Soso nyengir, yaah ia tau, Lado emang pinter dari dulu, sudah gitu keluarganya juga mendukung, bapaknya pendeta, pinter, banyak duit juga karena konon masih keturunan bangsawan, jadi nggak harus pontang-panting kayak dia. “Kamu dulu bukannya sekolah di situ juga?" tanya Soso. Ia ingat, empat tahun yang lalu Lado menemuinya, pamitan, katanya mau sekolah seminari di Tiflis, dan sejak itulah ia tak pernah bertemu lagi, dan tak pernah lagi mendengar kabarnya.
“Kamu nggak tau kalau aku dikeluarkan?” tanya Lado.
“Dikeluarin, kenapa emangnya, berantem?” tanya Soso, teringat akan kejadian yang dialaminya sendiri.
Lado menggeleng. “Kita dulu demo, gara-gara harus selalu ngomong Rusia, padahal banyak diantara kita yang masih belum lancar. Terus, kalau ada anak yang ngomong pake bahasa lain, Georgia misalnya, dihajar nggak karu-karuan kayak orang bikin dosa besar di hadapan Tuhan…”
Soso mulai tertarik mendengarkan cerita Lado, “Terus?”
“Ya kita demo biar ada keringanan, setidaknya kalau di luar acara resmi seperti di kelas, di kapel, atau di mana aja, terutama kalau lagi di kamar, boleh lah kita ngomong pake bahasa lain, nggak harus Rusia terus…” lanjut Lado.
“Diterima usulnya?” tanya Soso.
“Boro-boro. Rektor, Pak Serafim malah memaki-maki kita dan mengatakan kalau bahasa Georgia adalah bahasa anjing, tidak layak digunakan di lingkungan suci!” jawab Lado. “Temenku yang ditunjuk jadi pemimpin demo, Silibistro Jibladze, alias si Silva, naik darah. Dia nggak bisa ngontol emosi. Dia menyerang rektor dan memukulinya. Rusuh deh…” lanjut Lado.
“Kamu ikutan demo?” tanya Soso.
“Aku ikut merancangnya, demo dulu, kalau nggak diterima rencananya akan ada mogok belajar. Tapi keburu rusuh…” jawabnya.
“Terus?” tanya Soso.