Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fantasy] Bila Cinta, Ungkapkanlah!

22 November 2016   17:38 Diperbarui: 26 November 2016   12:13 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


[caption caption="Sumber: shujinkouron.blogspot.com"][/caption]

 

I'm no body's child, I'm no body's child

Just like a flower, I'm growing wild

No mommy's kisses, and no daddy's smiles

Nobody wants me

I'm no body's child...

(Nobody's Child - Karen Young)

"Betapa sedih lagu yang kaumainkan itu."

Eh?! Segera, Karin menghentikan permainan biolanya dan menatap sekeliling. "Suara... suara siapa itu?" ucapnya seraya meletakkan biola pemberian Bang Rendy--mantan penghuni panti yang kini kuliah di luar kota--di atas meja terdekat, kemudian berdiri. Ditajamkannya telinga untuk mengetahui dari mana suara itu berasal. 

"Hei, aku ada di depanmu." Suara itu kembali terdengar. Karin bisa merasakan, namun ia tak mampu melihat. Kedua bola matanya buta sejak ia kecil. Dan kata Bunda Heni, keadaannya sudah begitu sejak pertama kali ditemukan di pintu gerbang Panti Asuhan "Kasih Bunda" ini.

"Kenapa kau diam saja?" tanya suara asing itu.

Karin mundur selangkah sambil tangannya berpegang pada meja yang ada di belakangnya.

"Aku... aku tak dapat melihatmu. Maaf!" Karin membungkukkan kepalanya sedikit.

"Oh, maaf. Aku tak tahu," Suara asing itu berkata. "Tapi, bolehkah aku duduk di sini menemanimu bermain biola?"

"Kau... kau siapa?"

"Oya, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Kenzo. Aku kucing yang sudah sebulan ini tinggal di sini."

"Ku... kucing?" Karin tergeragap.

"Iya, kucing. Seekor kucing kecil yang memiliki kaki pincang." Kenzo berjalan tertatih mendekati gadis buta itu. Mengeluskan kepalanya ke kaki Karin, supaya gadis itu menyadari kehadirannya.

"Ow, geli!" Karin berseru sambil tertawa geli. Diangkatnya Kenzo ke atas pangkuannya, kemudian mengelus bulu-bulu halus dan lembut di kepala kucing yang mengaku dirinya pincang. "Kau... kau betul-betul bisa berbicara bahasa manusia?"

Kenzo menenggelamkan kepalanya ke perut Karin. "Hanya kepadamu. Dan kau tampak cantik bila tersenyum seperti itu."

Karin hanya tertegun menatap kucing ajaib yang ada di pangkuannya.

***

"Selamat pagi," sapa Kenzo seraya mencoba naik ke atas pangkuan Karin dengan kaki pincangnya. "Hei, kenapa wajahmu murung begitu? Dan... kenapa pula kau masih ada di ruangan ini? Bukankah hari ini adalah waktu kunjungan orang tua asuh? Jadi, kenapa kau masih di sini?"

Kenzo tampak heran melihat Karin yang masih betah berada di ruang makan. Sedangkan teman-temannya yang lain telah berada di ruang utama panti, menanti uluran tangan dari para donatur yang ingin mengadopsi salah satu anak dari panti ini. 

"Ah, percuma!" seru Karin, tertahan. Aura kemarahan tampak jelas di wajahnya. Perlahan, bulir bening pun turun di pipi tirusnya.

"Kenapa? Bukankah kau selama ini selalu mengimpikan memiliki keluarga kecil? Memiliki orangtua yang akan selalu menyayangimu dengan tulus? Yang menganggapmu bagian dari keluarga mereka? Yang ...."

"Cukup, Kenzo! Kumohon, jangan lagi membahas masalah itu." Mata Karin kian berkaca-kaca. Dan amarah itu? Kenapa menumbuhkan kepedihan di hati Kenzo?

"Kau kenapa, Karin?" ujar Kenzo. Dielus-elusnya tangan Karin dengan kepalanya, mencoba menghibur gadis sebatang kara itu.

Karin menghirup napas dalam. Kemudian menghembuskannya. "Karena... karena tak ada yang tertarik mengadopsi anak sepertiku." Dengan punggung tangannya, Karin mengusap air matanya.

Kenzo berusaha menatap Karin, mesti ia tahu bahwa Karin tak dapat melihatnya. "Tapi, kenapa? Menurutku, kau cukup cantik dan juga baik hati. Masa tidak ada yang tertarik padamu?"

Mata Karin menerawang. "Masalahnya... aku ini buta. Mana ada yang mau mengadopsi anak buta." Ia tetap keukeh pada pendiriannya. Tapi Kenzo malah menggeleng.

"Kurasa bukan itu alasannya."

Karin tertegun. "Lalu apa?"

"Karena kau selalu murung dan tak pernah tersenyum. Kau ingin diadopsi oleh salah satu dari mereka. Kau ingin dicintai. Tapi kau tak pernah mengungkapkan perasaanmu itu. Kau hanya memendamnya dalam hati dan selalu menampakkan wajah murung menyebalkanmu itu." Kenzo terpaksa berterus terang seperti itu, karena ia hanya ingin melihat Karin bahagia.

"Jadi... jadi selama ini, wajahku begitu menyebalkan?" Karin tampak tersinggung.

"Iya. Bahkan bukan hanya kepadaku saja kautampakkan wajah murung menyebalkanmu itu, tapi ke setiap orang. Jadi menurutku wajar saja, kalau mereka tak pernah tertarik untuk mengadopsimu, hai Gadis Berwajah Murung Menyebalkan!"

"Cukup, Kenzo! Kau... kau begitu kurang ajar sekali." Amarah Karin memuncak. Diturunkannya Kenzo cepat dan ia bersiap hendak meninggalkan kucing malang itu sendirian di ruang makan.

"Pergilah ke ruang utama dan buktikan kata-kataku itu!" Kenzo berteriak lantang dan tertatih berlari meninggalkan Karin seorang diri.

"Apa benar yang dikatakan Kenzo itu?" batin Karin berbisik. Perlahan, ia pun keluar dari ruang makan dan berjalan menuju ke ruang utama panti.

***

Di ruang utama yang tengah dipadati oleh anak-anak penghuni panti beserta para calon orangtua asuh, Karin tampak bingung sendiri. Hatinya sempat bimbang, bahkan ia bermaksud untuk kembali ke ruang makan saja. Tapi saat ia bersiap hendak berbalik arah, terdengar suara seseorang menyapanya.

"Hallo... nama kamu siapa gadis manis?"

Karin tertegun sejenak. Kemudian katanya, "Nama saya Karin, Tante." Karin mencari tangan kanan perempuan yang berdiri di hadapannya dan mencium punggung tangan perempuan itu.

"Oh, anak manis." Perempuan yang tak dapat dilihat Karin itu kemudian mengelus-elus kepala Karin. "Karin masih sekolah? Umurmu berapa, Sayang? Kalau Karin Ibu bawa ke rumah Ibu, Karin bersedia tidak?"

Karin sempat melongo sejenak. Kemudian mengangguk. "Maksud Tante, Tante mau mengadopsi Karin sebagai anak? Begitu?" Mata Karin mulai berkaca-kaca.

Perempuan yang dipanggil tante oleh Karin itu hanya mengangguk. Sayang, Karin tak dapat melihatnya. Dan Tante itu pun mulai menyadarinya. "Karin tak bisa lihat Ibu, ya?"

Karin hanya mengangguk lemah. Bayangan kegagalan untuk diadopsi kembali berkelebat. Tapi Karin mencoba tersenyum. Diterapkannya apa yang diucapkan oleh Kenzo di ruang makan tadi. "Bila ingin dicintai, maka ungkapkanlah! Jangan hanya memendamnya di dalam hati dan menutupinya dengan wajah murung menyebalkan."

"Oke. Karin tunggu di sini dulu, ya. Ibu mau berbicara sebentar dengan Bunda Heni."

Perempuan bersuara lembut yang dipanggil tante oleh Karin itu pun meninggalkannya dan bergegas menuju ke ruangan kerja Bunda Heni--pemilik Panti Asuhan "Kasih Bunda" ini. Kini, tinggallah Karin seorang diri di sudut ruang utama seperti biasanya.

Dengan biola di tangannya, gadis berambut ikal sepundak itu mulai menggesekkan biolanya dan memainkan lagu kesayangannya.

As I was slowly passing, an orphan’s home one day

And stopped there for a moment, just to watch the children play

Alone a boy was standing, and when I asked him why

He turned with eyes that could not see and he began to cry...

"Stop, stop! Hentikan memainkan lagu itu. Aku bosan mendengarnya." 

Terdengar seruan yang sudah tak asing lagi di telinga Karin. Dan demi mendengar suara itu, Karin tiba-tiba saja berdiri dan ganti berteriak.

"Engkaukah itu, Kenzo?" Karin tersenyum menyambut kucing berkaki pincang itu. "Ayo, kemari! Ada yang ingin kuceritakan padamu." Karin menepuk-nepuk rok model a-line motif kembang yang dikenakannya. Maksudnya, agar Kenzo segera naik ke atas pangkuannya.

"Memang apa yang ingin kauceritakan padaku?" tanya Kenzo, berpura-pura. Karena sesungguhnya ia telah sangat mengetahui hal itu. Ia yang menguntit Karin hingga ke ruang utama ini telah menyimak apa saja yang menjadi pembicaraan antara Karin dan perempuan yang dipanggil tante itu.

"Kenzo, tahukah kau?" Karin memulai ceritanya saat Kenzo telah berada di pangkuannya. "Tadi ada seorang ibu bermaksud membawaku ke rumahnya. Itu... itu artinya... si ibu hendak mengadopsi aku kan? Iya kan?" Karin tampak antusias. Kenzo yang berada di pangkuannya pun ikut terguncang-guncang.

"Hei, jangan senang dulu! Belum tentu juga si ibu bersedia mengadopsimu. Buktinya sekarang, ke mana perginya ibu itu?"

Binar mata di wajah Karin mendadak meredup. Dan Kenzo merasa menyesal dengan kata-kata yang telah diucapkannya itu.

"Maafkan aku! Bukan maksudku untuk...."

"Sudahlah, lupakan saja. Mungkin aku memang tak pantas untuk diadopsi. Mungkin selamanya aku akan menjadi penghuni tetap panti ini." Mata Karin mengaca. Bulir air di sudut matanya perlahan mulai membasahi pipi tirusnya.

Kenzo benar-benar merasa menyesal. Ia bermaksud hendak mengapus air mata Karin, bila saja suara Bunda Heni tak menghentikannya.

"Karin Sayang, kemari, Nak!" panggilan lembut Bunda Heni kontan menghentikan air mata Karin. Segera diusapnya mata dengan punggung tangannya dan bergegas menghampiri pemilik panti asuhan ini.

"Iya, Bunda." Diciumnya punggung tangan kanan Bunda Heni dan perempuan yang dipanggil tante oleh Karin itu.

"Oya, kenalkan. Ini Ibu Rita. Beliau bermaksud hendak mengadopsi Karin dan membawamu tinggal di rumahnya. Hm... Karin bersedia?"

Mata Karin kembali berembun. Dalam isak tangisnya, gadis berambut ikal sebahu itu mengangguk pelan.

"Terimakasih, Sayang." Kontan Ibu Rita memeluk erat Karin. Perempuan berusia empat puluhan itu begitu terharu dan bahagia karena keinginannya memiliki seorang anak akan segera terwujud.

"Ibu... Ka... Karin boleh tidak membawa sesuatu yang sangat Karin sayangi ke rumah Ibu?" pinta Karin akhirnya. Ia memang bermaksud membawa serta Kenzo bila ia diadopsi kelak.

"Rumah kita, Sayang," ralat Ibu Rita, cepat. "Mulai hari ini, rumah itu akan jadi rumah Karin juga kok. Dan Karin boleh membawa apapun barang kesayangan Karin ke rumah." Diusapnya kepala Karin dengan lembut.

"Karin cuma ingin membawa Kenzo. Boleh, ya, Bu?" 

Dan langsung dijawab dengan anggukan kepala Ibu Rita.

Segera, Karin memanggil Kenzo. Berulang kali, sambil berteriak dan menajamkan pendengarannya. Tapi sayang, tak ada sahutan dari yang bersangkutan. Karin kalut, bahkan sampai menangis. Namun Kenzo tetap tak menampakkan batang hidungnya. Malah ia semakin jauh dari Karin dan hanya memandang Karin dari kejauhan.

"Misiku kali ini telah berhasil. Gadis mungil itu akhirnya memperoleh kebahagiaan. Apa yang menjadi keinginan dan mimpinya telah terwujud. Semoga engkau bahagia bersama orangtua angkatmu, ya, Karin. Aku Kenzo akan selalu merindukanmu."

Dan Karin pun tak akan pernah melupakan kata-kata bijak dari Kenzo, si kucing yang mengaku berkaki pincang itu.

"Bila ingin dicintai, maka ungkapkanlah! Jangan hanya memendamnya di dalam hati dan menutupinya dengan wajah murung menyebalkan."

***

Terinspirasi dari lagu "Nobody's Child" nya Karen Young dan kucing kecilku. :-)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun