Said tertawa mendengar penuturan Soso. "Sekolah kita pada akhirnya hanya menjadikan kita sebagai seorang nihilis, melihat kehidupan dunia tanpa tujuan. Bedanya, nihilis mengabaikan semuanya, termasuk keberadaan Tuhan. Sementara kita mengabaikan kehidupan dunia dan hanya berpikir tentang Tuhan. Jadi kubilang, dalam soal kehidupan, kita memang nihilis, hanya menjadikan kehidupan sebagai jembatan yang akan mengantarkan kita menemui Tuhan. Padahal, jembatan itu harus dibangun. Kehidupan itu yang membangunnya. Kita, para agamawan dan calon-calon penerusnya dengan seenaknya menggunakan jembatan itu tanpa ikut membangunnya...."
Soso terpaku dengan omongan Said. "Bukankah kita harus berbagi peran?"
"Berbagi peran dalam pekerjaan membangun jembatan itu, mengolah kehidupan. Menjadi petani, nelayan, buruh, apapun yang menjadi bahan baku jembatan itu. Kita bukan bagian dari itu..." jawab Said.
"Apa bedanya kita dengan politisi, tentara dan polisi, penyair? Bukankah mereka juga tidak mengambil bagian dalam pembangunan jembatan itu?"
"Politisi itu mandor, mengatur jalannya pembangunan. Polisi dan tentara itu menjaga ketertiban agar masing-masing orang mengerjakan bagiannya dan tidak saling mengganggu. Penyair dan para seniman memberi suntikan semangat saat orang mulai lelah bekerja. Sementara kita dididik untuk berperan apa?"
"Penjaga moral..." jawab Soso.
Said tertawa. "Untuk apa? Kalau semua orang menjalankan perannya, kita tidak diperlukan. Kerjakan saja jembatan itu, dan kita akan bertemu dengan Tuhan!"
Soso diam.
"Itulah yang kubilang tadi. Kita dididik untuk menjadi orang yang tidak berperan dalam membangun jembatan itu. Kita menjadi kaum elit yang berpikir akan menjadi rombongan pertama yang ditemui Tuhan. Padahal, Tuhan akan bertanya, apa sumbanganmu hingga bisa sampai di sini. Kita mau jawab apa?"
Soso masih diam, mencoba mencerna kata-kata temannya itu. Menarik baginya, karena selama ini ia tidak pernah berdiskusi sampai ke situ dengan siapapun. Diskusi dengan Pangeran Ilia, Lado, dan lainnya hanya bicara tentang 'jembatan' yang dikatakan si Said itu. Sementara berdiskusi dengan Romo Subutov dan guru-guru lain di sekolah, hanya bicara tentang ujung jembatan dan tempat di seberang jembatan itu. Soso pernah bertanya soal itu pada Romo Subutov, tapi jawabannya sama dengan omongan si Said tentang kaum agamawan yang merasa ekslusif, dekat dengan Tuhan, tapi tidak memiliki andil nyata. "Jadi solusinya apa?" tanya Soso, sebuah pertanyaan yang sebetulnya ia tidak sukai, sama ketika ia ditanya soal 'solusi menghilangkan kelas' dalam diskusi buku Kapital di tempatnya si Lado dulu.
"Ngapain nanya solusi?" tanya Said. Persis seperti dugaan Soso. "Kau mau solusi? Gampang. Semua orang bisa memberikan solusi. Di sini pertanian kurang air, solusinya gampang kan, datangkan air. Caranya? Bikin bendungan dan alirkan airnya. Itu solusi. Persoalannya adalah bagaimana membangun bendungan itu. Politisi merancang kebijakannya, insinyur merancangnya, buruh pabrik menyediakan bahannya, petani menyediakan makanannya, buruh kasar membangunnya, polisi menjaganya, seniman menghiburnya. Agamawan?"