Kulihat Fera menghela napasnya, berat. “Emang sampe jam berapa kalian kongkow-kongkow di kafe?” Pertanyaan yang diajukan kini lebih kepada interogasi daripada sekadar bertanya biasa. Dan Aldo tampak pasrah menerima semua itu.
“Sekitar jam sebelas malam.”
“Dan di antara kalian berlima itu, hanya Bang Faisal aja yang mabok?” Fera tampak semakin sengit.
“Eee–entahlah.” Aldo menggedikkan bahu. “Yang kutahu, Ronald juga memesan bir kalengan, tapi hanya satu.”
Fuih. Akhirnya Fera diam. Sepertinya ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Melihat abangnya dalam keadaan koma. Ya, siapa pula yang berkeinginan seperti itu? Entahlah. Mungkin hanya keajaiban saja yang bisa membuat abangnya kembali sadar.
“Oya, Mas Aldo kalo mau pulang, pulang aja,” kata Fera akhirnya. “Aku masih ingin di sini, menemani Bang Faisal dan juga nanti mau konsul lagi ke dokter tentang kondisi Bang Faisal dan segala kemungkinan yang bisa aja terjadi.”
Tapi Aldo hanya menggeleng seraya menatap Fera. “Aku juga akan di sini, menemani kamu, Fer.”
“Eh?” Fera balas menatap Aldo. “Tapi kan besok katanya Five Star mau tinjau lokasi pendirian resort hotel di Pulau Seribu? Kalo Mas Aldo nginap di sini, gimana dengan rencana besok?”
Lagi-lagi Aldo hanya menggeleng. “Masih ada Daniel, Ronald dan Cindy yang akan mewakili. Pokoknya kamu tenang aja. Aku udah minta izin kok.”
Fera tampak tak enak hati. “Tapi kan–”
“Sudahlah,” potong Aldo cepat. “Pokoknya malam ini kita berdua nginap aja di sini,” putus Aldo akhirnya. Kulihat Fera mengangguk pasrah.