Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja di Bukit Tandus

23 Juni 2016   12:19 Diperbarui: 24 Juni 2016   09:25 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepak Takraw (Sumber: tanjungpinangpos.co.id)

Oke, well. Aku akan menjalani masa KKN selama dua bulan ini. Mencoba merasakan hidup di zaman batu. Tanpa listrik, tanpa telepon, mandi kudu nimba atau sekali kali mandi di pemandian umum. Masak dengan tungku dan kayu bakar. Tidur beralaskan tikar tipis di rumah kayu yang menjadi posko KKN kami. Oke, oke. I will do that like you want.

Saking jengkelnya aku disindir terus-menerus sama Yunita, aku sampai bertekad seperti itu.

Tapi ternyata hidup di zaman batu itu tidaklah sesimpel yang kukira. Baru dua pekan berada di sini, hampir setiap hari aku selalu menjadi headline news di nagari ini, tepatnya di Dusun Sariak Bawah. Mulai dari nyungsep di sawah saat mencari belut, jatuh di jalanan becek usai sholat dan mengajar anak-anak mengaji di surau, dan yang paling menjadi trending topic itu saat jatuh dan muntah di luhak yang merupakan jalan tembus ke kantor walinagari yang terletak di Dusun Sariak Ateh.

Itulah alasan kenapa aku tak pernah lagi menginjakkan kaki ke Dusun Sariak Ateh. Aku trauma. Makanya saat ada Pekan Olahraga Siswa se Kecamatan Hiliran Gumanti yang tahun ini berpusat di Nagari Sariak Alahan Tigo -- di Dusun Sariak Ateh lebih tepatnya, aku memilih mendekam diri di posko KKN. Bukan karena tak tertarik dengan acara itu, tapi semata-mata trauma akan jatuh lagi seperti dulu. Dan Totti ternyata memperhatikan hal itu.

Totti. Hm, sebenarnya nama anak itu Arman. Tapi entah kenapa, aku lebih senang memanggilnya dengan Totti karena memang wajahnya itu mirip dengan kapten sepakbola klub AS Roma, Francesco Totti. Ahay, setelah dua pekan lebih berada di sini, akhirnya kutemukan juga sebuah hiburan. Dan Arman sama sekali tak keberatan dengan panggilan itu, malah ia merasa bangga. Hehehe...

Sebenarnya, ada rasa kasihan juga terhadap Totti. Usianya yang telah mencapai sweet seventeen, tapi ia masih juga mengenyam pendidikan di SMP. Bukan. Bukan karena ia pernah tinggal kelas. Tapi memang keadaanlah yang memaksanya harus begitu. Dan Totti bukanlah satu-satunya anak yang bernasib seperti itu di sekolah yang bangunannya paling megah di dusun ini. Ada sekitar puluhan anak yang seperti itu. Dan jujur, aku bangga pada mereka. Usia sama sekali bukan penghalang untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.

Ah. Kembali aku mendesah. Kulihat di ruang guru telah dipenuhi oleh guru-guru yang baru saja selasai menunaikan tugasnya siang ini. Ya, Tuhan. Ternyata lamunanku panjang juga. Dan tumpukan buku tugas ini? Tak satu pun yang tersentuh olehku.

"Bu Alya masih betah di sini? Kirain sudah pulang dari tadi," sapa Bu Sigit saat melihatku masih asyik duduk manis sambil memandangi tumpukan buku tugas di hadapanku.

Dan aku hanya tersenyum, seraya membereskan buku-buku tugas itu ke dalam tas kresek untuk nanti kukerjakan di posko KKN saja.

***

Pukul tiga sore.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun