Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (89) Belajar Tata Kota

24 Februari 2021   22:16 Diperbarui: 25 Februari 2021   21:37 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (88) "Magang" di Kantor Walikota

*****

Gaidi Lucashvili, alias Pak Didi, pegawai kantor walikota Poti yang dipercaya Tuan Nikoladze mengurus segala keperluan Soso, tinggal di selatan Kota Poti. Yang disebut luar kota saat itu adalah daerah di luar Kanal Rioni. Bagian kotanya berada dalam delta antara Sungai Rioni dan kanal itu, termasuk pelabuhan di sebelah barat dan Stasiun Poti yang berada di bagian timur laut delta itu. Bagian luar delta itulah yang sedang dikembangkan oleh Tuan Nikoladze, termasuk memilih tanah lapang di luar delta yang akan dijadikan gereja itu.

Di luar kanal, umumnya masih sepi dan jarang pemukiman. Kalaupun ada rumah, itu adalah rumah-rumah yang dibangun belum terlalu lama. Termasuk rumah Pak Didi. Pak Didi aslinya berasal dari Kutaisi, istrinya lah yang berasal dari Poti. Mereka adalah keluarga baru, anaknya baru satu, laki-laki berumur tiga tahun.

Keluarga istrinya, dulunya tinggal di pinggir pantai, sebelah utara pelabuhan Poti. Tapi kemudian karena lahannya akan dijadikan perluasan pelabuhan nantinya, walaupun saat ini belum, mereka dipindahkan ke tempatnya yang sekarang. Lahan disediakan, dan rumah dibangunkan. Dulunya Pak Didi bekerja serabutan di pelabuhan, tapi kemudian diangkat jadi pegawai di balai kota.

Meski pekerjaannya bukanlah pekerjaan penting, hanya pengurus bangunan --membersihkan lingkungan balai kota, menyediakan minuman untuk tamu-tamu yang berkunjung, dan sebagainya, pekerjaan itu dianggap sangat baik oleh keluarga istrinya. Dengan pekerjaan itu, ia kenal dan dikenal oleh orang nomor satu di Poti, ya itu, Tuan Nikoladze itu.

Tak seperti di Tiflis, di Poti, tak telalu banyak pendatang luar Georgia. Hanya segelintir saja orang Yahudi yang tinggal di sekitar pelabuhan, berdagang atau memiliki kapal. Tak banyak orang Armenia atau Azerbaijan, lebih banyak orang Turki, atau pendatang dari Abkhazia yang tak terlalu jauh dari Poti. Itupun orang Abkhazia keturunan Georgia. Bahkan pendatang dari Rusia pun tak terlalu banyak.

Hari ketiga 'magangnya,' Soso ditinggal oleh Tuan Nikoladze yang berangkat ke Istanbul untuk melihat kembali Hagia Sophia, bangunan yang akan dijadikan contoh gereja yang akan dibangunnya itu. Soso dibebaskan oleh Tuan Nikoladze, bolah datang ke balai kota ataupun tidak. Hanya saja, ia diberi tugas untuk membaca buku-buku berhuruf dan berbahasa Rusia yang berisi tentang tata kota.

"Di sini memang banyak yang bisa bahasa Rusia, tapi tak banyak yang bisa membaca hurufnya..." kata Tuan Nikoladze.

Soso hanya mengiyakan saja. Tak ada salahnya juga ia membaca buku-buku itu, mungkin saja ia akan menemukan hal yang menarik nantinya.

"Kalau kau sudah selesai membacanya, mintalah Pak Didi mencarikan kereta yang bisa mengantarmu keliling Poti, coba bandingkan antara kota-kota itu dengan Poti. Barangkali ada sesuatu yang bisa diterapkan di sini..." lanjut Tuan Nikoladze. "Anggap saja kau jadi asistenku dalam urusan tata kota!"

"Baik Tuan..." jawab Soso. Tentu saja ia senang dengan 'jabatan' itu. Toh selain memang nggak ada kerjaan, tampaknya hal itu menarik juga, siapa tahu dia memang menemukan ide yang bisa dikembangkan di Poti.

Dalam hatinya, ia sebetulnya agak-agak iri. Bagaimana ia malah ikut 'membangun' kota yang bukan kampung halamannya sendiri, melainkan kota yang bahkan keluarga pun ia tak punya di situ. Kenapa ia malah tak 'membangun' kotanya sendiri, Gori, yang menurutnya amburadul, seperti kota yang tak ada pengurus atau pemerintahnya.

