Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (90) Antara Curiga dan Sanjungan
*****
Dua hari berikutnya, Soso masih berkeliling Poti ditemani Natela, melihat-lihat bagian timur dan selatan kota itu sambil mencatat ini-itu. Sebetulnya Soso membuat catatan yang cukup baik, artinya, ia mengerjakan 'tugas' dari Tuan Nikoladze itu dengan sungguh-sungguh. Hanya saja ia tidak terlalu yakin dengan hasilnya. Apakah apa yang ia kerjakan itu akan sungguh-sungguh diperhatikan oleh Tuan Nikoladze atau tidak. Jika diperhatikan, apakah catatannya itu akan dipertimbangkan atau tidak.
Setelah berkeliling di daerah selatan Poti, Natela mengajak Soso mampir ke rumahnya. "Tugasmu meninjau sudah selesai kan? Jadi tak ada salahnya kamu beristirahat dulu..." katanya.
Soso mengiyakan saja. Toh ia juga nggak tahu mau ngapain lagi setelah itu. Paling pulang ke tempat Pak Didi, membaca buku, lalu tidur. Besok pun, ia tak tahu, apakah ia harus berangkat ke Balai Kota atau tidak, karena Tuan Nikoladze jelas belum kembali. "Mungkin aku harus mengabari Pak Didi dulu..." jawabnya.
"Biar Pak Kusir saja yang mampir ke rumahnya dan memberitahunya kalau kamu mampir dulu di tempatku!" kata Natela.
"Ya sudah kalau begitu!" jawab Soso.
Mereka turun dari kereta di depan sebuah rumah yang lumayan bagus. Natela sendiri yang kemudian mengatakan hal itu pada kusir kereta yang sudah tiga hari mengantar mereka berkeliling kota. Setelah kereta meninggalkan mereka, Natela mengajak Soso masuk ke rumah itu, rumah tempat tinggalnya.
"Santai aja ya, aku mau mandi dang anti pakaian dulu..." kata Natela.
Soso mengangguk. Ditinggal Natela, ia menuju kursi dan duduk bersandar. Lelah. Kosong. Dan agak bosan. Bukannya lelah berpetualang, tapi kadang ia membayangkan berada di sebuah rumah, rumahnya sendiri, kamarnya sendiri, duduk di depan meja sambil membaca buku-buku jika ia bosan, atau menulis, atau hal-hal lainnya. Sendiri.
Tapi ia tak pernah punya kesempatan seperti itu. Rumahnya di Gori tak cukup besar. Tak punya kamar sendiri, hanya sebuah pojokan. Tak nyaman membaca atau menulis di sana. Pasti terganggu oleh Mak Keke yang mondar-mandir.
Lalu kalau di rumahnya sendiri ia tak bisa melakukannya, di mana lagi ia bisa? Di rumah Pak Sese dan Mak Imel, ia hanya menempati sebuah ruangan kecil, sempit dan tak terlalu nyaman berada di dalamnya berlama-lama.
Ia membayangkan rumah kontrakan si Lado. Itu mungkin mendekati impian sederhananya, ada kamar-kamar, ruangan lain, dan enak untuk tinggal berlama-lama sendirian. Tapi itu kan bukan rumahnya, bukan rumah si Lado. Kalau kawannya itu nanti kehabisan duit atau tak lagi ada yang membiayai, entah akan tinggal di mana anak itu.
Ia membayangkan lagi kamar si Said. Letaknya di bagian belakang rumah, ada jendela yang bisa dibuka untuk melihat pemandangan ladang di belakangnya. Kamar seperti itu yang diinginkannya saat ini. Tapi jelas ia tak ingin ke tempatnya si Said di Rustavi hanya untuk mencari suasana seperti itu.
Atau, jangan-jangan pondok kayu tempat ia menghabiskan malam bersalju dengan Natasha di Batumi, tepi Laut Hitam dan muara Sungai Chorokhi yang ia inginkan? Rasanya tempat itu memang cocok untuk menyepi. Ia membayangkan duduk di teras pondok itu, memandang Laut Hitam, membaca, sambil menikmati kopi panas dan mengisap tembakau.
Duh... ia mendadak kangen tempat itu. Tapi ia rada-rada enggan membayangkan Natasha yang menemaninya seperti dulu. Entahlah, perasaan 'jijik'-nya masih belum bisa hilang juga. Perempuan secantik dia, memiliki suami yang tak dicintainya, lalu mengumbar nafsunya pada banyak lelaki yang disukainya, termasuk dirinya!
Perasaan di-'istimewa'-kan yang sebelumnya hadir dalam dirinya, mendadak sirna begitu saja setelah mendengar cerita si Lado, Nunu, Silva, dan yang lain-lainnya juga pernah tidur dengan Natasha. Yaah, mungkin bukan salah Natasha. Salahnya sendiri yang merasa seperti itu. Natasha tidak suci, ia juga. Lalu apa bedanya?
*****
"Koba... tidur saja di dalam kalau kamu lelah, jangan di sini!" seseorang mengguncang-guncangkan tubuh Soso.
Soso membuka mata. Di depannya tampak Natela. Ia baru sadar kalau ia tertidur di kursi. "Uh, maaf, aku ketiduran..." kata Soso sambil menegakkan badannya.
"Nggak apa-apa. Kalau kamu capek, pindah aja ke dalam, jangan di sini!" kata Natela lagi.
Soso menatap Natela yang tampak berbeda, mungkin karena ia mengenakan pakaian rumahan yang lebih santai dan membiarkan rambut panjang cokelatnya terurai, tak diikat seperti tadi atau kemarin-kemarin. "Nggak usah, masih sore, nggak enak kalau aku malah tidur beneran. Tengah malam malam bangun dan susah tidur lagi..." kata Soso.
Natela tersenyum, lalu duduk di sebelah Soso. "Aku akan menyiapkan makan malam untuk kita..."
"Makan malam?" tanya Soso. "Aku harus pulang sebelum makan malam. Pak Didi pasti menungguku!"
Perempuan itu tersenyum lagi, yang membuatnya terlihat lebih cantik oleh Soso. "Aku sudah titip pesan sama Pak Kusir tadi, kalau kamu akan makan malam di sini!"
"Ooh..." Soso melongo. "Apa nggak merepotkan?" tanyanya.
"Tenang saja, aku tinggal sendirian kok di sini!" jawabnya. "Mandilah dulu kalau memang nggak mau lanjut tidurnya! Sudah kusiapkan semuanya!"
Soso nggak bisa menolak. Natela menunjukkan kamar mandinya. Dan ternyata ia malah menikmati mandinya itu, mungkin karena seharian berkeliling kota di cuaca yang cukup panas.
Selesai mandi, walaupun masih menggunakan pakaian yang sama, karena tak bawa pakaian ganti, Natela langsung menyambutnya. "Makan malam sudah siap. Langsung saja yuk..." katanya.
*****
Makan malam itu rasanya berbeda. Mungkin karena untuk pertama kalinya ia dijamu makan malam oleh seorang perempuan, secara khusus. Sedikit terselip rasa bahagia, merasa menjadi laki-laki yang dihargai. Makanan yang disajikan Natela pun cukup istimewa, ia memasak hidangan laut. Entah kapan ia sempat membeli bahan-bahannya, entah ia memang menyediakannya atau ia membelinya saat ia tertidur tadi, karena rasanya ia tidur cukup lama, dari hari masih sore hingga hari sudah gelap.
"Masakanmu luar biasa Na..." kata Soso memujinya.
Natela tersenyum, "Kamu suka?"
Soso mengangguk, jujur. "Aku jarang makan makanan laut, kampung di Gori kan jauh dari laut. Di Tiflis juga begitu!"
"Kalau di sini banyak lah, namanya juga dekat laut. Keluargaku juga dulunya nelayan, tapi sudah tak ada lagi yang melaut sekarang..." jawabnya.
"Dimana keluargamu?" tanya Soso.
"Mereka masih di rumah lamaku. Masih ke selatan lagi dari sini..." jawabnya.
"Kenapa kamu di sini?"
Natela tersenyum, "Aku dulu tinggal sama suamiku..." jawabnya. "Tapi sekarang sudah nggak lagi. Mau balik lagi ke rumah orangtuaku, jaraknya terlalu jauh dari Balai Kota. Jadi ya sudah, aku pilih di sini saja. Biarpun sendiri!"
"Memangnya kemana suamimu?" tanya Soso. Ia sebetulnya sudah mendengar soal itu dari Pak Didi.
"Dia melaut, dan tak pernah kembali!" jawab Natela, tanpa menjelaskan apakah tidak kembali itu karena meninggal atau menghilang.
"Maaf, harusnya aku tak bertanya soal itu..." kata Soso.
"Nggak apa-apa..." jawabnya. "Kau mau melihat laut di malam hari?"
"Jauh?" tanya Soso.
"Nggak, tinggal jalan kaki aja kok..." jawabnya.
"Ayo kalo gitu..."
Mereka pun kemudian meninggalkan rumah dan berjalan kaki, ternyata memang tak terlalu jauh. Pantai yang mereka kunjungi terletak di bagian selatan pelabuhan, dan cukup asyik, landau. Sayangnya karena malam hari, tak banyak yang bisa dilihat, kecuali lampu-lampu kapal di kejauhan.
Mereka hanya mengobrol tak jelas. Sampai akhirnya Soso merasa hari sudah terlalu malam. "Aku harus pulang... Pak Didi pasti menungguku!"
"Aku sudah titip pesan, kamu tak akan pulang mala mini!" kata Natela.
Soso melongo, "Lah, terus aku?"
"Tidurlah di rumahku malam ini!"
"Kamu serius?" tanya Soso.
"Kenapa tidak?"
*****
Soso bimbang, antara menolak atau mengikuti permintaan Natela untuk tidur di rumahnya. Tapi, makin lama, ia makin tak bisa berpikir, sementara hari makin larut. Kembali ke rumah Natela, perempuan itu mengeluarkan minuman. Mereka minum-minum sambil mengobrol, hingga kepala Soso mulai pening.
Ia tak mungkin pulang ke rumah Pak Didi malam itu.
Dan, yaah, Natela, terlalu menggoda, terlalu menarik untuk ditinggalkan dalam kekecewaan!
*****
BERSAMBUNG: (92) Ajakan ke Novorossiysk
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H