Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (100) Kembali ke Sekolah, Kembali ke Masalah
*****
Soso tidak tahu, apakah benar ada aturan baru, di awal tahun setiap siswa harus mendaftarkan dirinya kembali. Aturan itu tak pernah ada sebelumnya. Jangan-jangan itu hanya akal-akalan Pak Germogen untuk mencegahnya kembali ke sekolah. Atau sekadar ngetes.
Entah kenapa pula Soso bisa menemukan celah dalam aturan itu. Bahwa Pak Germogen sesungguhnya tak memiliki kekuasaan untuk menentukan seorang siswa bisa diterima atau dikeluarkan, karena ia hanya menjalankan tugas sehari-hari sebagai pengganti Pak Serafim, rektor yang sedang beristirahat karena sakit.
Apalah itu, ia sekarang sudah kembali. Soal hukuman, memang Pak Gemogen punya kewenangan. Makanya Soso tak bisa membantah ketika ia harus menginap di dalam Tembok Derita, bukannya di dalam kamar asrama. Setidaknya, itu hanya untuk malam hari saja, tidur tanpa alas yang nyaman. Tapi lampu kamar diberi, jadi ia masih bisa belajar. Dan yang paling penting, menjelang pagi, pintunya dibuka dan ia bisa bergabung dengan kawan-kawannya yang lain berkegiatan, mulai dari sarapan, masuk kelas, hingga makan malam. Hanya jam istirahat saja ia dilarang keluar dari kompleks asrama seperti biasa.
Karena itu pulalah, selama seminggu ini ia tak bisa kemana-mana. Padahal ia sangat ingin keluar untuk berkunjung ke rumah kontrakannya si Lado. Ia masih penasaran dengan nasib kawannya itu sejak menghilang setelah peristiwa demo buruh yang berujung rusuh itu.
Setelah berkelana ke Poti hingga ke Novorossiysk beberapa minggu lamanya, ia ternyata merindukan suasana Tiflis sebelum kejadian demo buruh yang menyebabkannya harus menyingkir itu.
Ia juga kangen berkunjung ke toko buku, entah itu toko bukunya Pak Yedid, atau toko bukunya Gege Imedashvili untuk sekadar membaca dan menikmati secangkir kopi. Ada rasa kangen juga bertemu dengan Sabine, gadis Jerman yang menyenangkan itu. Ingin rasanya ia bercerita terntang petualangan pertamanya keluar dari Georgia, meski itu hanya sampai Novorossiysk, belum lebih jaug lagi.
Tapi mau apa lagi, ia masih harus menjalani hukuman, yang entah sampai kapan. Jangan-jangan sebetulnya ia dikerjai oleh Pak Germogen, sengaja dibuat berlama-lama tinggal di dalam sel, alih-alih di kamar asrama.
Tapi tak apalah, hal-hal itu masih bisa ditundanya. Mungkin ada baiknya juga, jadi ia bisa belajar untuk menyusul keterlambatannya. Di dalam sel, meskipun sepi, justru ia bisa belajar sampai larut malam, karena tak ada seorang pun pengawas yang sampai ke sana setelah mengunci pintunya.
*****
Hingga suatu ketika, setelah lebih dari seminggu menjalani hukuman tinggal di Tembok Derita, Soso dipanggil penjaga ketika berada di dalam kelas. Penjaga itu mengatakan ada tamu yang mengunjunginya. Seperti biasa, penjaga ogah menyebutkan siapa tamu yang dimaksud, hanya mengingatkan soal batas waktu kunjungan.
Ternyata yang mengunjunginya adalah ibunya, Mak Keke. Tak terkira senangnya Soso. Selain karena itu kunjungan pertama ibunya, Soso juga memang sangat menantikannya.
Setelah berbasa-basi temu kangen, Soso akhirnya menanyakan soal kabar pamannya itu. Mak Keke tampak berat hendak bercerita.
"Maafkan Mak, So. Seharusnya sejak lama Mak memberitahu soal keluargamu. Mungkin Mak dulu merasa ditinggalkan sendiri, sehingga akhirnya tak mau lagi bicara soal mereka padamu..." katanya. "Sejak bapakmu ngaco, Mak berutang ke sana-sini, termasuk pada saudara-saudara Mak, mereka akhirnya malas berurusan lagi dengan kita. Mak merasa sakit hati waktu itu. Saat bapakmu masih berjaya, punya cukup uang, mereka sering datang, meminta bantuan ini-itu. Giliran Mak yang perlu, semua menghindar. Mulai hitung-hitungan..."
"Memang banyak utang Mak pada mereka, tapi sebelum itu, banyak pula bantuan yang Mak kasih, dan tak pernah hitung-hitungan..." lanjutnya. "Sejak kamu masuk sekolah di sini dan tak lagi butuh biaya, Mak mulai menabung untuk membayar utang-utang Mak itu. sayangnya, tak kesampaian. Pamanmu, Sandala, yang paling banyak memberi pinjaman pada Mak, keburu pergi!"
"Apa iya karena polisi?" tanya Soso.
Mak Keke mengangguk. "Memang begitu kenyataannya. Tapi tak jelas apa penyebabnya. Ada yang bilang karena pamanmu kecanduan judi dan berutang banyak terus berseteru dengan seseorang sampai akhirnya polisi datang dan menangkapnya. Terus di jalan katanya dia melawan hingga akhirnya ditembak..."
"Ada juga yang mengatakan, masalahnya sebetulnya dengan salah satu polisi itu, juga karena hal yang sama, soal judi. Kebetulan ada masalah dengan yang lain, polisi itu memanfaatkan situasi...." Imbuhnya. "Entahlah mana yang benar. Susah kalau sudah berurusan dengan polisi..."
"Siapa keluarga Mak yang masih ada di sana?" tanya Soso.
"Ada bibimu, Anna Geladze, sepupu Mak," jawab Mak Keke. "Satunya lagi, adik Mak, Gio Geladze, sudah lama tak tinggal di Didi-Lilo, ikut suaminya di Telavi."
"Kalau saja liburan saya masih panjang, mungkin kemarin saya juga menyusul, Mak..." kata Soso.
"Nanti lah, kalau libur lagi, pergilah kau ke sana, temui bibimu. Dia yang paling baik. Dia juga katanya kangen sama kamu karena memang sudah lama tak pernah bertemu lagi. Mungkin terakhir ketika umurmu masih empat atau lima tahun..." timpal Mak Keke. "Dia begitu bangga begitu mendengar kamu bersekolah di sini dengan mendapatkan beasiswa!"
Soso tersenyum, "Ya nanti saya ke sana, mungkin libur Natal nanti!"
"Ya, biar kamu juga tahu keluargamu, dan nggak merasa sendirian.. di sana masih banyak sebetulnya keluarga Mak, cuma memang yang dekat tinggil Bi Anna itu!"
"Habis ini Mak mau langsung pulang ke Gori?"
Mak Keke mengangguk, "Sudah terlalu lama kutinggalkan Pak Koba!"
Soso rada-rada bimbang ketika teringat pada Pak Beso, apakah perlu mengatakannya pada Mak Keke atau tidak. Tapi akhirnya ia mengatakannya juga, "Bapak juga ada di sini, Mak..."
"Aku sudah mendengarnya dari Mak Imel," jawabnya. "Syukurlah kalau dia sudah tobat. Setidaknya di sini kamu tak sendirian, masih ada bapakmu dan juga Pak Sese dan Mak Imel!"
"Mak, bukannya nggak kangen, tapi waktu kunjungannya sudah habis..." kata Soso begitu melihat penjaga memberinya tanda.
"Ya sudah, Mak juga tadi sudah dikasih tahu," kata Mak Keke, "Yang penting Mak sudah bertemu denganmu dan melihatmu di sini baik-baik saja, tambah sehat dan tambah ganteng!"
Soso nyengir. Anak-ibu itu kemudian saling berpelukan, lalu berpisah.
Soso harus kembali ke kelasnya.
Tapi alih-alih langsung ke kelas, penjaga malah membawa Soso ke ruangan rektor yang masih dihuni oleh Pak Germogen, bukannya Pak Serafim.
"Belum ada keputusan dari Romo Serafim. Beliau masih harus beristirahat!" kata Pak Germogen tanpa basa-basi setelah Soso masuk ke ruangannya.
Soso sebetulnya mau nyeletuk, "Belum ada keputusan atau emang gak pernah ditanyain?" tapi ya tentu saja nggak dikeluarkannya. "Jadi bagaimana nasib saya, Romo?" pertanyaan itu yang terucap.
"Sebetulnya kamu tak berhak masuk kelas dan mengikuti pelajaran!" katanya.
"Berarti Romo juga tidak berhak mengurung saya!" timpal Soso. Kali ini rada keceplosan. "Bagi saya sih aneh Romo, mohon maaf, saya disetujui menerima beasiswa lagi tahun ini, artinya, pemberi beasiswa sudah menanggung biaya sekolah saya tahun ini. Masak iya karena saya terlambat mendaftar saya tak bisa ikut. Saya kan bukan siswa baru!"
"Jangan mulai!" bentak Pak Germogen. "Aku sedang menimbang-nimbang kebijakan untukmu!"
"Silakan Romo, saya menunggunya!" kata Soso yang makin berani.
"Sampai akhir minggu ini, kau tetap tinggal di dalam sel seperti saat ini. Hari Seninnya kau boleh kembali ke kamarmu yang dulu dan mengikuti semua kegiatan seperti semula. Ingat, saat itu hak dan kewajibanmu sebagai siswa juga berlaku, normal. Termasuk kau harus mencukup rambutmu yang mulai panjang itu..." kata Pak Gemogen. "Tapi jika di tengah jalan ada keputusan dari Romo Serafim tentang statusmu, misalnya kau dianggap tidak terdaftar, apa boleh buat, kau harus meninggalkan sekolah ini!"
"Baik Romo," kata Soso, "Tapi jika sebelum hari Senin keputusan itu sudah ada, saya juga berhak untuk kembali ke kamar secepatnya!"
"Ya! Karena saat itu juga hukuman untuk kedisiplinanmu, seperti rambut panjangmu itu, sikap kurangajarmu juga langsung berlaku!"
"Tentu saja Romo, bukannya saya tidak mau mengikuti peraturan. Tapi bagaimana saya bisa memotong rambut saya kalau saya tak punya waktu keluar dari asrama saat jam istirahat!"
"Ya sudah, hari ini kau boleh keluar jam istirahat untuk memotong rambutmu. Awas kalau kembali masih gondrong seperti itu!"
"Baik Romo!" kata Soso.
Ia pun disuruh kembali ke kelas. Tapi alih-alih berpikir untuk mencukur rambutnya, Soso malah justru kepikiran untuk memanfaatkan jam istirahat itu untuk menemui Pak Serafim, rektor yang tak aktif itu di tempat peristirahatannya. Ia tak tahu di mana tempatnya, yang pasti, Pak Serafim pasti masih tinggal di Tiflis, karena secara resmi ia masih menjabat sebagai rektor seminari ini.
Satu-satunya tujuan menemui Pak Serafim adalah untuk menanyakan soal 'kebijakan' atau 'aturan' baru itu secara langsung. Memang, teman-temannya disuruh mendaftar lagi, tapi ia pikir, itu bukan berarti kalau ia terlambat ia kehilangan haknya. Jika aturan itu memang ada, ia akan langsung meminta putusan dari Pak Serafim. Jika tidak, ia punya alasan untuk bertahan dari apapun yang akan digunakan Pak Germogen untuk memberinya hukuman.
"Punya kuasa boleh, tapi jangan sok-sok berkuasa!" bathinnya. Entah kenapa, ia benar-benar tak suka Pak Germogen menempati posisi itu, meski hanya sementara. Selain itu, anak buahnya, kepala pengawas, Inspektur Dmitri alias Mister Black Spot itu tampaknya juga mencari-cari celah untuk menghukumnya.
Entah hanya perasaannya, atau memang begitu kenyataannya. Yang jelas, Soso merasa dia harus bersiap untuk menghadapinya, atau bila perlu melawannya! Dan untuk itu, ia perlu 'amunisi' salah satunya ya 'fatwa' dari Pak Serafim, orang yang paling berwenang dan berkuasa saat ini!
*****
BERSAMBUNG: (102) Surat Sakti dari Rektor
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H