Tak apalah, pikirnya, anggap saja ia sedang belajar mata pelajaran yang baru, mata pelajaran yang tak pernah, dan tidak akan didapati di sekolahnya. Selain lebih banyak ilmu-ilmu agama, dari filsafat, sejarah, sampai praktik peribadatan, ilmu lain yang dipelajarinya hanyalah ilmu-ilmu dasar, matematika, bahasa, yang ia sendiri tak tahu, apakah itu nanti akan berguna kalau ia lulus dan mencari pekerjaan. Bukannya tak suka pelajaran-pelajaran itu, tapi kurang menarik saja baginya.

*****

Buku-buku yang diberikan kepada Soso, ternyata berisi ulasan-ulasan tata kota dari kota-kota besar di Rusia. Benar-benar menarik. Sayangnya, semuanya adalah kota-kota yang memiliki pelabuhan, entah itu yang berada di tepi laut, danau, maupun sungai besar. Apapun yang menarik di situ, tak mungkin bisa diterapkan di kampungnya, di Gori, yang jauh dari laut. Tapi kalau di Poti, mungkin saja itu bisa diterapkan.

Kota pertama yang dibahas dalam buku tanpa penulis itu adalah Vladivostok. Seperti namanya, 'Menguasai Timur' kota itu benar-benar berada di bagian timur Kekaisaran Rusia, berbatasan dengan Tiongkok, dan tak jauh dari Kepulauan Jepang. Kota ini terletak di tepi Teluk Tanduk Emas yang terhubung dengan Laut Jepang.

Kalau saja Soso tak membaca buku itu, ia mungkin takkan pernah tahu adanya kota yang jaraknya hampir seperempat lingkar bumi itu.[1] Sayangnya, buku itu tak membahas sejarahnya, hanya membahas bagaimana pemerintah kota, di bawah pengawasan Tsar Alexander II, membangun kota yang saat dikuasai Tiongkok bernama Yongmingcheng itu.

Sebagai kota yang dirancang untuk perdagangan dan juga pertahanan di timur jauh Rusia, pusat kotanya dipindahkan dari wilayah tanjung (yang menjadi cikal bakal sebutan 'Tanduk Emas') ke bagian dalam. Bagian tanjungnya dibuat untuk pertahanan laut. Sementara pemukiman dibuat baru di seberangnya. Di situ dibangun pula pelabuhan untuk tujuan perdagangan.[2] Kapal-kapal besar bisa masuk, tetapi kapal-kapal musuh, bila ada, bisa dicegah.[3]

Soso membayangkan Poti. Jika dalam situasi perang, pelabuhannya akan sangat mudah ditembus dari Laut Hitam, tanpa penghalang, dan penyerbu bisa langsung masuk dan mengobrak-abrik kota. Ia lalu membuat catatan soal itu. Akan ia sampaikan nanti kepada Tuan Nikoladze.

Kota lain yang dibahas dalam buku itu adalah Khabarovkha.[4] Kota ini juga berada di timur. 'Tak jauh' dari Vladivostok. Bedanya, jika Vladivostok di tepi laut, Khabarovkha berada di tepi sungai besar, Sungai Amur.[5] Selain Sungai Amur, Sungai Ussuri juga bermuara di situ. Posisinya yang strategis membuat kota ini penting dalam hal pertahanan. Dalam hal tata kota, yang paling penting adalah bagaimana menjaga agar kota ini tidak kebanjiran.

Soso mencatat soal itu. Bagaimanapun juga, Poti menjadi muara Sungai Rioni yang cukup besar. Ia tidak tahu, apakah sungai itu sering banjir atau tidak. Apapun itu, ia perlu mencatatnya dan melaporkannya pada Tuan Nikoladze nanti.

Kota lain yang dibahas adalah St. Petersburg. Meski Soso membacanya juga, ia tak membuat catatan khusus. Ia tahu, Tuan Nikoladze pernah kuliah di sana, jadi mungkin sudah lebih mengenalnya ketimbang ia yang hanya membacanya saja dari buku itu.

Ada dua kota lain yang dibahas dalam buku itu yang menarik perhatian Soso, yakni Rostov-na-Donu dan Novorossiysk. Dua kota ini ternyata tak jauh dari Poti karena sama-sama berada di sekitar Laut Hitam.

Rostov-na-Donu berada di tepi Sungai Don yang bermuara di Laut Azov. Ia teringat cerita Jabeer si pelaut Muslim itu. Katanya, kapal tempatnya bekerja juga mampir di kota itu karena Laut Azov sendiri memang berhubungan dengan Laut Hitam.

Sementara malah lebih dekat lagi dengan Poti, dan berada di tepi Laut Hitam. Kota ini tak jauh dari Krasnodar yang lebih besar, tetapi Novorossiysk adalah kota pelabuhan yang sangat ramai, terutama dalam hal perdagangan di sekitar Laut Hitam. Soso membuat banyak catatan dari tata kota kedua kota ini, terutama dalam hal pengembangan pelabuhannya.

Selesai membaca dan membuat catatan, satu yang dirasa kurang oleh Soso. seperti yang dikatakan oleh Tuan Nikoladze, mungkin ia memang perlu berkeliling Poti untuk membandingkan dengan apa yang dibaca dan dicatatnya.

Ia lalu menghubungi Pak Didi dan menyampaikan hal itu, sesuai dengan amanat Tuan Nikoladze.

*****

Dua hari kemudian, sebuah kereta kuda menjemput Soso di rumah Pak Didi. Kereta itu akan mengantarkannya keliling Poti, seharian bila perlu. Pak Didi sendiri jelas tak bisa ikut karena memiliki tugas yang tak bisa ditinggalkan di Balai Kota Poti. Soso sudah memintanya mencarikan seseorang yang bisa menemaninya untuk diajak berdiskusi.

Taunya, kereta itu bukan hanya datang dengan kusir saja, tapi juga dengan seorang perempuan pertengahan dua puluh tahunan, mungkin antara 25-30 tahun. Perempuan itu langsung menghampiri Soso.

"Tuan Koba Djugashvili? Saya Natela Gvazava, pegawai di balai kota. Saya diminta untuk menemani Tuan meninjau kota Poti, sesuai dengan perintah Pak Walikota..." katanya.

Soso melongo. Lalu tersenyum, "Jangan terlalu formal lah Bu, panggil saja saya Koba..."

Perempuan itu tersenyum, "Saya kira bapak-bapak..." katanya. "Kalau begitu, jangan panggil saya 'Ibu' juga, panggil Natela atau Nana saja..."

"Okelah kalau begitu!" kata Soso.

Ia naik ke atas kereta dengan membawa buku dan catatan yang sudah dibuatnya.

"Ke mana dulu kita?" tanya Natela.

"Mungkin ke simpang Sungai dan Kanal Rioni dulu..." jawab Soso.

Natela menyampaikannya kepada kusir, dan kereta pun berjalan ke arah timur laut.

"Kamu arsitek?" tanya Natela ketika kereta mulai berjalan meninggalkan tempat tinggal Pak Didi.

Soso menggeleng sambil tersenyum, bisa-bisanya ia disangka sebagai arsitek. Tapi apa iya ia harus ngomong kalau dia hanyalah siswa seminari? Kalaupun ia mengatakannya, apa mungkin juga perempuan itu percaya? Bagaimana mungkin seorang siswa seminari harus mengurusi persoalan tata kota?

"Bukan lah, saya hanya diminta Tuan Nikoladze untuk membuat perbandingan antara Poti dengan kota-kota pelabuhan lain!" jawabnya jujur, meski ia memang tak menyebut soal seminari.

"Pasti proyek besar ya?"

Soso tertawa. Bisa-bisanya itu disebut sebagai 'proyek' padahal itu hanya tugas iseng, dan mungkin juga diberikan oleh Tuan Nikoladze karena tak ingin Soso bengong, sementara ia dititipkan kepadanya oleh Pangeran Ilia. Mungkin Tuan Nikoladze nggak enak juga kalau Soso malah nggak ngapa-ngapain selama di Poti.

"Kok malah tertawa?" tanya Natela lagi.

*****

BERSAMBUNG: (90) Antara Curiga dan Sanjungan

Catatan:

[1] Berjarak kurang lebih 9.500 km dari St. Petersburg, pusat Kekaisaran Rusia saat itu.

[2] Saat ini Vladvostok menjadi pelabuhan terbesar di Rusia karena letaknya yang dekat dengan Samudera Pasifik.

[3] Ini terjadi tahun 1918 saat pasukan Sekutu di bawah pimpinan AS masuk ke wilayah Rusia (Uni Sovyet) melalui kota pelabuhan ini.

[4] Sekarang disebut Kabarovsk

[5] Sungai terpanjang ke sepuluh di dunia, yang menjadi batas antara Rusia dan Tiongkok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun