"Minum dulu kopimu," kata si Lado, "Biar kau tahu nikmat dunia, tak hanya memikirkan kenikmatan surga yang masih jauh!" lanjutnya sambil tertawa.
Soso mengangkat cangkirnya. Hidungnya menangkap aroma yang berbeda. Ia tak bisa menjelaskan, tapi aroma itu begitu menggoda. Ia menyeruputnya. Pahit. Apanya yang bisa dinikmati dari minuman itu selain aromanya?
"Berikan cangklongmu!" kata si Lado pada Silva. Silva menyerahkannya, lalu Lado memberikannya pada Soso. "Nih, cobain pasangannya! Minum kopinya, lalu isap..."
Soso mengikuti saran si Lado, menyeruput kopinya, lalu mengisap cangklong. Dulu waktu masih kecil, ia pernah mencobanya bersama teman-temannya. Rasanya aneh, membuat tenggorokannya gatal dan batuk kering. Tapi kali ini terasa berbeda. Ia tidak bisa menjelaskannya, tapi bisa merasakan perbedaannya.
"Gimana?" tanya si Lado.
Soso nyengir, "Lumayan..." jawabnya.
Lado, Silva, bahkan si Noe yang biasanya jaim dan sok wibawa, kini tertawa.
"Itulah kenapa seminari melarangnya!" kata si Silva lagi sambil tertawa, "Mereka sengaja membuat kalian buta tentang kenikmatan dunia!"
Soso hanya tersenyum. Anak-anak itu, ketiganya, pernah menjadi bagian dari Seminari Tiflis, meski kemudian dikeluarkan, seperti cerita si Lado dulu. Jadi pastilah mereka tahu betul seluk-beluk asrama. Soso menyeruput lagi kopinya dan mengisap lagi cangklong. Ia mulai bisa menikmatinya. Tapi si Silva keburu mengambil alih cangklongnya lagi.
"Kau beli sendiri cangklongnya, banyak di Bazaar Persia, murah-murah..." kata si Silva, "Tapi tembakaunya masih mahal."
"Aku baca puisimu di Iveria..." kali ini Noe yang ngomong pada Soso. "Yang judulnya Pagi itu terlalu menjilat. Tapi yang terakhir, apa itu judulnya, Ninika? Itu aku suka. Kalau kau tak keberatan, akan kumuat di Kvali...."