***
ENAM
The Secrets
Pagi nan cerah. Secerah hatiku yang kembali bisa menginjakkan kaki di Paramount TV–walaupun hanya diberi waktu satu hari, sesuai perjanjianku dengan Rizal. Aku bisa kemari itu juga atas permintaan Rizal selaku pemilik tubuh yang sedang kupakai ini. Ya, apalagi kalau bukan mengemban sebuah misi bantuan untuk Abdul dalam rangka pemberian kejutan kepada Sang Pujaan Hati–Miss Diana.
“Gila juga si Abdul. Gue pikir dia cuma sekadar ngefans saja sama Miss Diana,” ujarku sembari geleng-geleng kepala saat mendengar penjelasan Rizal kemarin di rumah sakit.
“Nah, itu dia yang bikin gue jadi senewen.”
“Hah? Kenapa jadi elu yang senewen?” Kutatap laki-laki yang berdiri di hadapanku itu.
“Hm... eh...,” Kuperhatikan Rizal tiba-tiba saja jadi panik begitu mendengar komentarku. Sedang aku hanya bergeming menunggu laki-laki itu melanjutkan omongannya.
“Oke, oke, gue ngaku. Gue ini sebenarnya duda. Gue baru saja cerai dari bini gue tiga bulan lalu, gara-garanya gue itu sudah lama nganggur, hampir setahun ini. Tepatnya setelah di-PHP dari pabrik tempat gue kerja dulu.”
Seketika keningku pun berkerut.
Heran. Siapa yang menyuruh elu curhat masalah pribadi lu.
“Eh, apa kata lu?” Rizal melotot ke arahku.
Ups!
Segera kugelengkan kepala. “Iya, iya. Terus?” tanyaku, acuh tak acuh.
Sejenak Rizal menatapku penuh curiga, sebelum akhirnya melanjutkan omongannya. “Ya, itu dia. Gue langsung ilfil, pas Abdul minta tolong ke gue soal Miss Diana. Secara gue lagi muak sama yang namanya perempuan, makhluk paling rese dan matre yang ada di dunia ini.”
Kembali keningku berkerut. “Lebay lu, ah. Nggak semua perempuan juga kali kayak bini lu itu,” belaku, sengit. “Lagian perempuan mana coba yang tahan lihat suaminya menganggur selama itu. Memang selama lu nganggur itu, yang cari duit buat keluarga lu siapa? Pasti bini lu, kan?” cecarku tanpa ampun.
Rizal mengangguk, pasrah.
“Ya, wajarlah kalo akhirnya doi minta cerai dari lu. Dasar elu itu suami tidak bertanggung jawab,” ujarku berapi-api.
Rizal pun menegang. Ia tampak tak suka mendengar ceramahku perihal rumah tangganya. Hingga akhirnya, “Stop, stop. Kenapa kita jadi ngebahas masalah bini gue, hah?”
Dan gara-gara Rizal emoh membantu Abdul itulah makanya aku bisa ada di sini lagi.
“Selamat pagi, Mbak Lydia,” sapaku, saat kudapati sosoknya sudah ada mengantre di depan lift di lobi bawah.
Dan seperti biasa, cewek jutek dan judes itu hanya menatapku sinis, tak bersahabat. “Angin apa yang membawamu tiba-tiba menyapa saya dengan begitu ramah?”
Eh, iya, ya? Kenapa gue jadi sok ramah gitu ke Lydia?
Kugaruk-garuk kepala yang tidak gatal itu. “Hm, memangnya saya nggak boleh, ya, menyapa Mbak Lydia?” tanyaku sambil memamerkan senyum terbaikku.
Tapi bukan Lydia namanya kalau bisa langsung lumer hatinya mendapatkan senyum dari seorang cowok keren bernama Faisal. Hehehe.
“Ya, aneh saja. Kamu yang sehari-hari selalu cemberut bila ketemu saya, tiba-tiba saja hari ini begitu ramah,” ujarnya seraya masuk ke dalam lift yang terbuka dan siap membawa kami ke lantai atas. Di belakang Lydia, aku pun ikut naik ke dalam lift.
