"Jangan!" Jojo menyela. "Anak-anak itu sudah kehilangan semangat. Sudah kemakan doktrin dan ancaman-ancaman Pak Germogen. Kalau mereka mau jadi orang alim, biarkan saja, jangan kita ganggu. Kalau aku sih lebih suka mengajak anak-anak baru. Entah itu anak angkatan lama yang baru timbul minatnya, atau sekalian anak-anak baru. Mumpung pikirannya masih seger, belum dikotori oleh pasukan Germogen itu!"
"Nah, kalau ini aku setuju!" kata Soso. "Aku kemarin kan habis ketemu dan ngobrol dengan Romo Serafim di tempat peristirahatannya. Ia menyoroti arah pendidikan di seminari yang sudah melenceng jauh. Aku sependapat dengannya. Anak-anak itu, termasuk kita, kan datang untuk belajar agama plus yang lain-lain, tapi malah dijejali dengan doktrin-doktrin Tsar melalui guru-guru yang sangat ingin mengamankan posisinya masing-masing!"
"Aku setuju!" kata si Simon. "Aku juga kecewa soal itu. Niatku datang ke sini untuk menjadi pendeta malah bergeser, jengkel melihat kelakuan dan aturan aneh di sini. Jadi biar saja aku gagal jadi pendeta, tapi setidaknya aku bisa menyelamatkan mereka yang bener-bener berniat lurus!"
"Ya sudah," timpal si Vaso. "Kita mulai perekrutan. Tapi kira-kira apa yang bisa membuat mereka tertarik untuk bergabung?"
"Acara bedah buku atau diskusi lagi!" usul si Alesi.
"Jangan," sergah si Ataka. "Buat yang lebih asyik dulu, nanti pelan-pelan baru yang lebih serius!"
"Iya tapi apa?" tanya si Vaso.
"Bagaimana kalau kita cari markas sendiri? Jangan selalu di tempatnya orang lain seperti di toko buku ini..." kata Soso.
"Kan ada tempatnya si Lado, kita bisa pakai..." kata si Vaso.
Soso menggeleng, "Aku belum tau nasibnya si Lado sampai sekarang," jawabnya. "Lagipula, mungkin tempat itu sudah diawasi polisi!"
"Iya, tapi nyewa tempat kan mahal, Koba..." kata si Vaso.