"Besok lah aku ke kantor polisi..." pikir Soso. Ia pun pulang ke rumah Pak Sese untuk beristirahat.
Sayangnya, malem-malem menjelang tidur, pikirannya kembali melayang pada sosok Natasha. Ah sialan, bathin Soso. Ia jadi susah tidur!
*****
Soso bangun kesiangan. Mak Imel dan Pak Sese sudah pada berangkat kerja. Ia terpaksa harus mencari sarapan sendiri. Maka berangkatlah ia ke Bazaar Persia untuk nyari makan di sana sekalian menemui Pak Beso. Ia juga bertemu dengan si Ararat yang sekarang sudah seperti asistennya Pak Beso. Bagus juga pikir Soso, daripada anak itu menggelandang dan mencopet, kan lumayan kalau dia belajar memperbaiki sepatu atau bahkan belajar membuatnya.
Setelah sarapan dengan si Ararat, karena Pak Beso sudah sarapan duluan, Soso berbincang dengan bapaknya soal kasus di pabrik sepatu, tempat Pak Beso juga dulu pernah bekerja di situ. Lama, waktu dia masih bujangan. Artinya Soso sendiri belum lahir waktu Pak Beso kerja di situ.
"Aku nggak kenal dia..." jawab Pak Beso ketika Soso bertanya soal manajer pabrik yang sekarang, Sergei Kustov. "Dulu awal-awal, Gregori Adelkhanov, pemiliknya masih sering datang sama anak-anaknya. Mungkin karena sudah makin tua, dia menyerahkan tugasnya pada orang lain..."
"Sepatu-sepatu boots itu memang sejak awal buat tentara, Pak?"
Pak Beso mengangguk, "Seingatku dari dulu juga Adelkhanov sudah punya kontrak dengan tentara, selain menjual sepatu biasa. Semakin luas Rusia, semakin banyak pesanannya. Kabarnya dia juga buka pabrik di Baku," jawab Pak Beso. "Bagus juga sih, dari situ aku bisa belajar bikin sepatu boots, termasuk punyamu itu. Beda di bahan sama motif saja..."
"Sepatu kayak gitu boleh dijual ke umum nggak Pak?"
"Boleh saja kalau mampu belinya..." jawab Pak Beso, "Tapi masyarakat biasa kan males pake sepatu begitu, repot dan nggak nyaman. Kalau buat tentara sih enak-enak aja. Atau para penunggang kuda jarak jauh..."
Soso bercerita soal info dari si Petros, kalau sepatu kayak gitu dihargai mahal di kota Sharur.