Dan seperti biasa, cewek jutek dan judes itu hanya menatapku sinis, tak bersahabat. “Angin apa yang membawamu tiba-tiba menyapa saya dengan begitu ramah?”
Eh, iya, ya? Kenapa gue jadi sok ramah gitu ke Lydia?
Kugaruk-garuk kepala yang tidak gatal itu. “Hm, memangnya saya nggak boleh, ya, menyapa Mbak Lydia?” tanyaku sambil memamerkan senyum terbaikku.
Tapi bukan Lydia namanya kalau bisa langsung lumer hatinya mendapatkan senyum dari seorang cowok keren bernama Faisal. Hehehe.
“Ya, aneh saja. Kamu yang sehari-hari selalu cemberut bila ketemu saya, tiba-tiba saja hari ini begitu ramah,” ujarnya seraya masuk ke dalam lift yang terbuka dan siap membawa kami ke lantai atas. Di belakang Lydia, aku pun ikut naik ke dalam lift.
Ahay, baru kali ini rasanya gue bisa satu lift dengan si jutek. Dan rupanya, Rizal pun memiliki kesan yang sama terhadap staf HRD yang satu ini.
“Ngomong-ngomong, kamu ceria banget hari ini? Ada apa, nih? Istrimu pengen rujuk lagi, ya.?” tanya Lydia lagi, saat kami telah berada di dalam lift.
Eh? Istri? Walah, ini pasti Rizal yang dimaksud.
Aku menggeleng. “Ah, nggak kok, Mbak. Saya bahkan sudah nggak peduli lagi, sekalipun kelak dia pengen rujuk lagi sama saya.”
“Oh!” Hanya itu yang keluar dari mulut Lydia.
Kemudian hening menyergap kami berdua hingga akhirnya pintu lift pun terbuka, yang menandakan bahwa kami telah sampai di lantai dua.