Episode Awal:Â (1) Soso
Episode Sebelumnya: (42) Iblis
*****
Puisi Soso, Si Tua Ninika, dimuat ulang di Kvali. Tentu saja si Lado yang memberitahunya, saat Soso dan Seva mengunjungi rumahnya lagi. Soso tak berlangganan suratkabar mingguan underbow dari Mesame Dasi itu. Suratkabar yang dikelola Noe Zhordania, anak bangsawan seumuran Soso yang menurutnya belagu minta ampun itu.
Mungkin benar omongannya tempo hari di toko bukunya Gege Imedashvili kalau Soso masih harus banyak belajar. Tapi merendahkannya sebagai seorang siswa seminari yang tak tahu apa-apa itu sangat menyinggungnya.
Apalagi, di edisi yang sama, ia menemukan opini yang ditulis oleh Noe Zhordania, judulnya "Pentingnya Politik bagi Gerakan Buruh." Menurutnya, tulisan si Nunu itu tidak menyentuh akar persoalan yang dialami buruh. Bahkan ia tidak melihat adanya empati untuk kaum buruh dalam tulisannya itu. Hanya berkutat dengan ide bahwa buruh harus berpolitik. Itu saja.
"Apa yang dia tahu tentang penderitaan rakyat kecil? Penderitaannya hanyalah kehilangan hak kebangsawanannya dan kemudian mencoba berganti nasib dengan menjadi pendeta, memberontak di Seminari lalu dikeluarkan. Setelah itu mencoba mengompori kaum buruh yang tidak pernah dia alami sendiri bagaimana menderita versi buruh yang sesungguhnya!" kata Soso, pada si Lado.
Lado diam, mungkin sedikit tersindir, karena ia juga bagian dari gerakan si Silva dan Nunu, tanpa pernah mengalami menjadi buruh seperti yang dikatakan, bahkan dialami sendiri oleh Soso.
"Mengarahkan buruh untuk berpolitik itu bukan solusi untuk memperbaiki nasib mereka!" kata Soso sambil meletakkan Kvali yang memuat puisinya di depan si Lado. "Kau pikir buruh akan sejahtera kalau mereka kemudian beralih ke politik?" tanyanya.
"Tapi nasib buruh tidak akan berubah tanpa ada dukungan, atau keputusan politik!" kata si Lado.
"Ya, tapi bukan berarti semua buruh harus berpolitik!" kata Soso lagi. "Kalau semua buruh berpolitik, siapa yang akan memberi mereka makan? Siapa yang akan memberi makan buat anak dan istri mereka?"
Lado diam. Si Seva apalagi, dari tadi dia cuma numpang ngopi dan mengisap tembakau alias ngudud.
"Semua orang harus bergerak dengan perannya masing-masing, bukan bergerak dengan peran yang sama!" kata Soso lagi. "Kau bayangkan sebuah rumah yang semua orangnya mencari uang. Terus siapa yang membersihkan rumah? Siapa yang menyediakan sarapan? Menyiapkan pakaian? Mengurusi anak yang belum bisa mencari uang?"
"Katakanlah target pertama kita adalah melepaskan diri dari Rusia..." lanjut Soso. "Tidak semua orang harus menjadi tentara. Karena tentara butuh makanan, pakaian, senjata, hiburan, dan sebagainya. Harus tetap ada orang yang menjadi petani, harus ada orang yang membuat pakaian, harus ada orang yang membuat sepatu, yang membuat senjata, yang menyanyi untuk menghibur mereka, yang menjadi pendeta untuk menenangkan jiwa mereka. Tapi semua pekerjaan itu diarahkan untuk tujuan bersama, bukan tujuan sendiri-sendiri, apalagi kalau hanya untuk tujuan mencari selamat!"
"Tapi itu berarti harus ada yang mengarahkan, dan itu tugas politisi!" kata si Lado.
"Ya. Menumbuhkan kesadaran politik tidak sama dengan menyuruh semua orang menjadi politisi..." jawab Soso. "Kalau hanya berpolitik tapi mengikuti sistem politik yang ada sekarang, percuma. Selama mata, telinga, kaki, dan tangan Tsar masih kuat dan berakar sampai ke sini."
