Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (34) Jembatan Kehidupan

30 Desember 2020   10:25 Diperbarui: 31 Desember 2020   08:17 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP by Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (33) Apa yang Harus Dilakukan?

*****

Bukan salah si Said kalau Soso jadi bingung mau ngapain di Rustavi. Said nggak ngajak dia. Dia yang ingin ikut. Ketika penyakitnya kambuh dan si Said harus mengurung dirinya di dalam rumah sambil membaca buku yang dibawanya. Soso harus mencari kegiatan sendiri untuk menghibur diri. Ia sudah berpikir, jika dalam dua atau tiga hari ke depan tak ada perubahan suasana, ia akan meninggalkan Rustavi. Mungkin balik ke Tiflis tapi nggak mudik ke Gori. Ia masih agak trauma balik ke kampungnya itu. Setidaknya, di Tiflis ia masih punya tempat, kamar ada, hiburan banyak, tinggal mampir ke tempatnya Pak Yedid, mampir ke Iveria ngobrol dengan Pangeran Ilia, atau yang lainnya. Entahlah, apakah ia akan menemui Irena atau tidak. Ia lagi agak-agak trauma soal cewek gara-gara si Bonia dan Natasha. Walaupun, hati kecilnya sangat ingin bertemu dengan Natasha. Kepikiran juga untuk pergi ke Batumi menemuinya. Tapi untuk apa? Tau-tau di sana ada suaminya kan gawat juga. Mana suaminya juga bukan orang sembarangan lagi.

Saat bapaknya Said berangkat kerja, Soso kembali menumpang ke kota Rustavi. Jalan-jalan di sana mungkin akan sedikit menarik ketimbang ngejogrok di rumah si Said yang lagi kambuh dan lebih asyik dengan bukunya. Kali ini Soso tidak turun di Benteng Rustavi, tapi ikut sampai ke depan pabrik tempat bekerjanya Kalid Devdariani, bapaknya. Pabriknya sangat besar. Di bagian depannya tertulis dengan huruf Rusia 'Rustavi Stali.' Menjelang jam kerja, ratusan atau jangan-jangan ribuan orang berbondong-bondong menuju kawasan itu, sebuah pusat industri baja terbesar di wilayah Georgia, bahkan Kaukasus saat itu. Tak jauh dari bangunan utama pabrik, ada jalur kereta khusus dengan gerbong-gerbong yang akan dipakai mengangkut baja yang dihasilkan pabrik itu. Jalur khusus itu terhubung dengan Stasiun Rustavi dimana baja akan dikirim ke berbagai pelosok, dari ujung barat Georgia di Batumi, sampai ke Baku, Azerbaijan.

Manusia-manusia baja itu seolah menjadi titik awal gerakan industri yang lebih besar, yang mengubah tatanan hidup banyak orang. Dari Rustavi itu, segala kebutuhan industri dipasok, terutama untuk bangunan dan mesin-mesin, juga jalur-jalur rel kereta api yang semakin menjamur. Selain baja, Rustavi juga menjadi salah satu pusat industri semen selain Poti dan Kaspi. Sebuah pabrik semen juga berdiri di bagian tenggara pabrik baja itu. Semen yang dihasilkan di Rustavi memasok bagian timur wilayah Georgia, sementara untuk wilayah barat disuplai dari Poti.

Rustavi, kota kecil yang juga berada dalam jalur aliran Sungai Kura seperti halnya Gori dan Tiflis juga diapit oleh pegunungan karst yang jadi bahan baku semen. Kota itu seperti sebuah pertemuan dua era. Di dekat tebing-tebing karst berdiri pabrik-pabrik yang memasok kebutuhan industri. Ke selatan sedikit, ada dataran rendah yang rata yang masih digunakan penduduk untuk berladang, gandum dan jagung. Pengairannya bagus karena ada sungai kecil yang menghubungkan Sungai Kura dengan sebuah danau kecil, Danau Jandara.[1] Dari sungai itu, dibangun kanal-kanal irigasi. Orang menyebutnya sebagai Kanal Mariini. Jika Gori masih terjebak di era pertanian tanpa sokongan industri, Tiflis sudah bergerak menjadi kota industri dan meninggalkan era pertanian, Rustavi mempertemukan keduanya.

Soso naik ke perbukitan, memandang kota kecil itu dari ketinggian. Di kaki bukit seberang sana, manusia-manusia baja dan manusia-manusia beton menggerakkan roda-roda zaman sehingga berputar lebih cepat. Di sebelah selatan, para petani menopang pergerakan itu dengan bahan bakar yang takkan tergantikan; makanan. Ia merenungi dirinya sendiri. Di tengah zaman yang berubah itu, ia menemukan dirinya hanya menjadi penonton, bukan bagian dari 'pertempuran' itu. "Kalau aku menjadi pendeta, apa sumbanganku bagi dunia?"

*****

Soso kembali ke rumah Said menjelang siang. Ia memutuskan akan kembali ke Tiflis. Mungkin besok. Saat kembali, Said tampaknya sudah lebih sehat. Ia mengajaknya makan siang sambil menikmati pemandangan di belakang rumahnya; hamparan ladang penduduk. Sementara Soso bercerita tentang perenungannya di Rustavi tadi.

Said tertawa mendengar penuturan Soso. "Sekolah kita pada akhirnya hanya menjadikan kita sebagai seorang nihilis, melihat kehidupan dunia tanpa tujuan. Bedanya, nihilis mengabaikan semuanya, termasuk keberadaan Tuhan. Sementara kita mengabaikan kehidupan dunia dan hanya berpikir tentang Tuhan. Jadi kubilang, dalam soal kehidupan, kita memang nihilis, hanya menjadikan kehidupan sebagai jembatan yang akan mengantarkan kita menemui Tuhan. Padahal, jembatan itu harus dibangun. Kehidupan itu yang membangunnya. Kita, para agamawan dan calon-calon penerusnya dengan seenaknya menggunakan jembatan itu tanpa ikut membangunnya...."

Soso terpaku dengan omongan Said. "Bukankah kita harus berbagi peran?"

"Berbagi peran dalam pekerjaan membangun jembatan itu, mengolah kehidupan. Menjadi petani, nelayan, buruh, apapun yang menjadi bahan baku jembatan itu. Kita bukan bagian dari itu..." jawab Said.

"Apa bedanya kita dengan politisi, tentara dan polisi, penyair? Bukankah mereka juga tidak mengambil bagian dalam pembangunan jembatan itu?"

"Politisi itu mandor, mengatur jalannya pembangunan. Polisi dan tentara itu menjaga ketertiban agar masing-masing orang mengerjakan bagiannya dan tidak saling mengganggu. Penyair dan para seniman memberi suntikan semangat saat orang mulai lelah bekerja. Sementara kita dididik untuk berperan apa?"

"Penjaga moral..." jawab Soso.

Said tertawa. "Untuk apa? Kalau semua orang menjalankan perannya, kita tidak diperlukan. Kerjakan saja jembatan itu, dan kita akan bertemu dengan Tuhan!"

Soso diam.

"Itulah yang kubilang tadi. Kita dididik untuk menjadi orang yang tidak berperan dalam membangun jembatan itu. Kita menjadi kaum elit yang berpikir akan menjadi rombongan pertama yang ditemui Tuhan. Padahal, Tuhan akan bertanya, apa sumbanganmu hingga bisa sampai di sini. Kita mau jawab apa?"

Soso masih diam, mencoba mencerna kata-kata temannya itu. Menarik baginya, karena selama ini ia tidak pernah berdiskusi sampai ke situ dengan siapapun. Diskusi dengan Pangeran Ilia, Lado, dan lainnya hanya bicara tentang 'jembatan' yang dikatakan si Said itu. Sementara berdiskusi dengan Romo Subutov dan guru-guru lain di sekolah, hanya bicara tentang ujung jembatan dan tempat di seberang jembatan itu. Soso pernah bertanya soal itu pada Romo Subutov, tapi jawabannya sama dengan omongan si Said tentang kaum agamawan yang merasa ekslusif, dekat dengan Tuhan, tapi tidak memiliki andil nyata. "Jadi solusinya apa?" tanya Soso, sebuah pertanyaan yang sebetulnya ia tidak sukai, sama ketika ia ditanya soal 'solusi menghilangkan kelas' dalam diskusi buku Kapital di tempatnya si Lado dulu.

"Ngapain nanya solusi?" tanya Said. Persis seperti dugaan Soso. "Kau mau solusi? Gampang. Semua orang bisa memberikan solusi. Di sini pertanian kurang air, solusinya gampang kan, datangkan air. Caranya? Bikin bendungan dan alirkan airnya. Itu solusi. Persoalannya adalah bagaimana membangun bendungan itu. Politisi merancang kebijakannya, insinyur merancangnya, buruh pabrik menyediakan bahannya, petani menyediakan makanannya, buruh kasar membangunnya, polisi menjaganya, seniman menghiburnya. Agamawan?"

Soso jengkel dengan 'kebenaran' omongan si Said itu. "Jadi apa rencanamu untuk dirimu sendiri?"

"Aku mulai berpikir mengambil peran dalam membangun jembatan itu..." jawab Said. "Hanya saja aku tak tahu apa peran yang akan kuambil. Kesehatanku buruk. Tak bisa aku bekerja seperti bapakku. Bertani tak punya lahan lagi. Menghibur tak punya bakat. Menjadi polisi tak cukup kuat..."

"Menjadi politisi?" tanya Soso.

"Itu yang mungkin..." jawabnya.

"Kenapa tidak keluar saja dari sekarang?" tanya Soso.

Said tertawa. "Aku masih perlu waktu untuk menjadikan diriku tidak menjadi nihilis atau atheis terlebih dahulu...." jawabnya. "Mungkin satu atau dua tahun ke depan..."

"Kasian bapakmu Id, dia berharap kamu jadi pendeta, jadi nasibnya tak seperti dirinya yang harus banting tulang..." kata Soso.

"Itu impian orang tua manapun, mungkin juga impian orang tuamu, menjadikan kehidupan anaknya lebih baik dari mereka. Wajar saja. Tapi aku nggak mau jadi bagian kelompok elit di dunia dan gelagapan nanti ketika ditanya jasaku dalam kehidupan..." jawabnya. "Tapi itu butuh waktu. Aku harus yakin ketika aku berhenti sekolah, aku jadi apa..."

"Kalau kamu jadi politisi, apa yang kau pikirkan tentang kampung halamanmu ini? Melepaskan diri dari Rusia dan membentuk pemerintahan sendiri?"

"Aku tidak melihat pentingnya membagi-bagi dunia ini dalam negara..." jawab Said. "Kita hanya butuh satu jembatan untuk menemui Tuhan, jadi buat apa membangun banyak jembatan kalau pada akhirnya hanya membuat manusia berkelahi untuk saling memperebutkan bahan baku? Coba bayangkan seluruh dunia membangun satu jembatan yang sama, maka setiap orang, menyumbang dengan cara dan kemampuannya sendiri. Tak perlu berebutan, tak perlu saling sikut, toh pada akhirnya semua akan memakainya..."

"Jadi kamu menganggap dunia ini akan baik jika hanya ada satu negara?"

"Secara teknis begitu..." jawab Said. "Toh nantinya, jika hanya ada satu. Apakah sebutan 'negara' itu masih diperlukan?"

"Kalau hanya satu negara, berarti hanya diperlukan satu penguasa dong..."

Said tertawa, "Secara teknis iya, tapi bukan penguasa, hanya pengambil keputusan terakhir setelah melalui proses..."

"Kok kayaknya kamu minjem cara yang dipakai Gereja Katholik? Padahal gereja kita justru menghindarinya agar siapapun yang berada di puncak tidak meminjam nama Tuhan untuk kepentingannya sendiri atau kelompoknya!"

"Berarti yang harus disiapkan adalah sistem kontrolnya, sehingga tidak membuat celah agar siapapun yang berada di puncak tidak merasa sebagai Tuhan atau Dewa..." kata Said. "Kalau kita menggunakan sistem piramid, kontrol menjadi mudah, karena siapapun yang berada di puncak tidak bisa lepas dari sokongan yang berada di bawahnya. Ketika dia melakukan kesalahan, tinggal dipotong, naikkan orang di bawahnya untuk menggantikannya. Sementara Tuhan atau Dewa bukan di puncak piramid, tapi lepas dan berada di atasnya, sehingga tidak tergantikan..."

"Kan sudah ada Tsar... tinggal perluas saja wilayahnya sampai seluruh dunia menjadi satu..." kata Soso.

"Tsar dan raja-raja memang berada di puncak, tapi bukan atas sokongan dari bawah..." jawab Said. "Sistem itu hanya membuat puncak piramid tidak tersentuh oleh mereka yang berada di bawahnya, apalagi orang yang berada di dasar. Mereka hanya mengganti puncak dari lingkungannya sendiri, anak-anak dan keturunannya saja. Sistem piramid tidak seharusnya begitu. Siapapun bisa naik, bahkan sampai ke puncak jika ia mampu...."

"Berarti kamu tidak setuju dengan adanya kelas?" tanya Soso.

"Secara prinsip iya!" jawab Said. "Kelas tidak bisa dihapus atau dihilangkan. Dalam piramid itu, ada kelas atas dan bawah, kelas pondasi, kelas alas, kelas penyangga, kelas puncak. Kalau dihilangkan, maka dia tidak jadi piramid. Ambyar... rata. Tujuan kita membangun satu jembatan bubar jalan..."

Soso mencernanya.

"Aku hanya tidak setuju jika kelas itu dipakai untuk menghalangi orang bergerak atau bertukar peran. Selama seseorang mampu, ia tidak seharusnya dihalangi untuk naik dari kelas pondasi ke alas, atau sampai puncak sekalipun. Tapi kenyataannya kan, kelas dipakai mereka yang berada di puncak untuk menginjak mereka yang berada di bawahnya..."

Soso diam lagi, mencoba menghubungkan gagasan Said dengan pemikirannya sendiri. Pada beberapa titik, ia menemukan kesamaan. Ia pernah berdiskusi dengan Pangeran Ilia tentang kemerdekaan Georgia. Ia bilang, untuk apa melepaskan diri, kalau ia bisa membalikkan keadaan dengan menguasainya. Ia berpikir itu sejalan dengan gagasannya Said. Hanya saja, pemikirannya masih soal kedudukan dalam piramid, soal siapa yang di atas dan di bawah, bukan soal tujuan dari piramid itu sendiri. Apalagi soal 'jembatan' itu. Itu benar-benar sebuah gagasan yang baru baginya, dan sangat menarik.

Ternyata ada gunanya juga dia ikut si Said, setidaknya ia menemukan wawasan baru. Tapi Soso sudah memutuskan, ia tetap akan meninggalkan Kurtavi dan kembali ke Tiflis. Ia menyampaikannya pada Said.

"Ya udah. Aku minta maaf karena tak bisa memberikanmu liburan yang menyenangkan..." kata Said. Said lalu masuk ke kamarnya, dan kembali dengan dua buku, Otcy i deti[2] dan satunya lagi yang Soso lihat ia bawa dari sekolah, Chto dlat.' 

Said menyerahkan buku yang pertama, Otcy i deti. "Kau baca ini. Supaya kamu ngerti soal nihilisme yang tadi kita bicarakan. Tapi jangan terjebak dengan seluruh gagasannya. Baru nanti kau baca yang ini. Tapi yang ini masih kubaca ulang. Nanti saja kalau aku sudah selesai membacanya, kukasih kau saat kita ketemu di sekolah nanti..." kata Said.

*****

BERSAMBUNG: (35) Nihilis?

[1] Saat ini berada di perbatasan antara Georgia dan Azerbaijan

[2] Secara harfiah berarti 'Ayah dan Anak,' novel Rusia yang ditulis oleh Ivan Turgenev, terbit pertama tahun 1862.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun