Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (34) Jembatan Kehidupan

30 Desember 2020   10:25 Diperbarui: 31 Desember 2020   08:17 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Secara teknis begitu..." jawab Said. "Toh nantinya, jika hanya ada satu. Apakah sebutan 'negara' itu masih diperlukan?"

"Kalau hanya satu negara, berarti hanya diperlukan satu penguasa dong..."

Said tertawa, "Secara teknis iya, tapi bukan penguasa, hanya pengambil keputusan terakhir setelah melalui proses..."

"Kok kayaknya kamu minjem cara yang dipakai Gereja Katholik? Padahal gereja kita justru menghindarinya agar siapapun yang berada di puncak tidak meminjam nama Tuhan untuk kepentingannya sendiri atau kelompoknya!"

"Berarti yang harus disiapkan adalah sistem kontrolnya, sehingga tidak membuat celah agar siapapun yang berada di puncak tidak merasa sebagai Tuhan atau Dewa..." kata Said. "Kalau kita menggunakan sistem piramid, kontrol menjadi mudah, karena siapapun yang berada di puncak tidak bisa lepas dari sokongan yang berada di bawahnya. Ketika dia melakukan kesalahan, tinggal dipotong, naikkan orang di bawahnya untuk menggantikannya. Sementara Tuhan atau Dewa bukan di puncak piramid, tapi lepas dan berada di atasnya, sehingga tidak tergantikan..."

"Kan sudah ada Tsar... tinggal perluas saja wilayahnya sampai seluruh dunia menjadi satu..." kata Soso.

"Tsar dan raja-raja memang berada di puncak, tapi bukan atas sokongan dari bawah..." jawab Said. "Sistem itu hanya membuat puncak piramid tidak tersentuh oleh mereka yang berada di bawahnya, apalagi orang yang berada di dasar. Mereka hanya mengganti puncak dari lingkungannya sendiri, anak-anak dan keturunannya saja. Sistem piramid tidak seharusnya begitu. Siapapun bisa naik, bahkan sampai ke puncak jika ia mampu...."

"Berarti kamu tidak setuju dengan adanya kelas?" tanya Soso.

"Secara prinsip iya!" jawab Said. "Kelas tidak bisa dihapus atau dihilangkan. Dalam piramid itu, ada kelas atas dan bawah, kelas pondasi, kelas alas, kelas penyangga, kelas puncak. Kalau dihilangkan, maka dia tidak jadi piramid. Ambyar... rata. Tujuan kita membangun satu jembatan bubar jalan..."

Soso mencernanya.

"Aku hanya tidak setuju jika kelas itu dipakai untuk menghalangi orang bergerak atau bertukar peran. Selama seseorang mampu, ia tidak seharusnya dihalangi untuk naik dari kelas pondasi ke alas, atau sampai puncak sekalipun. Tapi kenyataannya kan, kelas dipakai mereka yang berada di puncak untuk menginjak mereka yang berada di bawahnya..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun