Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerbung | The Office Boy [4]: Dialog Dua Hati

21 Februari 2017   16:58 Diperbarui: 26 April 2017   20:00 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya

***

Empat
Dialog Dua Hati

“Elu? Siapa?” Telunjuk kananku mengarah kepada sesosok laki-laki yang berdiri tepat di hadapanku. Tapi kulihat laki-laki itu hanya tersenyum sinis menatapku.

“Siapa gue? Harusnya gue yang bertanya gitu ke elu, hah?”

“Eh?” Keningku pun berkerut mendengar laki-laki itu bicara. 

Kuperhatikan lagi sosok yang berdiri tepat di hadapanku itu. Oh, my God. Bagaimana mungkin ia memiliki wajah yang mirip sekali denganku? Hanya saja rambut ikalnya agak gondrong sebahu, sedangkan rambutku cepak rapi. Pun kulitnya kuperhatikan agak gelap dan kurang terawat. Berbeda dengan aku yang berkulit sawo matang, tampak bersih dan lebih cerah dari kulit laki-laki di hadapanku itu.

“Hei, kenapa? Kaget, ya, karena wajah kita berdua mirip, padahal bukan kembar?”

“Eh?” Hanya itu yang keluar dari bibirku.

Tapi kemudian terdengar helaan napasnya. “Udahlah, nggak penting juga dibahas.” Ia mengibaskan telapak tangannya. “Gue cuma pengen kasih peringatan ke elu, ya. Kalo mulai detik ini tidak ada lagi yang namanya penyalahgunaan tubuh gue, terutama ama elu. Cukup sudah gue dibikin repot tadi karena orang-orang menganggap gue ini Faisal. Padahal nama gue Rizal.” Berapi-api sekali ia menjelaskan apa yang terjadi dengannya saat berada di kantor Paramount TV.

Dan setelah mendengarkan penjelasan laki-laki yang mengaku bernama Rizal itu, keningku malah makin berkerut.

Gimana ceritanya gue bisa memakai tubuhnya dan menyamar sebagai OB di Paramount TV?

“Hah? Masih nggak ngeh udah memakai tubuh orang lain?” gertak Rizal sambil berkacak pinggang.

Wah, gawat. Si Kunyuk satu ini ternyata bisa mendengar suara hati gue.

“Apa kata lu?”

Ups! Segera saja kubekap mulutku dan mulai memperhatikan aktivitas orang-orang yang lalu-lalang di sepanjang lorong rumah sakit ini. Rata-rata mereka–saat melewati kami–menatap aneh ke arah Rizal yang tampak seperti tengah mengoceh pada dirinya sendiri. Hingga akhirnya...

“Huahahahaha....” Hanya itu yang bisa kulakukan saat menyadari keadaan di sekitarku.

Kini, giliran kening Rizal yang berkerut. “Apa yang elu tertawakan?”

“Hahaha.... Emang lu nggak sadar apa orang-orang pada memandang aneh ke elu?” ujarku sambil nyengir. “Bahkan ada juga tuh yang sampe menggelengkan kepala dan menempelkan telunjuk agak miring di kening yang mengisyaratkan bahwa elu itu sinting alias sakit jiwa.”

“Eh?” Rizal menatapku, meminta jawaban.

Aku mengangguk.

Rizal mulai memegangi kepalanya, tanda panik.

“Makanya... kalo mau cegat orang itu lihat-lihat dulu. Masa iya hantu gentayangan kayak gue diajak ngomong, di tempat umum lagi. Hahaha,” ujarku sambil geleng-geleng kepala, geli.

Dan usai berkata itu, aku pun melengos dan menubrukkan diriku ke tubuh Rizal. Tapi sayang, karena saat ini aku telah berubah menjadi makhluk kasat mata, maka yang dirasakan oleh laki-laki di hadapanku itu hanyalah embusan angin sesaat.

“Hei, mau ke mana?” tanya Rizal, mencoba menghentikan langkahku. Tapi aku tak peduli.

“Mau balik ke ruang ICU, tempat tubuh kasar gue terbaring lemah,” jawabku sambil terus melangkah dan meninggalkan Rizal seorang diri di lorong panjang rumah sakit ini.

***

Saat ini aku telah mendekati ruang ICU. Namun tiba-tiba saja langkahku terhenti. Dari arah bangku panjang yang terletak di seberang sana, terdengar suara perempuan yang sangat akrab di telingaku–suara Fera.

“Kenapa Mas Aldo nggak melarang Bang Faisal?”

Eh? Melarang apa?

Kudekatkan tubuhku ke arah bangku panjang untuk menyimak lebih jauh obrolan antara Fera dan Aldo.

“Udah aku coba, Fer. Tapi kamu tahu sendiri kan gimana Faisal? Dia tetap saja keukeh memesan bir kalengan itu, tiga biji lagi,” ujar Aldo sambil mengangkat tiga jari kanannya.

“Apa? Pesan tiga bir kalengan dalam semalam? Dan itu hanya untuk Bang Faisal sendiri?” Fera memiringkan badannya menghadap ke arah Aldo. Mata yang terbingkai kacamata minus itu pun terbelalak kaget.

Aldo hanya mengangguk pelan. Sedangkan Fera langsung menghempaskan punggungnya ke sandaran bangku sambil memejamkan matanya dan menyilangkan kedua tangannya di bawah dada. Hening pun menyergap. Masing-masing sibuk dengan alam pikirannya sendiri.

Melihat mereka diam, aku pun terpekur di tempatku berdiri. Mencoba mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Aldo dan Fera tadi.

Ada apa dengan gue dan tiga bir kalengan?

Kuingat-ingat lagi kejadian yang menimpaku yang berhubungan dengan bir kalengan. Tapi semakin aku mencoba mengingatnya, semakin aku tak tahu apa-apa.

Ah...!

Akhirnya hanya desahan yang keluar dari bibirku.

“Emang saat kejadian itu, Mas Aldo udah pulang atau gimana?” Fera mulai bertanya lagi.

Aldo menatap gadis berjilbab pink yang duduk di sebelahnya itu. “Iya. Aku pulang sekitar sepuluh menit pasca Daniel dan Cindy pulang.”

“Terus, hanya Bang Faisal aja yang masih ada di kafe itu?”

Kulihat Aldo menggeleng. “Ronald juga masih ada saat itu.”

Ronald, Daniel, Cindy? Bukankah mereka itu adalah Tim Five Star? Termasuk juga gue dan Aldo?

Kulihat Fera menghela napasnya, berat. “Emang sampe jam berapa kalian kongkow-kongkow di kafe?” Pertanyaan yang diajukan kini lebih kepada interogasi daripada sekadar bertanya biasa. Dan Aldo tampak pasrah menerima semua itu.

“Sekitar jam sebelas malam.”

“Dan di antara kalian berlima itu, hanya Bang Faisal aja yang mabok?” Fera tampak semakin sengit.

“Eee–entahlah.” Aldo menggedikkan bahu. “Yang kutahu, Ronald juga memesan bir kalengan, tapi hanya satu.”

Fuih. Akhirnya Fera diam. Sepertinya ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Melihat abangnya dalam keadaan koma. Ya, siapa pula yang berkeinginan seperti itu? Entahlah. Mungkin hanya keajaiban saja yang bisa membuat abangnya kembali sadar.

“Oya, Mas Aldo kalo mau pulang, pulang aja,” kata Fera akhirnya. “Aku masih ingin di sini, menemani Bang Faisal dan juga nanti mau konsul lagi ke dokter tentang kondisi Bang Faisal dan segala kemungkinan yang bisa aja terjadi.”

Tapi Aldo hanya menggeleng seraya menatap Fera. “Aku juga akan di sini, menemani kamu, Fer.”

“Eh?” Fera balas menatap Aldo. “Tapi kan besok katanya Five Star mau tinjau lokasi pendirian resort hotel di Pulau Seribu? Kalo Mas Aldo nginap di sini, gimana dengan rencana besok?”

Lagi-lagi Aldo hanya menggeleng. “Masih ada Daniel, Ronald dan Cindy yang akan mewakili. Pokoknya kamu tenang aja. Aku udah minta izin kok.”

Fera tampak tak enak hati. “Tapi kan–”

“Sudahlah,” potong Aldo cepat. “Pokoknya malam ini kita berdua nginap aja di sini,” putus Aldo akhirnya. Kulihat Fera mengangguk pasrah.

Ya, Tuhan. Ada apa sebenarnya dengan diriku ini? Kenapa aku sampai tega membuat adik perempuanku satu-satunya itu risau dan galau. Padahal aku tahu, saat ini pun Fera tengah sibuk dengan skripsinya. Tapi, tapi demi aku, ia rela mengorbankan waktu dan tenaganya. Ah!

“Ngomong-ngomong, Fer,  Karmila udah tahu belum kalo Faisal ada di sini?”

“Eh?” Fera tampak terkejut mendengar pertanyaan Aldo itu. “Astaghfirullah. Ya Allah, kok aku sampe lupa ya, Mas, ngabarin Mbak Mila?”

Dan tiba-tiba saja aku pun sangat merindukan kekasih hatiku itu. Karmila Sudarmanto.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun