Soso melongo. Lalu tersenyum, "Jangan terlalu formal lah Bu, panggil saja saya Koba..."
Perempuan itu tersenyum, "Saya kira bapak-bapak..." katanya. "Kalau begitu, jangan panggil saya 'Ibu' juga, panggil Natela atau Nana saja..."
"Okelah kalau begitu!" kata Soso.
Ia naik ke atas kereta dengan membawa buku dan catatan yang sudah dibuatnya.
"Ke mana dulu kita?" tanya Natela.
"Mungkin ke simpang Sungai dan Kanal Rioni dulu..." jawab Soso.
Natela menyampaikannya kepada kusir, dan kereta pun berjalan ke arah timur laut.
"Kamu arsitek?" tanya Natela ketika kereta mulai berjalan meninggalkan tempat tinggal Pak Didi.
Soso menggeleng sambil tersenyum, bisa-bisanya ia disangka sebagai arsitek. Tapi apa iya ia harus ngomong kalau dia hanyalah siswa seminari? Kalaupun ia mengatakannya, apa mungkin juga perempuan itu percaya? Bagaimana mungkin seorang siswa seminari harus mengurusi persoalan tata kota?
"Bukan lah, saya hanya diminta Tuan Nikoladze untuk membuat perbandingan antara Poti dengan kota-kota pelabuhan lain!" jawabnya jujur, meski ia memang tak menyebut soal seminari.
"Pasti proyek besar ya?"