Episode Awal:(1) Soso
Episode Sebelumnya:(89) Belajar Tata Kota
*****
Nana atau Natela Gvazava yang menemani Soso ternyata asli Poti, lahir dan besar di kota itu. Jadi ditemani dia saat berkeliling kota itu bukan hanya membuat perjalanannya lebih mudah, tapi juga menyenangkan. Nana mengerti seluk-beluk kota itu, misalnya soal banjir Sungai Rioni, air laut naik yang kadang-kadang naik dan membanjiri daerah pesisir, salju yang menyusahkan warga saat sedang tinggi-tingginya, dan sebagainya.
Nana juga sedikit banyak paham soal sejarah kota itu. seperti halnya Batumi yang dulu sempat dikuasai oleh Otoman, begitu pula dengan Poti. Orang-orang Otoman menguasai Poti sejak tahun 1578 dan menjadikan kota yang masuk dalam Jalur Sutra itu sebagai salah satu pusat jual-beli budak. Diambil alih lagi oleh Kerajan Kartli-Kakheti tahun 1640, dan jatuh lagi ke tangan Otoman tahun 1723. Di bawah komando Puteri Nino, Poti kembali lagi ke tangan Georgia tahun 1809. Perang Rusia-Otoman menyebabkan Poti terjepit dan akhirnya dikuasai oleh Rusia sejak tahun 1828, sampai saat itu. Oleh Rusia, Poti dimasukkan dalam kegubernuran Kutaisi dan ditetapkan sebagai kota pelabuhan tahun 1858.
"Jadi pelabuhan itu baru?" tanya Soso.
Nana menggeleng, "Yaa bangunannya saja yang baru, tapi kegiatannya kan sudah lama. Sebelum Batumi dikuasai Rusia, Poti adalah satu-satunya pelabuhan pintu masuk ke Georgia dari laut. Baru setelah Batumi juga dikuasai baru-baru ini, Poti punya saingan. Karena itulah, Tuan Nikoladze ingin mengembalikan Poti sebagai pelabuhan paling penting bagi Georgia..." jawabnya.
"Kalau sering diperebutkan, apa ada benteng di sini?" tanya Soso lagi.
"Dulu ada, tapi sudah pada hancur..." jawab Nana.
"Kenapa Tuan Niko tidak berpikir membangun benteng lagi?"
Nana tersenyum, "Karena kupikir ia merasa bahwa itu bukan urusannya. Tuan Niko tidak berpikir soal perang. Kalaupun misalnya ada perang, ya itu urusan Rusia..." jawabnya. "Ia lebih berpikir tentang ekonomi. Sudah terlalu lama orang di sini mengurusi perang dan perebutan, sehingga tak berpikir soal kemajuan ekonomi. Itulah yang ingin ia kembangkan!"
Soso mengangguk-angguk. "Tapi laut di sana itu terlalu terbuka, siapa pun bisa menyerang Poti dengan mudah!"
"Kalau kamu mau ngasih saran pada Tuan Nikoladze, lupakan soal militer, pertahanan, atau perang. Dia takkan tertarik!" kata Natela.
"Kenapa?"
Natela mendekatkan wajahnya pada telinga Soso dan berbisik, "Karena secara tidak langsung, Tuan Nikoladze kan bekerja untuk Rusia. Kalau ia sampai ketahuan membangun militer, pertahanan, dan sebagainya, ia bisa dicurigai. Jadi dia lebih memilih membangun yang lain saja!"
Soso mengangguk-angguk lagi. "Aku mengerti..." jawabnya. Ia lalu menarik tangan Natela menjauhi kereta kuda yang mereka tumpangi menuju bukit-bukit kecil tempat ia nongkrong dan memandangi Laut Hitam hari pertama ia kembali ke Poti. "Kenapa harus berbisik-bisik?" tanya Soso.
"Di balai kota, banyak mata-mata..." jawab Natela. "Tuan Nikoladze itu diawasi terus gerak-geriknya oleh Rusia, terutama Gubernur Kutaisi, lewat orang-orang yang ditaruhnya. Tidak semua orang bisa dipercaya. Jadi kita tidak bisa sembarangan ngomong tentang Rusia, apalagi kalau yang ada kaitannya dengan keinginan melepaskan diri entah itu Poti sendiri, Kartli-Kakheti, atau Georgia..."
Soso melongo mendengarnya, "Oooh aku paham..."
"Menurut Tuan Nikoladze, orang Poti dan Kutaisi harus memperkuat ekonominya terlebih dahulu, baru berpikir yang lain. Kalau berpikir merdeka tapi tak punya apa-apa, ya percuma saja, pasti kalah perang. Perang kan butuh biaya juga..." kata Natela lagi, kali ini, karena hanya berdua, suaranya lebih keras, tak berbisik lagi. "Setidaknya, kata Tuan Nikoladze, kalaupun kita masih dalam kekuasaan Rusia, orang bisa hidup sejahtera dulu lah..."
"Coba bandingkan dengan daerah-daerah lain, bahkan Tiflis sekalipun. Mana ada yang pribuminya sejahtera!" lanjut Natela.
"Iya sih..." kata Soso. Setidaknya kan ia sudah bisa membandingkan bagaimana Poti dengan kota-kota lain yang pernah dikunjunginya. "Jadi kusir tadi mencurigakan?" tanya Soso kemudian.
Natela menggeleng, "Bukan soal mencurigakan atau tidak. Dia memang orang Georgia, tapi kan nggak tahu pasti pandangannya. Jangan-jangan dia orang bayaran Gubernur Kutaisi untuk memata-matai Tuan Nikoladze!"
Soso mengangguk-angguk lagi.
"Asal tahu saja, di Balai Kota, kedatanganmu saja sudah jadi bahan omongan..." kata Nana lagi.
"Kenapa?" tanya Soso.
"Karena tiba-tiba saja langsung dekat dengan Tuan Nikoladze dan sama sekali tak ada kaitannya dengan proyek-proyek yang sudah disetujui Rusia!"
"Memangnya apa saja yang sudah disetujui?"
"Banyak. Gereja, gymnasium,[1] pelabuhan, nanti ada kilang minyak, bahkan juga teater seperti di Tiflis!" jawabnya.
"Oh ya?"
Nana mengangguk. "Karena tiba-tiba kamu datang dan diminta belajar tata kota itulah kamu jadi bahan omongan orang-orang, baik yang dekat dengan Tuan Niko maupun yang agak tidak terlalu menyukainya!"
"Oke kalau begitu, aku mulai paham..." kata Soso. "Jadi kamu sengaja menemaniku agar aku paham soal itu?"
Natela mengangguk. Pak Didi menyampaikan pada orang dekat Tuan Niko soal tugas yang diberikan padamu. Nah aku ditunjuk oleh dia untuk menemanimu, jangan sampai kamu ditemani oleh orang yang tak menyukai Tuan Nikoladze, apalagi yang memusuhinya!"
Karena penjelasan Natela itulah Soso mulai mengerti 'peta politik' di dalam lingkungan Balai Kota Poti. Mungkin Poti ini memang istimewa, karena dipimpin oleh pribumi, berbeda dengan kota-kota lain yang semuanya orang Rusia, ditunjuk atau diangkat oleh Tsar dan jajarannya. Bisa jadi di Tiflis tak seperti itu. Tapi entahlah, tak ada satupun pejabat di Tiflis yang ia kenal. Bahkan di kampungnya sendiri pun, Gori, ia tak tahu.
Tapi karena itu pulalah, Soso justru merasa tersanjung, karena dianggap orang penting, sehingga harus dicurigai segala macem. Padahal kan, ia sama sekali nggak punya tujuan seperti itu, apalagi kan kedatangannya ke Poti sebetulnya hanya untuk sembunyi dari kejaran polisi Tiflis, bukan untuk ikut berpolitik atau bahkan mengerjakan proyek.
Lama kelamaan, ia malah curiga, jangan-jangan tugas yang diberikan Tuan Niko itu bukan hanya tugas iseng, tapi tugas serius, sengaja memanfaatkan kedatangannya untuk tujuan yang lain.
Soso memang tidak merasa dimanfaatkan, ia senang-senang saja dengan tugas itu. niatnya juga belajar. Apa yang nanti akan disampaikannya juga belum tentu berguna atau penting bagi Tuan Nikoladze. Kalaupun itu tugas serius dan Tuan Nikoladze memang memanfaatkannya, rasanya Soso juga tak keberatan, jika itu sejalan dengan 'perjuangannya.' Bukankah antara ia, Tuan Nikoladze, dan Pangeran Ilia memiliki pandangan yang sama? Hanya mungkin saja caranya yang berbeda.
Jika tujuan yang sama dengan cara yang salah seperti yang dilakukannya dengan si Lado cs dari Mesame Dasi, apa salahnya ia belajar 'berjuang' untuk tujuan yang sama, dengan cara yang berbeda. Ia sudah mengikuti 'jalan sastra' kebangsaan ala Pangeran Ilia. Mungkin saatnya ia belajar dengan cara lain.
Jangan-jangan ini perwujudan dari konsep 'Kapitalisme Kolektif' yang dianut oleh Tuan Nikoladze, dan ia tengah membantu mewujudkannya.
Entahlah, hanya Tuan Nikoladze yang bisa menjawabnya. Itupun kalau ia mau memberikan jawaban, atau Soso berani menanyakannya langsung.
*****
Kunjungan bersama Natela itu berakhir sore hari. Mereka hanya sempat meninjau bagian utara kota Poti, dari percabangan Sungai dan Kanal Rioni hingga ke wilayah pelabuhan. Bagian tengah, selatan, dan bagian timur kota belum dikunjungi.
"Kita lanjutkan besok ya!" kata Natela.
"Memangnya boleh?" tanya Soso.
"Kamu kan belum selesai toh?"
Soso mengangguk, "Ya memang belum selesai sih..."
"Ya makanya, kita lanjutkan lagi besok..."
"Maksudku, apa kamu diizinkan lagi menemaniku lagi besok?"
Natela tersenyum sambil mengangguk, "Itu malah jadi tugasku sekarang, sesuai permintaan atasanku yang dekat dengan Tuan Nikoladze!"
"Supaya tidak bocor ya!" kata Soso.
Natela mengangguk.
"Ya bagus lah kalau begitu, aku senang-senang saja kalau kamu yang menemani!"
"Besok kita ke selatan, rumahku juga di sana, mungkin bisa singgah sebentar. Siapa tahu nanti kalau urusanmu sudah selesai, kamu bener-bener bisa mampir!" katanya.
Soso melongo, lah kok urusannya jadi mampir-mampiran! Tapi ia hanya mengangguk saja. "Sampai jumpa besok!" katanya.
Natela mengangguk dan kereta kuda itu berjalan meninggalkannya. Mungkin kembali ke Balai Kota, atau mengantar Natela pulang.
Soso sendiri langsung menuju rumah Pak Didi. Dan ternyata ia sudah pulang kerja.
"Gimana acara peninjauannya Koba?" tanya Pak Didi.
"Yaa begitulah Pak, baru ke daerah utara..." jawab Soso sambil duduk di sebelah Pak Didi yang sedang nongkrong di teras rumahnya.
"Terus, orang yang menemanimu bagaimana? Cocok seperti yang kau butuhkan?" tanyanya lagi.
"Cocok banget Pak, dia sangat mengerti situasi, dan sangat membantu saya!"
Pak Didi tersenyum, lalu berbisik di telinga Soso, "Cantik kan?"
Soso tertawa, "Ah bisa aja si Bapak!"
"Dia janda lho!" bisiknya lagi sambil cengengesan.
Waduh!
*****
BERSAMBUNG
Catatan:
[1] Sekolah dasar umum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H