mendebarkan sebelumnya.
"Kenapa sih kamu bisa sampai terlambat itu, Koba. Cerita dong, aku baru dengar sepotong-sepotong," kata si Alesi.
Mau tak mau, Soso harus menceritakannya. Semuanya, dari soal kejadian di pabrik tempatnya pernah bekerja, tulisannya di Kvali, demo buruh yang rusuh, hingga ia terpaksa harus kabur ke Poti untuk mengamankan diri, hingga perjalanannya ke Novorossiysk. Hanya bagian pulang kampung saja yang tak diceritakannya.
"Pangeran Ilia yang dulu ngisi acara diskusi sastra kita itu yang menolongmua?" tanya si Ataka.
Soso mengangguk. "Ya itu. Itulah gunanya kita punya jaringan..."
"Bagaimana bisa kau mengenal walikota Poti itu?" Si Jojo ikut bertanya.
Soso pun menceritakan kejadian sebelumnya, enam bulan lalu, setelah pulang dari Batumi, tempatnya si Vaso.
"Ah, andai saja aku ikut..." sela si Vaso, "Mungkin aku juga bisa berkenalan dengannya!"
Soso nyengir, "Ah, gak penting itu. Kapan-kapan kita bisa mengunjunginya kok..." katanya. "Sekarang yang terpenting adalah bagaimana kita bisa belajar dari pemikiran-pemikiran mereka. Tidakkah kalian tertarik untuk ikut membangun Georgia dengan cara apapun yang kita bisa?"
"Nah itu..." sela si Alesi, "Aku sebetulnya lebih suka bergerak!"
"Iya, tapi ingat, mereka bergerak itu setelah punya dasar. Dasar pemikiran, ada ilmunya, bukan asal bergerak!" kata Soso. "Pangeran Ilia, Tuan Nikoladze, bahkan istrinya sendiri Nyonya Olga Guramishvili bergerak berdasarkan ilmu. Bagaimana kita mau bergerak kalau kita sendiri tak tahu apa yang harus digerakkan!"
"Jadi?" tanya si Alesi lagi.
"Perbanyak dulu bacaan kita, perluas pengetahuan kita, baru kita memikirkan apa yang bisa digerakkan..." jawab Soso. "Begini saja. Selama satu semester ini, kita intensifkan lagi bacaan kita, diskusi kita. Nanti, liburan, baru kita bergerak. Apa yang kita gerakkan, ya kita diskusikan terus!"
"Tapi kalau hanya kita-kita saja, sudah nggak terlalu seru lagi, Koba," timpal si Simon. "Semakin banyak orang, semakin asyik dan semakin beragam cara pandangnya, tak peduli salah atau benar. Namanya juga kan diskusi!"
"Bener, Koba..." si Vaso menimpali, "Mungkin kita perlu mengajak kawan-kawan kita yang dulu untuk kembali aktif!"
"Jangan!" Jojo menyela. "Anak-anak itu sudah kehilangan semangat. Sudah kemakan doktrin dan ancaman-ancaman Pak Germogen. Kalau mereka mau jadi orang alim, biarkan saja, jangan kita ganggu. Kalau aku sih lebih suka mengajak anak-anak baru. Entah itu anak angkatan lama yang baru timbul minatnya, atau sekalian anak-anak baru. Mumpung pikirannya masih seger, belum dikotori oleh pasukan Germogen itu!"
"Nah, kalau ini aku setuju!" kata Soso. "Aku kemarin kan habis ketemu dan ngobrol dengan Romo Serafim di tempat peristirahatannya. Ia menyoroti arah pendidikan di seminari yang sudah melenceng jauh. Aku sependapat dengannya. Anak-anak itu, termasuk kita, kan datang untuk belajar agama plus yang lain-lain, tapi malah dijejali dengan doktrin-doktrin Tsar melalui guru-guru yang sangat ingin mengamankan posisinya masing-masing!"
"Aku setuju!" kata si Simon. "Aku juga kecewa soal itu. Niatku datang ke sini untuk menjadi pendeta malah bergeser, jengkel melihat kelakuan dan aturan aneh di sini. Jadi biar saja aku gagal jadi pendeta, tapi setidaknya aku bisa menyelamatkan mereka yang bener-bener berniat lurus!"
"Ya sudah," timpal si Vaso. "Kita mulai perekrutan. Tapi kira-kira apa yang bisa membuat mereka tertarik untuk bergabung?"
"Acara bedah buku atau diskusi lagi!" usul si Alesi.
"Jangan," sergah si Ataka. "Buat yang lebih asyik dulu, nanti pelan-pelan baru yang lebih serius!"
"Iya tapi apa?" tanya si Vaso.
"Bagaimana kalau kita cari markas sendiri? Jangan selalu di tempatnya orang lain seperti di toko buku ini..." kata Soso.
"Kan ada tempatnya si Lado, kita bisa pakai..." kata si Vaso.
Soso menggeleng, "Aku belum tau nasibnya si Lado sampai sekarang," jawabnya. "Lagipula, mungkin tempat itu sudah diawasi polisi!"
"Iya, tapi nyewa tempat kan mahal, Koba..." kata si Vaso.
Soso tersenyum, "Tenang saja, aku punya duit untuk sewa pertama. Untuk berikutnya baru kita pikirkan. Setidaknya kita punya tempat untuk setahun ke depan!"
Anak-anak itu langsung sumringah. "Serius Koba?"
Soso mengangguk. "Gini aja," katanya, "Kupercayakan kalian Ataka dan Alesi untuk mencari rumah yang bisa disewa. Jangan jauh-jauh dari sekolah supaya gampang bolak-baliknya. Jangan terlalu mahal juga. Tinggi-tingginya 50 rubel setahun. Sukur kalau lebih murah. Gak usah terlalu bagus, asal cukup luas untuk kumpul-kumpul!"
"Siap!" Ataka dan Alesi langsung menjawab berbarengan.
"Sementara kau, Vaso dan lainnya, mulailah mendekati anak-anak baru yang mungkin bisa diajak untuk bergabung. Sementara, ajak saja ke sini dulu, biar lebih asyik karena bisa sambil ngopi dan ngebul. Minta saja sama Gege, suruh dia catat. Nanti aku yang bayar semuanya. Yang penting jangan banyak-banyak, secukupnya saja, jangan sampai duitku tekor sebelum dapat tempat!"
"Siap!" kata si Vaso.
"Ya sudah. Mulai aja sekarang. Alesi dan Ataka, bisa mulai besok pas istirahat..." kata Soso lagi.
"Sip, mantep!" kata si Jojo. "Suka aku kalau begini!"
"Ngomong-ngomong duit dari mana Koba? Dapet warisan?" tanya si Vaso.
Soso ngakak, "Gak lah. Itu honorku jadi konsultan pembangunan Poti yang kuceritakan itu!"
"Serius?" tanya si Vaso. "Dapat berapa kamu?"
Soso nyengir, "250 rubel!"
Semua anak langsung terbelalak.
"Edaaan.... Kaya dong kamu, Koba!" kata si Ataka, "Bapakku banyak duit aja gak pernah aku megang duit sebanyak itu!"
"Sudahlah, aku nggak bakalan makan sendiri duitnya, tenang aja!" kata Soso.
"Berarti Lingkaran Setan sekarang mau punya markas dong!" kata si Vaso sambil tertawa. "Mungkin nanti kita beri nama Sarang Setan!"
Semuanya tergelak. Ah, rasanya semuanya sudah kembali seperti sedia kala, saat menikmati kesenangan dalam kesempitan, kebahagiaan di tengah tekanan.
*****
BERSAMBUNG: (104) Sarang Setan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H