Ahay, baru kali ini rasanya gue bisa satu lift dengan si jutek. Dan rupanya, Rizal pun memiliki kesan yang sama terhadap staf HRD yang satu ini.
“Ngomong-ngomong, kamu ceria banget hari ini? Ada apa, nih? Istrimu pengen rujuk lagi, ya.?” tanya Lydia lagi, saat kami telah berada di dalam lift.
Eh? Istri? Walah, ini pasti Rizal yang dimaksud.
Aku menggeleng. “Ah, nggak kok, Mbak. Saya bahkan sudah nggak peduli lagi, sekalipun kelak dia pengen rujuk lagi sama saya.”
“Oh!” Hanya itu yang keluar dari mulut Lydia.
Kemudian hening menyergap kami berdua hingga akhirnya pintu lift pun terbuka, yang menandakan bahwa kami telah sampai di lantai dua.
“Eh, iya. Seperti biasa, ya. Buatkan saya secangkir white coffee hangat. Oke? Saya tunggu di ruangan saya, ya,” pungkas Lydia sesaat sebelum kami berpisah di depan lift.
***
Dengan setengah berlari, segera saja aku menuju ke ruang kerjaku tercinta. Dan saat pintu pantry baru saja kubuka, alunan suara lembut milik Chrisye yang menggema seantero ruangan itu pun menyambutku.
Pagi yang cerah
Dan senyum di bibir merah
Sejuta rasa bahagia
Yang kauberikan...
(Malam Pertama – Chrisye)
Seorang laki-laki muda, berperawakan sedang dan berkepala plontos, kuperhatikan tengah asyik dengan sabun, spon dan aneka peralatan minum di atas bak cuci piring stainless steel yang terletak di pojok kanan pantry. Dan saking asyiknya, ia sampai tak menyadari kehadiranku di belakangnya.
“Cie, cie... yang lagi berbunga-bunga hatinya...,” godaku seraya mencolek bahu laki-laki itu.
Kontan laki-laki yang tak lain adalah Abdul itu pun terkejut. Cangkir keramik bermotif monokrom yang tengah dipegangnya nyaris terlepas dan jatuh ke lantai. “Astagfirullah, Isal. Gue kirain siapa,” sungutnya setelah mengetahui siapa pelaku kejahilan itu.
Eh, Isal? Sejak kapan gue ganti nama? Sialan juga itu si Rizal. Nama orang pakai diganti-ganti segala.
Sejenak kuabaikan soal nama 'Isal' itu.
“Cie, cie... yang mau ngasih kejutan ke Miss Diana...,” Aku kembali iseng menggoda Abdul, hingga membuat wajah OB Betawi itu pun berubah bak kepiting rebus.
“Apaan, sih, lu? Katanya kemarin ogah bantuin gue. Kok sekarang malah kepo, sih?” Abdul pura-pura cemberut, sekadar untuk menyamarkan kegugupan dirinya. Kemudian diraihnya smartphone dan segera mematikan applikasi mp3 player-nya.
Kukulum senyum, merasa geli sendiri. Tapi kulihat Abdul malah tampak begitu tegang.
“Ayo, Dul. Duduk sini dulu sebentar.” Kutepuk-tepuk kursi yang ada di sebelahku. Tapi Abdul malah menatapku heran.
“Elu... Isal, kan?” Telunjuknya mengarah padaku.
Aku mengernyit.
Lagi-lagi nama itu. Apa nggak ada nama panggilan keren yang lain apa?
“Iya, gue Isal. Kenapa memangnya?”
“Nggak papa, cuma aneh saja.” Abdul menggeleng. “Kemarin-kemarin elu tampak tak acuh gitu sama gue. Setiap kali gue cerita soal Miss Diana, pasti deh tampang lu langsung bete. Tapi sekarang, kok elu malah kepo, ya?”
Ya, iyalah. Yang kemarin-kemarin itu bukan gue keules, tapi Rizal. Meskipun dengan tubuh yang sama.
“Iya, sori. Kemarin itu gue masih teringat sama bini gue. Jadi ya, gitu deh. Tapi akhirnya sekarang gue sadar kok, ngapain juga masih ingat-ingat mantan? Lha, dia saja sudah nggak peduli lagi sama gue? Iya nggak?”
