"Tentu saja Romo, bukannya saya tidak mau mengikuti peraturan. Tapi bagaimana saya bisa memotong rambut saya kalau saya tak punya waktu keluar dari asrama saat jam istirahat!"
"Ya sudah, hari ini kau boleh keluar jam istirahat untuk memotong rambutmu. Awas kalau kembali masih gondrong seperti itu!"
"Baik Romo!" kata Soso.
Ia pun disuruh kembali ke kelas. Tapi alih-alih berpikir untuk mencukur rambutnya, Soso malah justru kepikiran untuk memanfaatkan jam istirahat itu untuk menemui Pak Serafim, rektor yang tak aktif itu di tempat peristirahatannya. Ia tak tahu di mana tempatnya, yang pasti, Pak Serafim pasti masih tinggal di Tiflis, karena secara resmi ia masih menjabat sebagai rektor seminari ini.
Satu-satunya tujuan menemui Pak Serafim adalah untuk menanyakan soal 'kebijakan' atau 'aturan' baru itu secara langsung. Memang, teman-temannya disuruh mendaftar lagi, tapi ia pikir, itu bukan berarti kalau ia terlambat ia kehilangan haknya. Jika aturan itu memang ada, ia akan langsung meminta putusan dari Pak Serafim. Jika tidak, ia punya alasan untuk bertahan dari apapun yang akan digunakan Pak Germogen untuk memberinya hukuman.
"Punya kuasa boleh, tapi jangan sok-sok berkuasa!" bathinnya. Entah kenapa, ia benar-benar tak suka Pak Germogen menempati posisi itu, meski hanya sementara. Selain itu, anak buahnya, kepala pengawas, Inspektur Dmitri alias Mister Black Spot itu tampaknya juga mencari-cari celah untuk menghukumnya.
Entah hanya perasaannya, atau memang begitu kenyataannya. Yang jelas, Soso merasa dia harus bersiap untuk menghadapinya, atau bila perlu melawannya! Dan untuk itu, ia perlu 'amunisi' salah satunya ya 'fatwa' dari Pak Serafim, orang yang paling berwenang dan berkuasa saat ini!
*****
BERSAMBUNG: (102) Surat Sakti dari Rektor
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H