Rabies: Ancaman Global yang Dapat Dicegah melalui Edukasi, Vaksinasi, dan Tindakan Cepat
Oleh: Alin Okdiyanti, Mahasiswa Fakultas Kedokteran, Program Studi Kedokteran Hewan
Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis paling mematikan di dunia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization atau WHO), penyakit ini masih menyebabkan sekitar 59.000 kematian manusia setiap tahunnya di berbagai negara, terutama di negara berkembang. Meskipun tergolong mematikan, rabies sebenarnya dapat dicegah jika penerapan strategi penanggulangan dilakukan dengan tepat. Strategi penanggulangan tersebut mencakup edukasi masyarakat, vaksinasi hewan peliharaan, serta tindakan cepat setelah gigitan hewan terduga.
Di Indonesia, rabies masih menjadi masalah serius, terutama di daerah yang memiliki cakupan vaksinasi hewan rendah. Contohnya, Bali dan Nusa Tenggara Timur termasuk wilayah endemis rabies yang rutin dilaporkan oleh pemerintah. Selain itu, penambahan kasus di beberapa provinsi lain di Indonesia bagian timur menunjukkan masih perlunya peningkatan kewaspadaan. Pemerintah pun telah mencanangkan target "Indonesia Bebas Rabies 2030," yang menekankan bahwa seluruh elemen masyarakat, mulai dari pemerintah, akademisi, tenaga kesehatan, hingga komunitas, perlu bersinergi untuk mengendalikan rabies.
Artikel ini akan menjelaskan mengapa rabies begitu berbahaya, bagaimana mekanisme penularannya, gejala klinisnya, serta langkah-langkah pencegahan dan penanganan yang dapat dilakukan. Dengan pemahaman yang tepat, diharapkan setiap individu berkontribusi aktif untuk memutus mata rantai penularan rabies, baik melalui pencegahan primer seperti vaksinasi dan edukasi, maupun pencegahan sekunder dengan tindakan cepat setelah gigitan.
Epidemiologi Rabies di Dunia dan di Indonesia
Rabies termasuk dalam kelompok penyakit Neglected Tropical Diseases (NTDs) yang kerap diabaikan. Padahal, penyakit ini masih mewabah di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah. Berdasarkan data WHO, mayoritas kematian akibat rabies di dunia terjadi di kawasan Asia dan Afrika. Kasus yang relatif tinggi di beberapa negara Asia mencerminkan rendahnya cakupan vaksinasi hewan serta terbatasnya akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan yang memadai.
Di Indonesia, data Kementerian Kesehatan pada tahun 2022 menunjukkan adanya lebih dari 15.000 gigitan hewan penular rabies (GHPR) yang dilaporkan. Sebagian besar gigitan tersebut terjadi akibat anjing liar atau anjing peliharaan yang tidak divaksinasi. Sisanya disebabkan oleh kucing, kera, dan beberapa hewan liar lain seperti kelelawar. Sayangnya, puluhan di antara kasus tersebut berakhir dengan kematian manusia.
Wilayah Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT) sering menjadi pusat perhatian karena tingginya populasi anjing liar, mobilitas manusia yang tinggi, serta terbatasnya upaya vaksinasi. Meskipun pemerintah secara berkala menyelenggarakan program vaksinasi massal, tantangan geografis dan rendahnya kesadaran masyarakat masih menghambat tercapainya cakupan vaksinasi yang optimal. Hal inilah yang membuat target "Indonesia Bebas Rabies 2030" perlu didorong dan dipantau secara serius.
Mekanisme Penularan Rabies dan Alasan Tingkat Fatalitasnya
Rabies disebabkan oleh virus yang menyerang sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang) pada manusia dan hewan berdarah panas. Penularan utama terjadi melalui gigitan hewan yang terinfeksi, meskipun penularan juga dapat berlangsung lewat cakaran atau luka terbuka yang terkena air liur hewan positif rabies. Setelah masuk melalui luka gigitan, virus menyebar melalui jaringan saraf menuju sistem saraf pusat, bukan melalui aliran darah seperti pada banyak penyakit infeksi lainnya.