Soso jengkel dengan 'kebenaran' omongan si Said itu. "Jadi apa rencanamu untuk dirimu sendiri?"
"Aku mulai berpikir mengambil peran dalam membangun jembatan itu..." jawab Said. "Hanya saja aku tak tahu apa peran yang akan kuambil. Kesehatanku buruk. Tak bisa aku bekerja seperti bapakku. Bertani tak punya lahan lagi. Menghibur tak punya bakat. Menjadi polisi tak cukup kuat..."
"Menjadi politisi?" tanya Soso.
"Itu yang mungkin..." jawabnya.
"Kenapa tidak keluar saja dari sekarang?" tanya Soso.
Said tertawa. "Aku masih perlu waktu untuk menjadikan diriku tidak menjadi nihilis atau atheis terlebih dahulu...." jawabnya. "Mungkin satu atau dua tahun ke depan..."
"Kasian bapakmu Id, dia berharap kamu jadi pendeta, jadi nasibnya tak seperti dirinya yang harus banting tulang..." kata Soso.
"Itu impian orang tua manapun, mungkin juga impian orang tuamu, menjadikan kehidupan anaknya lebih baik dari mereka. Wajar saja. Tapi aku nggak mau jadi bagian kelompok elit di dunia dan gelagapan nanti ketika ditanya jasaku dalam kehidupan..." jawabnya. "Tapi itu butuh waktu. Aku harus yakin ketika aku berhenti sekolah, aku jadi apa..."
"Kalau kamu jadi politisi, apa yang kau pikirkan tentang kampung halamanmu ini? Melepaskan diri dari Rusia dan membentuk pemerintahan sendiri?"
"Aku tidak melihat pentingnya membagi-bagi dunia ini dalam negara..." jawab Said. "Kita hanya butuh satu jembatan untuk menemui Tuhan, jadi buat apa membangun banyak jembatan kalau pada akhirnya hanya membuat manusia berkelahi untuk saling memperebutkan bahan baku? Coba bayangkan seluruh dunia membangun satu jembatan yang sama, maka setiap orang, menyumbang dengan cara dan kemampuannya sendiri. Tak perlu berebutan, tak perlu saling sikut, toh pada akhirnya semua akan memakainya..."
"Jadi kamu menganggap dunia ini akan baik jika hanya ada satu negara?"