Kulihat Abdul hanya tersenyum. Kemudian menarik kursi di sebelahku dan duduk di atasnya.
“Nah, gitu dong...,” ucapku sambil menepuk-nepuk bahunya. Rasa bahagia tak terbendung bisa bertemu kembali dengan si OB Betawi ini.
Abdul kembali tersenyum. Perlahan dirogohnya saku celananya dan mengeluarkan sebuah kotak merah panjang berbahan beludru.
“Apaan tuh?” Mulutku mengarah ke kotak panjang yang baru saja dikeluarkan Abdul.
“Oh, ini–” Wajah Abdul kembali memerah. Kemudian dibukanya kotak itu dan tampaklah sebuah kalung emas putih berliontin bunga matahari dengan inisial huruf “D” di tengahnya. Cantik, tapi terlalu mewah memang untuk ukuran OB seperti Abdul.
“Elu yakin bakal ngasih ini ke Miss Diana?” tanyaku, sangsi.
“Memangnya kenapa?” Abdul balik bertanya. Alisnya agak terangkat sedikit. “Malah tadinya gue mau ngasih cincin buat Miss Diana. Tapi kata Cing Rohman, itu terlalu cepat. Takutnya Miss Diana kaget, akhirnya malah menjauh dari gue. Ya, gue nggak mau lah.”
“Jadi, elu benaran serius ke Miss Diana?” Kini, malah aku yang dibuatnya kaget.
Abdul mengangguk mantap. Sedang aku hanya menghela napas panjang.
“By the way, Cing Rohman itu siapa?” Entah kenapa nama itu mengingatkanku pada seorang OB juga, tapi di Triguna Jaya, tempatku bekerja.
“Cing Rohman itu adik almarhumah Nyak gue. Beliaulah yang merawat gue sejak Babe dan Nyak meninggal dalam kecelakaan bus sewaktu menghadiri wisuda Abang gue di Jogja. Kebetulan Cing Rohman nggak punya anak, jadilah gue sekalian diangkat anak oleh beliau.”
“Oh!”
Baru tahu gue kalo Abdul itu yatim piatu dan hanya diasuh oleh Encingnya.
“Terus Abang lu sekarang di mana? Masih... ada, kan?” tanyaku hati-hati, takut kalau Abdul jadi melow lagi, gara-gara teringat pada kedua orangtuanya.
Melihat ekspresiku, kontan Abdul malah tertawa geli. “Hahaha. Kok elu tanyanya gitu, sih? Takut gue mewek, ya?”
Sialan. Aku langsung mesem.
“Abang gue sudah nikah, Masbro. Sekarang menetap di Jogja, dapat gadis sono soalnya. Sudah punya dua anak, kembar lagi. Pokoknya sudah mapanlah hidupnya. Sekarang tinggal gue nih yang masih luntang-luntung nggak karuan. Mana masih ngerepotin Cing Rohman lagi.”
Kutatap wajah laki-laki yang duduk di sebelahku ini. Dari usia, jelas Abdul lebih muda daripada aku. Tapi pengalaman hidupnya, sungguh, aku benar-benar salut padanya. Hingga tanpa sadar...
“Apaan lu pegang-pegang tangan gue?” Abdul menepis kasar tanganku yang tiba-tiba saja telah menggenggam erat tangannya. “Iiih..., gue masih normal keules. Masih doyan sama cewek. Buktinya gue itu naksir berat sama Miss Diana.”
Dan bagai orang kesetanan, Abdul pun kemudian berusaha melepaskan diri dariku hingga sampai terjengkang dari kursinya dan membuatku terbahak-bahak tak karuan. Pada saat Abdul hendak berdiri kembali, sebuah benda rupanya terjatuh dari saku belakang celananya. Iseng, segera kupungut benda itu, yang ternyata sebuah dompet. Dan alangkah terkejutnya aku saat mendapati sebuah foto dalam dompet itu.
Pak Rohman? Jadi...
Kutatap Abdul dengan pandangan tak percaya. Dan pada saat bersamaan, pintu pantry pun terkuak dari luar.
“Yaelah, ditungguin dari tadi, ternyata malah pada asyik main drama di sini. Mana white coffee pesanan saya, hah?”
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H