“Eh, iya. Seperti biasa, ya. Buatkan saya secangkir white coffee hangat. Oke? Saya tunggu di ruangan saya, ya,” pungkas Lydia sesaat sebelum kami berpisah di depan lift.
***
Dengan setengah berlari, segera saja aku menuju ke ruang kerjaku tercinta. Dan saat pintu pantry baru saja kubuka, alunan suara lembut milik Chrisye yang menggema seantero ruangan itu pun menyambutku.
Pagi yang cerah
Dan senyum di bibir merah
Sejuta rasa bahagia
Yang kauberikan...
(Malam Pertama – Chrisye)
Seorang laki-laki muda, berperawakan sedang dan berkepala plontos, kuperhatikan tengah asyik dengan sabun, spon dan aneka peralatan minum di atas bak cuci piring stainless steel yang terletak di pojok kanan pantry. Dan saking asyiknya, ia sampai tak menyadari kehadiranku di belakangnya.
“Cie, cie... yang lagi berbunga-bunga hatinya...,” godaku seraya mencolek bahu laki-laki itu.
Kontan laki-laki yang tak lain adalah Abdul itu pun terkejut. Cangkir keramik bermotif monokrom yang tengah dipegangnya nyaris terlepas dan jatuh ke lantai. “Astagfirullah, Isal. Gue kirain siapa,” sungutnya setelah mengetahui siapa pelaku kejahilan itu.