"Kalau kau mau berpolitik dengan membuat partai politik sendiri di sini, itu hanya akan jadi lelucon. Partai politik di sini hanya politik di bawah sloki yang dibalik!" kata Soso lagi.
"Terus solusinya apa?" tanya si Lado.
"Merdeka!" jawab Soso.
"Berat..." kata si Lado.
"Kalau begitu, ikuti sistem politik mereka. Naiklah setinggi-tingginya, dekati St. Petersburg...." jawab Soso.
"Percuma kan, masih ada Tsar!" kata si Lado lagi.
"Percuma juga kalau kau sendiri yang berpikir menggulingkan Tsar..." timpal Soso. "Kau lihat sendiri kan, berapa banyak orang-orang Rusia yang juga berpikiran sama? Berpikir dan mencoba menggulingkan Tsar. Makanya, ikuti mereka dulu. Bekerjasama. Gulingkan dulu Tsar. Baru setelah itu kau berpikir tentang Georgia..."
"Berat..." kata si Lado lagi.
"Lebih berat mana dengan berusaha memerdekakan diri?" tanya Soso. "Bergerak untuk memerdekakan diri saat ini, sama artinya dengan melawan Rusia, seluruh Rusia. Dari Kekaisaran yang disokong pasukan dan dana, sampai orang-orang yang sebetulnya memiliki potensi untuk dijadikan sekutu!"
 "Coba kautuliskan gagasanmu itu So..." kata si Lado setelah sekian lama terdiam. "Nanti kuantarkan ke Kvali..."
"Aku pesimis si Nunu akan memuatnya..." kata Soso. "Tapi okelah, akan kucoba..."
"Tapi bagaimana dengan gerakan buruh yang kugarap saat ini?" tanya si Lado kemudian.
"Lanjutkan!" jawab Soso. "Itu jangka pendek..."
"Terus, apa sebaiknya aku keluar dari partai dan berkonsentrasi dengan gerakan buruh saja?" tanya Lado lagi.
"Jangan dulu lah, kau tetap saja di situ, siapa tau masih ada gunanya!" jawab Soso.
Lado tertawa, "Iya sih. Kalau aku keluar, aku bisa kehilangan banyak fasilitas. Termasuk rumah ini, berikut buku-buku, dan pasokan tembakau!"
"Jadi rumah ini dibiayai partaimu, Do?" tanya Seva.
Lado nyengir. "Kau kira aku dapat duit dari mana, ngepet?"
Seva tertawa, "Ya sudah, jangan keluar lah Do. Sayang. Kalau kau keluar, dimana lagi kita bisa ngopi dan ngudud gratis!"
Soso mesem, "Ngomong-ngomong, darimana partai mendapatkan dana?" tanyanya pada Lado.
"Si Nunu masih punya cukup pengaruh untuk meminta, atau mungkin memaksa, keluarga bangsawan lain untuk menyisihkan hartanya..." jawab si Lado.
"Jangan-jangan ada tawar-menawar untuk imbal baliknya lagi nanti..." kata Soso.
"Nah itu yang aku nggak tahu!" jawab si Lado.
"Percuma dong, kalau pada akhirnya kita hanya berjuang untuk mengembalikan para bangsawan itu kembali ke posisinya!" kata Soso.
"Sudah, ngopi dulu lah..." kata si Lado kemudian, "Jangan lupa, kau tulis gagasanmu itu, nanti kubawa ke Kvali!"
*****
Ternyata, menuliskan gagasan tidak semudah menyampaikannya secara lisan. Soso baru merasakannya sekarang, saat diminta si Lado untuk 'menjawab' opini Noe Zhordania di Kvali. Apalagi harus menulis di asrama. Situasinya bener-bener tak mendukung. Belum juga tertuang gagasannya dalam bentuk tulisan, ia sudah harus meninggalkannya untuk urusan sekolah. Menulis malam juga tak memungkinkan, apalagi sejak kebijakan mati lampu setelah jam sepuluh juga diberlakukan di Kamar Terkutuk.
Malam itu, sebetulnya bukan jatah Soso untuk rembes. Ia minta si Talak untuk menyerahkan jatahnya. Anak-anak lain keberatan, alasannya, mengganggu jadwal. "Malam ini teman-teman, aku bener-bener perlu..." kata Soso, "Sebagai gantinya, nanti kubawakan cangklong dan tembakaunya. Bila perlu dengan kopi...."
Anak-anak saling melirik. "Ya sudah.." kata si Armas yang secara tidak langsung menjadi tetua di Kamar Terkutuk, karena dia paling senior. "Tapi ingat, anak-anak di sini juga punya hak untuk rembes. Semua punya urusan masing-masing!"
Soso mengangguk. Setelah diizinkan teman-temannya dengan iming-iming, malam itu juga Soso kabur dari asrama. Tujuannya adalah rumah si Lado. Di sana ia yakin akan lebih tenang untuk menulis, selain ada pasokan tembakau dan juga dekat untuk mendapatkan kopi. Ia juga terpaksa harus menyewa kereta kuda agar cepat sampai ke sana.
Tapi sampai subuh, Soso tak berhasil juga menyelesaikan tulisannya. Terlalu banyak gagasan yang ingin ia sampaikan, sementara si Lado sudah memberitahunya tentang batasan panjang tulisan yang diizinkan Kvali.
Persoalan yang membuat Soso kesulitan lainnya adalah, ia masih bingung antara harus menuliskan gagasan besar atau menyampaikan gagasan-gagasan praktis. Soal gagasan besar, ia sudah merasa punya cukup bahan di kepalanya, dari hasil perenungan dan bacaan-bacaannya. Tapi itu terlalu luas.
Sementara, kalau ia mau menuliskan gagasan-gagasan praktis, ia terhambat dengan pengetahuannya sendiri yang masih kurang. Misalnya saja, gagasan phalanstery atau obschina saja dia belum paham betul. Dulu ia hampir melanjutkan diskusinya dengan Gege Imedashvili, tapi batal gara-gara keburu bertemu dengan si Lado cs. Sampai sekarang, ia belum melanjutkan diskusinya dengan Gege itu.
"Aku balik ke asrama dulu, Do..." kata Soso setelah berhasil membangunkan si Lado.
"Tulisanmu sudah selesai?" tanyanya.
Soso menggeleng, "Nanti kuteruskan jam istirahat!" katanya.
"Simpan saja tulisanmu itu di sini, nanti kubaca-baca..."
Soso mengangguk, lalu meninggalkan si Lado yang meneruskan tidurnya. Kepalanya sendiri masih terasa pening, ia tak tidur sama sekali. Padahal, sebentar lagi ia sudah harus mulai mengikuti kegiatan di sekolah.
*****
Soso berhasil bertahan mengikuti kegiatan di Seminari sampai waktu istirahat, jam tiga sore. Badannya bener-bener terasa nggak enak. Tapi ia bertekad ingin menyelesaikan tulisannya. Makanya ia segera kembali ke tempatnya si Lado. Kali ini, bukan hanya Seva yang ikut, si Peta juga mau bergabung. Ia tahu tujuan dua temannya itu, hanya ingin nebeng ngopi dan ngudud. Tapi biar saja, bagus kalau ada teman ke sana, supaya bisa menjaga kalau tubuhnya ngedrop.
Dan bener saja, sampai di tempatnya si Lado. Soso sama sekali nggak bisa berpikir. Kepalanya sangat berat. Matanya lebih lagi. Ketika si Lado mulai membahas tulisannya yang belum selesai itu, ia tak lagi bisa menahan kantuknya. Ia tertidur. Tulisan itu belum jadi juga.
Kalau saja tadi nggak pergi bareng si Peta dan Seva, mungkin ia akan kebablasan tidur di tempat si Lado. Gawat betul kalau sampai tak kembali ke sekolah.
Malam harinya, Soso tak bisa melanjutkan tulisannya. Nggak mungkin dia mengambil jatah rembesnya anak-anak yang lain seperti semalam. Lagipula, kepalanya masih terasa berat. Kalaupun ia bisa dan diizinkan rembes oleh teman-temannya. Ia tak yakin sesampainya di tempat si Lado ia akan bisa melanjutkannya. Paling cuma pindah tidur saja.
Akhirnya, ia memutuskan untuk beristirahat. "Nanti kalau badanku sudah segar, mungkin pikiranku juga akan lebih segar!" pikirnya.
*****
BERSAMBUNG: (44) Janji
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H