Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (75) Penyelidikan Kasus Sepatu
*****
Menarik juga info dari si Petros itu, bahwa Sergei Kustov, manajer pabrik itu diduga terlibat pencurian sepatu, atau lebih tepatnya mungkin penggelapan. Ia yang mencurinya, membawanya ke luar, menjualnya ke luar sana, dan anak-anak itu yang dituduh mencurinya.
Soso merasa harus menyelidikinya lebih lanjut. Ia bertekad untuk menemui teman-temannya yang ditahan di kantor polisi. Ia tahu, anak-anak itu pasti masih berada di sana. Pencurian kecil seperti itu seringkali tak pernah berakhir di pengadilan. Ada yang menebus --seperti yang ia lakukan pada bapaknya dulu---ya dikeluarkan. Tak ada, ya paling sampai polisi di sana bosan lalu mengeluarkannya karena makan biaya.
Hanya kasus-kasus kelas berat saja yang biasanya sampai diadili, perampokan yang menyebabkan kerugian sangat besar, perampokan yang berujung kematian, atau kasus pembunuhan. Apalagi, kalau yang menjadi korban adalah para pembesar atau orang Rusia --juga Jerman---dan pelakunya pribumi atau pendatang Armenia, Azerbaijan, Turki, Tatar, atau Yahudi.
Makanya, kasus kriminal jalanan tak pernah habis. Karena memang tak pernah benar-benar dihabisi. Polisi pangkat atas --yang kebanyakan orang Rusia-- sibuk berpolitik atau mencari bisnis tambahan, sementara polisi pangkat rendahan, orang-orang pribumi, seringkali tak punya gigi, atau mungkin terlalu malas mengurusi pencuri kelas teri yang tak lain sesamanya sendiri, atau bahkan keluarganya.
Konon, Tiflis adalah kota paling tinggi tingkat kriminalitasnya di seluruh wilayah kaukasus, terutama kriminalitas jalanannya. Tapi anehnya, Soso tak merasa seperti itu. Rasanya aman-aman saja. Atau mungkin karena dia bukan jenis orang yang dijadikan target para pencoleng apalagi penyamun. Apa pula yang mau dicuri darinya, uang beberapa kopeck, paling banyak dua-tiga rubel kalau keluar.
Korban-korban para kinto --bandit jalanan---umumnya bukan pribumi, tapi para pedagang, atau orang-orang kaya, terutama orang Rusia atau Jerman. Banyak kisah geng-geng kriminal di Tiflis. Misalnya, Soso pernah mendengar nama Komplotan si Buntung, perampok yang dipimpin seorang lelaki bertangan buntung, Roman Patasinidze. Komplotan itu tak segan membunuh korbannya. Tapi ya itu, bukan pribumi incarannya. Mereka spesialis mengincar rombongan pedagang yang membawa barang berharga atau uang dalam jumlah yang besar.
Tapi kelompok itu sudah lama tak terdengar lagi. Terutama sejak tentara Tsar dan Cossack sering diperbantukan untuk pengawalan rombongan yang membawa barang berharga. Ada juga yang menyebutkan karena Si Buntung sudah meninggal, dan kelompoknya bubar.
Kalau kelompok kinto kere, ya bangsanya si Ararat itu. Anak-anak gelandangan yang tak punya tempat tinggal, tak punya pekerjaan, dan mencuri hanya untuk makan atau sedikit bersenang-senang jika ada lebihnya. Model kinto seperti itulah yang paling sering bolak-balik ke kantor polisi, sehari-dua hari ditahan, dilepaskan, dan berulah lagi.
"Besok lah aku ke kantor polisi..." pikir Soso. Ia pun pulang ke rumah Pak Sese untuk beristirahat.
Sayangnya, malem-malem menjelang tidur, pikirannya kembali melayang pada sosok Natasha. Ah sialan, bathin Soso. Ia jadi susah tidur!
*****
Soso bangun kesiangan. Mak Imel dan Pak Sese sudah pada berangkat kerja. Ia terpaksa harus mencari sarapan sendiri. Maka berangkatlah ia ke Bazaar Persia untuk nyari makan di sana sekalian menemui Pak Beso. Ia juga bertemu dengan si Ararat yang sekarang sudah seperti asistennya Pak Beso. Bagus juga pikir Soso, daripada anak itu menggelandang dan mencopet, kan lumayan kalau dia belajar memperbaiki sepatu atau bahkan belajar membuatnya.
Setelah sarapan dengan si Ararat, karena Pak Beso sudah sarapan duluan, Soso berbincang dengan bapaknya soal kasus di pabrik sepatu, tempat Pak Beso juga dulu pernah bekerja di situ. Lama, waktu dia masih bujangan. Artinya Soso sendiri belum lahir waktu Pak Beso kerja di situ.
"Aku nggak kenal dia..." jawab Pak Beso ketika Soso bertanya soal manajer pabrik yang sekarang, Sergei Kustov. "Dulu awal-awal, Gregori Adelkhanov, pemiliknya masih sering datang sama anak-anaknya. Mungkin karena sudah makin tua, dia menyerahkan tugasnya pada orang lain..."
"Sepatu-sepatu boots itu memang sejak awal buat tentara, Pak?"
Pak Beso mengangguk, "Seingatku dari dulu juga Adelkhanov sudah punya kontrak dengan tentara, selain menjual sepatu biasa. Semakin luas Rusia, semakin banyak pesanannya. Kabarnya dia juga buka pabrik di Baku," jawab Pak Beso. "Bagus juga sih, dari situ aku bisa belajar bikin sepatu boots, termasuk punyamu itu. Beda di bahan sama motif saja..."
"Sepatu kayak gitu boleh dijual ke umum nggak Pak?"
"Boleh saja kalau mampu belinya..." jawab Pak Beso, "Tapi masyarakat biasa kan males pake sepatu begitu, repot dan nggak nyaman. Kalau buat tentara sih enak-enak aja. Atau para penunggang kuda jarak jauh..."
Soso bercerita soal info dari si Petros, kalau sepatu kayak gitu dihargai mahal di kota Sharur.
"Sharur? Itu kan titik ketemu bandit, pejuang, pemberontak, segala macam lah..." kata Pak Beso. "Wajar saja kalau di sana mahal, orang-orang kayak gitu kan butuh sepatu yang kuat..."
"Apa istimewanya kota itu Pak?" tanya Soso penasaran, nampaknya Pak Beso mengetahui sesuatu tentang kota itu.
"Itu sekarang titik temu tiga kekaisaran, Rusia, Otoman, dan Persia..." kata Pak Beso. "Kalau kau pemberontak Rusia, kau bisa mudah melarikan diri ke Otoman atau Persia, begitupun dengan yang lain. Jadi bukan hanya sepatu di sana yang laku, senjata juga laku. Kau mau nyari pedang yang bagus, atau senjata api, juga banyak yang jual..."
"Jauh Pak?"
Pak Beso mengangguk, "Kata orang sih seperti jarak Tiflis ke Poti, tapi arahnya ke selatan. Nggak tau juga persisnya, aku belum pernah ke sana kok!"
"Kalau menjual sepatu boots sebanyak, katakanlah dua puluh peti ke sana, menguntungkan nggak?"
"Satu peti kan empat puluh pasang, ya lumayan lah...." jawab Pak Beso. "Ngapain sih kamu ikut campur masalah di pabrik itu?" tanya Pak Beso.
"Nggak apa-apa Pak, saya nggak peduli soal sepatu itu. Saya hanya kasihan sama temen-temen saya..." jawab Soso.
"Terserah kamu lah, tapi hati-hati saja berurusan dengan orang Rusia seperti itu. bisa-bisa kamu sendiri yang celaka!" kata Pak Beso.
Soso mengangguk, ia kemudian pamitan hendak menemui teman-temannya di kantor polisi Tiflis.
*****
Anak-anak itu, Vati, Vateli, Kahka, dan Ogur tampak kaget dikunjungi oleh Soso. Beberapa anak lain, termasuk anak-anak Armenia, juga masih ada yang mengenalinya.
"Ngapain kamu ke sini So? Darimana kamu tahu kita di sini?" tanya si Ogur.
"Pas malam itu, aku ada di rumah Pak Sese, terus sama-sama ke pabrik..." jawab Soso. Soso mau bertanya banyak hal pada anak-anak itu, tapi seorang polisi mengawasinya. Polisi yang dulu dihadapinya saat mengeluarkan Pak Beso.
Soso mendekatinya dulu, ia mengeluarkan uang sepuluh kopeck. "Beri saya waktu ngobrol dengan teman-teman saya Pak..." katanya.
Polisi itu mengantongi duit yang disodorkan Soso dengan segera. "Setengah jam!" katanya.
Soso mengangguk. Setelah polisi itu pergi, Soso kembali mendekati teman-temannya yang dikumpulkan dalam satu sel, ada beberapa anak lagi di sel lainnya yang bersebelahan.
"Kalian beneran mencuri sepatu-sepatu itu?" tanya Soso dengan suara pelan.
"Kita memang ikut mengangkut peti-peti itu," jawab si Vati, "Tapi kita nggak mencurinya. Disuruh oleh Pak Tamar Ohanian. Katanya disuruh ngangkutin peti itu ke kereta, disuruh oleh Sergei Kustov. Ya sudah, kita tadinya mau main, karena disuruh dan ada honornya, ya kita bantuin lah..."
"Siapa lagi yang menyuruh atau yang ada di pabrik waktu itu?" tanya Soso.
"Cuma dia, sama penjaga pabrik dua orang..." jawab si Vati lagi. "Ya itu, kita sih nyantai aja, Pak Tamar itu kan memang ngurusi kalau ada pengiriman. Dan ada penjaga juga yang melihat, jadi ya kuanggap itu tak masalah. Tau-tau kita ditangkap, dituduh mencuri, dan disuruh ngaku kemana sepatu-sepatu itu dibawa!"
"Kalian ada yang tahu, kemana barang itu dibawa?"
Anak-anak itu menggeleng. "Pokoknya kita cuma naikin ke kereta. Habis itu ya sudah, terima upah, kita jalan-jalan!" jawab si Kahka.
"Kita sudah ngomong soal Pak Tamar itu, tapi polisi nggak percaya. Malah katanya dua penjaga itu bersaksi. Kan aneh? Kalau mereka bersaksi, dan kita memang mencuri, kenapa mereka nggak menangkap kita waktu itu!" kata si Ogur.
"Ya sudah..." kata Soso.
"So, bantuin kita lah. Kita mau keluar, mau kerja... kasian orang tua kita!" kata si Ogur lagi.
"Aku sedang berusaha membantu kalian. Ada teman kalian yang akan membantu. Si Petros Gulbenkian..." jawab Soso.
"Petros beruntung nggak ikut, dia pulang..." kata seorang anak yang Soso nggak kenal. "Tapi dia malah enak, nggak ikut ditangkap..."
"Aku tahu..." jawab Soso. "Malem itu aku juga nyari kalian, ke Bazaar Armenia, ke Golovinsky, bahkan sampai ke Narikala, ditemenin sama si Petros itu. Kalian pada kemana sih waktu itu?"
Vati melirik si Ogur, "Kita diajak minum sama Pak Tamar itu di Bazaar Persia..." jawab si Ogur. "Ya karena gratis, kita sih minum aja, meski semuanya juga cuma nyoba-nyoba aja. Habis itu, kita jadi pada mabok. Malemnya ditangkap polisi!"
"Pak Tamar itu?"
"Udah nggak ada waktu kita ditangkap!" jawab si Ogur.
"Iya, minuman aja ternyata belum dibayar..." kata anak yang tak dikenal Soso tadi, kayaknya sih anak Armenia. "Duit kita, yang upah ngangkut itu, diambil buat bayar minuman!"
"Oke, aku mengerti sekarang..." kata Soso. "Aku pamit dulu. Tapi aku janji akan membantu kalian!"
"Iya So, tolong kita ya..." kata si Ogur.
Soso mengangguk, lalu pamitan pada teman-temannya itu.
*****
BERSAMBUNG: (77) Bergerak dan Menunggu
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI