Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (28) Bapak yang Durhaka
*****
Istirahat hari itu, Soso menuju toko buku Pak Yedid seperti biasa. Dengan uang dari Pangeran Ilia yang jumlahnya sangat banyak itu, ia berniat membeli buku-buku yang menarik, meski sebetulnya ia bisa saja memimjam atau menumpang baca. Nggak enak lah sama yang ngasih, masak iya cuma dibeliin baju atau dikirim ke Mak Keke.
Jalanan depan Seminari ternyata ramai. Banyak orang berjalan menunju ke arah selatan. Kebanyakan laki-laki. Soso mengamatinya, lalu tiba-tiba si Seva sudah ada di sebelahnya. "Rame-rame apaan So?" tanya Seva.
Soso menggeleng, "Gak tau lah, aku juga baru keluar..." jawab Soso sambil melangkah.
"Kau mau kemana?" tanya Seva.
"Mau ke toko buku... biasa.." jawab Soso.
"Aku ikut..." Seva menjejeri langkah Soso, menyeberangi jalan yang dilewati orang-orang itu.
"Tumben, kenapa nggak ngapelin cewekmu aja?" tanya Soso.
"Aku dah putus..." jawab Seva.
"Kenapa?"
"Males ah, matre..." jawab Seva.
"Si Peta?"
"Dia mah masih..."
Seva menjejeri langkah Soso sambil memperhatikan orang-orang yang berjalan searah ke selatan itu. Di pertigaan kecil, harusnya Soso belok kanan kalau mau ke tempatnya Pak Yedid. Tapi ia semakin penarasan dengan jumlah orang yang makin banyak. Lapangan Yerevan tampaknya menjadi tempat berkumpulnya orang-orang tadi.
Di sebelah selatan Seminari Tiflis memang ada sebuah lapangan yang diapit oleh gedung-gedung megah dan penting di Tiflis saat itu seperti balai kota dan Bank Tiflis. Orang Tiflis tidak menganggap lapangan itu penting sampai Rusia menamainya Erivansky Ploshchad, Alun-alun Erivanskaya. Belakangan diganti lagi dengan Paskevich-Erivansky Ploshchad, Alun-alun Paskevich-Erivansky. Erevan?[1] Apa hubungannya nama kota itu dengan Tiflis? Siapa pula Paskevich itu? Apa pentingnya buat orang Tiflis?
Memang tidak penting buat orang Tiflis atau orang Georgia. Tapi penting buat Kekaisaran Rusia. Bagi Rusia, Erevan adalah simbol kesuksesan di Kaukasus atas Persia. Awal abad ke-19, Rusia mendesak tentara Persia mundur jauh, meninggalkan dua wilayah penting yang dikuasai sebelumnya, Kartli-Kakheti --kerajaan yang menguasai separuh tanah Iveria-- dan Armenia. Kartli-Kakheti yang berpusat di Tiflis dengan mudah diambil alih. Persia bertahan di Erevan, wilayah Armenia sana. Perang besar terjadi antara tahun 1826-1828, dan tentara Rusia, dibawah kepemimpinan Jenderal Ivan Paskevich memenangkannya. Armenia berpindah tangan.
Paskevich yang keturunan Ukraina itu diberi gelar Pangeran Erevan dan berkuasa di wilayah-wilayah yang direbutnya, termasuk Georgia. Bukan itu saja yang didapatkan oleh Paskevich. Titik keberangkatan pasukannya ketika menyerang Erevan diabadikan dengan namanya. Ya itu, lapangan kecil di sebelah selatan Seminari Tiflis itu. Orang-orang Tiflis 'menerima' sebutan Erevan atau Yerevan untuk lapangan itu, mereka menyebutnya sebagai Erevansk'is Moedani, Alun-alun Erevan, tapi tak pernah menyebutnya Paskevich Moedani.
Di tengah lapangan, Soso melihat ada orang yang tampaknya sedang berpidato. Sebagian besar orang mendengarkannya. Soso jadi penasaran. "Kita ke sana yuk Sev, aku penasaran ada apa..." kata Soso.
"Alaah, paling tukang obat dari Persia... yang bawa-bawa ular itu..." kata Seva.
"Nggak mungkin lah, ngapain tukang obat di situ. Kan biasanya mereka di Bazaar Persia atau Armenia, bukan di Yerevan. Lagian masak iya orang-orang itu pada ke sana hanya untuk menonton tukang obat.." kata Soso.
"Ya udah ayo.. tapi kalau beneran tukang obat atau tukang sulap kita balik aja ya.." kata Seva sambil mengikuti Soso yang mengurungkan niatnya ke toko buku Pak Yedid.
Setelah makin dekat, barulah Soso mengenali lelaki yang sedang berorasi itu. Noe Zhordania, pimred Kvali yang temennya si Lado itu. Ia sedang bicara tentang nasib buruh di depan orang-orang itu. Soso mendengarkan. Apa yang disampaikan Noe rasanya kok sama dengan apa yang ia sampaikan ketika bedah buku Kapital di tempatnya si Lado.
Lagi asyik mendengarkan omongan si Nunu di antara orang-orang yang kadang menyambut riuh setiap omongannya, pundak Soso ditepuk si Seva yang tadi ada berdiri di belakangnya. "So.. ini ada si Lado..." katanya.
Soso melirik dan memang ada si Lado di situ. "Kamu nggak bilang kalau Seva dan si Peta juga sekolah di situ, So..." kata Lado.
Soso pura-pura lupa, "Apa iya aku belum pernah ngomong?"
"Kalian sudah pernah ketemu?" tanya Seva pada Soso dan Lado.
"Iya lah, udah lumayan lama, kirain dia aja anak Gori yang sekolah di situ..." jawab Lado, "Kalau tau, kuajak juga kamu sama si Peta ke tempatku. Memangnya si Soso nggak pernah ngajak kamu Sev?"
Seva menggeleng.
"Yaa dia kan sama si Peta sibuk nyari cewek Rusia di sini..." kata Soso.
"Ya udah lah, nanti kapan-kapan kau ajaklah teman-teman ke tempatku So..." kata si Lado.
Soso mengangguk, "Acara apaan sih Do?"
"May Day, hari buruh..." jawab Lado. "Kau lihat hasil perjuanganku dan kawan-kawan, banyak yang datang kan?"
"Buat apaan sih?" tanya Soso.
"Ini gerakan internasional untuk menuntut pemenuhan hak-hak buruh.." kata si Lado. "Tiga tahun yang lalu, si Nunu ikut kongres internasional kedua di Brussel.[2] Dan ini adalah gerakan pertama di Georgia. Kalau yang di Ohio Amerika, tahun lalu katanya sempat rusuh. Tapi di sini tidak kan, kau lihat sendiri. Dan ini semuanya adalah buruh Georgia..."Â
Soso masih belum mengerti arahnya. Tapi ia diam saja.
"Kau tau So, penjelasanmu soal buku Kapital dulu itu ditanggapi serius oleh para pentolan pekerja. Mereka mulai bergerak untuk menuntut bagian dari keuntungan yang lebih adil dari hasil kerja mereka..." lanjut si Lado. "Mereka juga menuntut perlakuan manusiawi di tempat kerja. Kau ingat penjelasanmu tentang alienasi itu kan?"
Soso hanya mengangguk. Tapi ia tidak menyangka kalau apa yang ia sampaikan itu dianggap sangat serius oleh para buruh. Toh ia juga nggak terlalu yakin juga, apa bener karena penjelasannya itu. Kan mungkin saja si Lado melebih-lebihkannya.
"Ayo So, kau ikut ngomong sana!" kata si Lado kemudian.
"Eeeh jangan..." Soso langsung memotongnya, "Aku pake seragam Do, nanti ada guru pengawas yang liat kan gawat!"
Lado tertawa, "Padahal asyik kalau kamu ikut ngomong So..." katanya. Tiba-tiba Lado memalingkan wajahnya dan memanggil seseorang. "Natasha, sini..."
Seorang cewek menyeruak di antara kerumunan yang kebanyakan laki-laki itu.
"Kamu darimana?" tanya si Lado pada cewek itu.
Soso kaget bukan kepalang, cewek itu tak lain adalah Natalia Kirtava, alias Natasha, cewek cantik yang menjadi teman perjalanannya di kereta saat pulang ke Gori beberapa bulan lalu!
"Aku mampir di toko buku..." jawabnya, sambil melirik Soso dengan ujung matanya.
 Jlegerrrr... kepala Soso rasanya mau meledak. Ini tanggal satu Mei. Ia ingat kata-kata terakhir Natasha sesaat setelah ia turun dari kereta. Ia akan menemuinya tanggal satu Mei, di toko buku Pak Yedid! Dan ia nyaris saja ke toko buku itu tadi. Soso jadi salah tingkah, apakah ia akan menyapa cewek itu atau pura-pura belum mengenalnya.
"Kenalin ini temen-temenku dari Gori, para calon pendeta...." kata si Lado pada Natasha, "Yang ini Soso, anak paling cerdas di kampungku, dan yang ini Seva anak yang paling dermawan..."
Natasha menyodorkan tangannya pada Soso dan Seva sambil menyebutkan namanya. Ya sudah, Soso tahu, ia harus berpura-pura belum mengenal cewek itu. Tapi apa hubungan si Lado dengan Natasha?
"Natasha ini aktivis buruh di Batumi, makanya dia datang ke sini sekarang..." Lado menjelaskan kepada dua temannya.
"Pacarmu ya Do?" tanya Seva.
Soso berterimakasih dalam hatinya pada si Seva yang sudah mengajukan pertanyaan itu. Ia sendiri nggak berani, ngeri denger jawabannya kalau diiyakan. Lado tertawa, lalu melirik Natasha yang membalasnya dengan senyuman. "Yaa kita dekat lah," jawab si Lado tanpa menyebutkan arti 'dekat' itu. "Kamu tuh pertanyaannya masih aja begituan Sev..." ia melirik Seva.
 "Maklum, dia kelamaan jomblo... baru dapet cewek Rusia, seminggu dan diputusin..." Soso langsung nyamber. Niatnya sih pengen mencairkan suasana yang berasa tegang, padahal yang tegang dan nggak nyaman itu cuma dia. Natasha aja keliatannya santai-santai aja.
 "Soso ini pernah bedah buku Kapital di markas kita, luar biasa penjelasannya. Padahal buku itu buku yang berat..." kata Lado lagi pada Natasha.
 Natasha tersenyum, "Kalau orang cerdas mah gampang memang, apalagi kalau membaca bukunya serius, di taman, di perpustakaan, di kamarnya, dan mungkin sampai saat naik kereta pun masih membacanya..."
Ah, sialan, dia nyindir lagi. Soso inget, waktu pusing di atas kereta itu dia mau mencoba mengalihkannya untuk membaca buku, ya buku itu, Kapital yang justru malah nggak disentuhnya sama sekali pas sampai di Gori.
"So, kamu masih mau di sini? Aku mau balik nih..." tanya si Seva. Ah lagi-lagi anak itu tanpa sengaja menyelamatkannya dari rasa kikuk.
"Ya ayo, tapi aku mau mampir ke toko buku dulu..." jawab Soso. Ia lalu pamitan pada si Lado dan Natasha.
"Kapan-kapan, kau ke tempatku lagi ya So, ajak Seva dan Peta..." kata Lado.
Soso mengangguk, dan dengan ujung matanya ia melirik pada Natasha. Ia kemudian hanya tersenyum dan mengangguk formal. Dari kejauhan, Soso melirik lagi ke arah Natasha, tapi yang didapatkannya adalah pemandangan yang memilukan; Natasha dan si Lado berdiri bersisian, sangat dekat, sambil menatap ke arah Noe Zhordania yang masih terus ngoceh di depan orang-orang itu. Dan yang bikin kepala Soso rasanya mau meledak, tu tangan si Lado pake acara nemplok di pinggangnya Natasha pula! Aseeeemmm...
"Gile, cakep bener ya pacarnya si Lado..." kata Seva saat mereka berjalan meninggalkan lapangan itu. "Ngomong-ngomong, cakepan mana sama pacarmu yang orang Ukraina itu, So? Kok nggak pernah dikenalin sih..."
"Ya, tergantung sih.. cewek tadi emang cakep, tapi menurutku cewekku juga nggak kalah cakep..." jawab Soso yang masih belum konsen.
"Ngomong-ngomong si Lado kerjaannya apa di sini So? Kayaknya lama aku nggak liat di kampung..."
"Dia bikin partai di sini..." jawab Soso pendek.
"Mau nyaleg dia?" tanya Seva lagi.
"Gak tau ah, kenapa tadi kamu nggak nanya langsung sama orangnya!" Soso mulai mangkel, apalagi suasana hatinya lagi nggak enak bener. Cemburu tingkat dewa. Ia juga rada-rada nyesel, kenapa tadi dia nggak langsung ke toko buku Pak Yedid, mungkin ia masih bisa ketemu dengan Natasha, lepas dari urusan dia kenal sama si Lado ataupun enggak.
"Kamu kok ikutan lurus, bukannya mau ke toko buku?" tanya si Seva pas mereka di pertigaan ke toko buku Pak Yedid.
"Gak jadi, perutku mules!" jawab Soso.
Seva nggak ngomong lagi. Bahkan ketika Soso masuk duluan ke dalam sekolah, ia membiarkannya dan memilih bergabung dengan teman-temannya yang lain yang asyik nonton orang lewat di depan pintu sekolah.
*****
BERSAMBUNG: (30) Setitik Dusta
Catatan:
[1] Yerevan, ibukota Armenia
[2] International Socialist Labor Congress, diselenggarakan tanggal 16-22 Agustus di Brussel Belgia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H