***
"Selamat pagi," sapa Kenzo seraya mencoba naik ke atas pangkuan Karin dengan kaki pincangnya. "Hei, kenapa wajahmu murung begitu? Dan... kenapa pula kau masih ada di ruangan ini? Bukankah hari ini adalah waktu kunjungan orang tua asuh? Jadi, kenapa kau masih di sini?"
Kenzo tampak heran melihat Karin yang masih betah berada di ruang makan. Sedangkan teman-temannya yang lain telah berada di ruang utama panti, menanti uluran tangan dari para donatur yang ingin mengadopsi salah satu anak dari panti ini.Â
"Ah, percuma!" seru Karin, tertahan. Aura kemarahan tampak jelas di wajahnya. Perlahan, bulir bening pun turun di pipi tirusnya.
"Kenapa? Bukankah kau selama ini selalu mengimpikan memiliki keluarga kecil? Memiliki orangtua yang akan selalu menyayangimu dengan tulus? Yang menganggapmu bagian dari keluarga mereka? Yang ...."
"Cukup, Kenzo! Kumohon, jangan lagi membahas masalah itu." Mata Karin kian berkaca-kaca. Dan amarah itu? Kenapa menumbuhkan kepedihan di hati Kenzo?
"Kau kenapa, Karin?" ujar Kenzo. Dielus-elusnya tangan Karin dengan kepalanya, mencoba menghibur gadis sebatang kara itu.
Karin menghirup napas dalam. Kemudian menghembuskannya. "Karena... karena tak ada yang tertarik mengadopsi anak sepertiku." Dengan punggung tangannya, Karin mengusap air matanya.
Kenzo berusaha menatap Karin, mesti ia tahu bahwa Karin tak dapat melihatnya. "Tapi, kenapa? Menurutku, kau cukup cantik dan juga baik hati. Masa tidak ada yang tertarik padamu?"
Mata Karin menerawang. "Masalahnya... aku ini buta. Mana ada yang mau mengadopsi anak buta." Ia tetap keukeh pada pendiriannya. Tapi Kenzo malah menggeleng.
"Kurasa bukan itu alasannya."