Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (14) Dalam Tembok Derita
*****
Teman-teman Soso merasakan perubahan pada anak itu sejak mendapatkan hukuman. Soso menjadi lebih pendiam, dan sering mangkir kalau diajak jalan pas istirahat. Tapi ia tetap bergaul dengan teman-temannya itu. Masih bersama saat jam makan, ngobrol kalau berada di kamar, dan yang paling disukai teman-temannya adalah Soso rajin bantuin teman-temannya mengerjakan PR. Bukan karena Soso lebih tua atau lebih senior, tapi karena otak Soso memang paling encer diantara mereka. Di kelas A pun, Soso sudah terkenal kepandaiannya, dan diakui sendiri oleh Romo Subutov.
Soal jam istirahat tadi, teman-teman Soso mungkin juga menyadari kalau usia Soso yang lebih tua membuatnya tak selalu ingin bersenang-senang. Atau mungkin juga karena ia sudah bosan berkeliling Tiflis. Jadi anak-anak itu sering ngelayap tanpa ditemani Soso. Soso sendiri, sudah terbenam kembali dalam kesenangannya akan bacaan. Nyaris tiap hari ia mampir ke toko buku Pak Yedid. Ia tahu diri di sana, nggak cuma numpang baca buku gratis. Setidaknya, kalau Soso ke situ, Pak Yedid punya waktu untuk beristirahat, dan mempercayakan Soso untuk menjaga toko bukunya. Soso juga tak segan untuk beres-beres dan bersih-bersih toko.
Ia sudah menamatkan dua novel Tolstoy, War and Peace dan Anna Karenina. Menarik baginya, tapi tidak meninggalkan kesan mendalam. Ketika ia mulai membaca My Confession dalam versi aslinya yang berbahasa Rusia, Ispoved, keningnya mulai berkerut. Ia seakan menemukan sosok Tolstoy yang berbeda. Anna Karenina, sarat dengan kritik dan potret sosial masa Tsar Alexander II, meski disajikan dalam kisah yang rumit. Tapi dalam My Confession, Soso menemukan Tolstoy sebagai dirinya sendiri, yang merenungi hidupnya, termasuk menyoal keyakinan, mempertanyakan keberadaan Tuhan, dan soal kematian.
Tolstoy memulai kisahnya dengan cerita dari timur, dimana seorang pria dikejar hewan buas yang kelaparan. Pria itu masuk ke dalam sumur untuk menyelamatkan diri. Ia berpegangan pada sebatang pohon yang terus digerogoti dua ekor tikus. Sementara di dasar sumur, ada seekor naga yang menunggu kejatuhannya. Di pohon itu ada sarang lebah yang meneteskan madu dan pria itu pun menjilatinya.
Tolstoy menyebut ada empat kemungkinan dalam situasi ini. Pertama, pria itu bisa bersikap masa bodoh dan mengabaikan kenyataan bahwa sebetulnya ia sulit untuk selamat, dengan berpikir bahwa ia bisa bertahan dengan madu sambil berharap hewan yang mengejarnya pergi. Kedua, Tolstoy menyebutnya sebagai epicureanisme, sadar bahwa hidup itu fana, sehingga pria itu dapat menikmati sisa waktu yang dimilikinya. Ketiga, jika lelaki itu rasional, menurut Tolstoy, yang paling mudah adalah bunuh diri, terjun ke bawah dan disantap sang naga atau naik diterkam hewan buas itu. Menurut Tolstoy, jika kematian sudah sangat jelas, ngapain harus menunggu untuk menderita lebih lama? Meski Tolstoy sendiri mengakui, bahwa ia terlalu pengecut untuk mengambil pilihan paling logis itu. Dan keempat, berusaha untuk bertahan hidup, meski itu tak masuk akal dan hanya memperpanjang penderitaan.
Tolstoy tampak terpengaruh dengan pemikiran filsuf Jerman, Arthur Schopenhauer dalam karyanya The World as Will and Representation.[1] Filsuf Jerman itu banyak sekali disebut dan ungkapannya banyak yang dikutip Tolstoy.
Soso sendiri masih berpikir tentang pilihan kematian itu. Ia membanding-bandingkan satu pilihan dengan pilihan lainnya dari keempat pilihan itu. Semuanya tampak masuk akal sekaligus semuanya juga tak masuk akal. “Ah sialan, kenapa semua filsuf pekerjaannya hanya membuat orang pusing ya?” bathin Soso sambil menyimpan buku itu di meja. Ada seseorang yang masuk ke dalam toko, sementara Pak Yedid sedang keluar, jadi ia harus melayaninya.
Pengunjung yang masih muda itu langsung berkeliling melihat-lihat buku yang ada. Tapi mungkin karena tak menemukannya, barulah ia menghampiri Soso. “Punya Das Kapital atau mungkin terjemahannya?” tanya pemuda itu.